SAMBUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA
ACARA PERINGATAN HARI PERS NASIONAL TAHUN 2008
DI GEDUNG GRADHIKA BHAKTI PRAJA, SEMARANG, JAWA TENGAH
TANGGAL 9 FEBRUARI 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA
ACARA PERINGATAN HARI PERS NASIONAL TAHUN 2008
DI GEDUNG GRADHIKA BHAKTI PRAJA, SEMARANG, JAWA TENGAH
TANGGAL 9 FEBRUARI 2008
Bismillaahirrahmaanirrahim,
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Yang saya hormati Saudara Menteri Komunikasi dan Informatika, dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, para Pimpinan dan Pejabat Negara yang bertugas di Jawa Tengah, baik dari unsur eksekutif, legislatif dan yudikatif, maupun TNI dan Polri,
Saudara Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia dalam kapasitas Ketua Umum Hari Pers Nasional tahun 2008 ini,
Saudara Gubernur Jawa Tengah, para pimpinan organisasi pers, pimpinan perusahaan media massa.
Yang saya muliakan para wartawan senior yang banyak hadir dalam acara hari ini, keluarga besar pers Indonesia yang saya cintai,
Hadirin sekalian yang saya muliakan.
Marilah sekali lagi kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena kepada kita masih diberi kesempatan, kekuatan, dan Insya Allah kesehatan untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, serta tugas dan pengabdian kita kepada bangsa dan negara tercinta.
Kita juga bersyukur hari ini dapat bersama-sama menghadiri Hari Pers Nasional Tahun 2008 dan Hari Ulang Tahun ke-62 Persatuan Wartawan Indonesia. Atas nama Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, saya mengucapkan selamat kepada seluruh insan pers di tanah air, semoga ke depan pers kita semakin berjaya, semakin maju dan semakin kontributif untuk kemajuan bangsa dan negara kita menuju masa depan yang kita cita-citakan bersama.
Saudara-saudara,
Saya juga mengajak Saudara semuanya untuk senantiasa bersyukur dan berterima kasih. Pertama-tama kita perlu bersyukur bahwa dalam perjalanannya yang mengalami berbagai dinamika dan pasang surut, pers nasional kita sekarang ini makin maju dan makin kuat. Kebebasan pers kita rasakan, demokrasi di mana pers memberikan peran dan andil yang besar juga semakin mekar, ini patut kita syukuri. Yang kedua, saya juga mengajak semua pihak untuk mengucapkan terima kasih kepada para pejuang pers, sejak era Kebangkitan Nasional, seratus tahun yang lalu, hingga hari ini, yang ikut mengukir sejarah bagi perkembangan pers maupun perkembangan demokrasi di negeri kita. Kita juga jangan lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada rakyat Indonesia, terutama pada era reformasi ini. Sepuluh tahun terakhir ini juga telah berhasil meningkatkan kebebasaan pers yang sama-sama kita harapkan eksis, tumbuh dan berkembang di negara tercinta ini.
Saudara-saudara,
Atas semuanya itu, saya berpendapat bahwa insan pers sekarang ini patut membalas jasa baik beliau-beliau semua, baik itu para pejuang pers, para senior-senior kita, maupun kepada rakyat yang juga ikut berjuang bagi demokrasi dan kebebasan pers yang kita rasakan dewasa ini. Dalam kaitan ini, izinkan saya, pada kesempatan yang baik ini, untuk juga menyampaikan pandangan-pandangan dan pikiran saya tiada lain, sekali lagi untuk membangun kehidupan pers yang betul-betul kontributif untuk pembangunan bangsanya. Seringkali ketika kita berbicara tentang pers, kita melakukan kesalahan. Kesalahan pertama, adalah kita mengkritik pers pada sesuatu yang tidak perlu dikritik lagi, karena sesungguhnya sudah benar, sudah tepat. Karena generalisasi, seolah-olah ada kekurangtepatan satu dua berita, dianggap berita pers seluruhnya tidak tepat. Ini kesalahan pertama.
Kesalahan kedua, kita juga sering tidak sadar, ada satu dua insan pers yang tidak proper di dalam mengemban misinya sebagaimana pihak yang lain, pihak pemerintah, pihak penegak hukum, parlemen, siapa saja, yang mengemban tugas di negeri ini, lantas dianggap seluruhnya juga melakukan kegiatan atau peran yang tidak benar. Ini juga kesalahan dari mudahnya kita mengeneralisasi dalam melihat sesuatu. Saya ingin terbebas dari seperti-seperti itu. Oleh karena itu, kalau saya nanti memberikan pujian kepada pers, atau memberikan kritik kepada pers sebagaimana saya menerima kritik, saya menerima dukungan, saya menerima cercaan, saya lihat secara utuh untuk kepentingan yang lebih baik.
Saudara-saudara,
Yang perlu dibalas oleh kita, oleh para insan pers kepada para pejuang pers adalah mereka semua berjuang untuk sebuah idealisme di negeri ini. Sebagai penggerak, sebagai driving force, dalam membangun bangsa mengembangkan demokrasi idealisme. Mari kita pertahankan idealisme yang puluhan tahun diperjuangkan oleh para senior kita, para pejuang pers di negeri ini. Jangan sampai idealisme ini luntur karena godaan kompetisi atau persaingan dalam bisnis media. Jangan pula idealisme ini juga luntur, barangkali tidak disadari, ada sebagian pers kita, juga ada di negara yang lain, yang sangat partisan atau sangat menuju kepada kepentingan yang praktis. Tentu ada saja keberpihakan pers, tentu ada saja kepentingan praktis, tetapi tolong tidak dibubuhi kata-kata sangat atau terlalu, sebab kalau terlalu itu konotasinya tidak baik.
Saya juga mengajak kita semua membalas budi baik rakyat kita, termasuk pers kita, karena setelah berjuang untuk kebebasan pers, alhamdulillah, maka mereka juga ingin pers kita, sebagai bagian dari yang sedang mengemban tugas di negeri ini, ikut membawa manfaat bagi mereka, mendidik mereka. Sehingga mereka mendapatkan sesuatu untuk masa depannya yang lebih baik. Tantangan ini tidaklah ringan dihadapi oleh pers, dihadapi oleh orang seperti saya yang sedang mengemban amanah, dan pihak-pihak lain untuk memajukan bangsa dan negara kita. Saya sungguh ingin menggarisbawahi hal-hal seperti itu. Mengapa rakyat ingin sekali mendapatkan manfaat yang baik dari apa yang dilakukan oleh insan pers.
Yang pertama, rakyat ingin mendapatkan berita, sedang terjadi apa saja di negeri ini, di dunia ini. Ingin mendapatkan informasi, sebab mereka paham tentang dinamika kehidupan bangsanya. Tentu saja mereka berharap informasi atau berita itu adalah berita yang benar, berita yang akurat, dan berita yang objektif, the right to know harus diberikan kepada rakyat kita.
Yang kedua, rakyat juga ingin, melalui media massa yang Saudara-saudara kelola, menyampaikan pandangannya, pikirannya, pendapatnya, respon terhadap berbagai masalah yang ada di negeri kita. Tentu agar interaksi di antara rakyat dengan rakyat yang lain, sesama komponen bangsa melalui media massa, through media, itu berjalan secara sehat dan konstruktif, maka, sekali lagi, harus berangkat dari fakta yang benar, berita yang benar, dan kemudian semua diberikan ruang yang seimbang. Inilah cikal bakal dari the principle of balance, inilah embrio dari cover both sides. Saya sudah menemukan berbagai media yang menghormati the principle of balance, dan juga cover both sides, bagi yang sering atau kadang-kadang lupa, pastikan bahwa itu hadir. Dengan demikian interaksi ini menjadi berkualitas, sungguh konstruktif dan membawa manfaat dan kebaikan.
Yang ketiga, rakyat juga ingin berjuang untuk kebebasan pers kita ini, melalui pemberitaan yang Saudara-saudara berikan melalui media massa, ingin memiliki pengetahuan yang menjangkau, ingin memiliki optimisme dan bahkan mereka ingin juga berpartisipasi dalam gerak pembangunan bangsa. Saya menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Saudara Tarman Azzam tadi, bahwa konvensi nasional juga mengangkat perlunya membangun optimisme bangsa kita. Kalau kita optimis, seberat apapun yang kita hadapi, Insya Allah akan ada jalan, ada solusi. Kalau kita pesimis, kita sudah kalah sekarang, kita sudah kalah di Semarang ini, dan tidak akan pernah bisa bersaing dengan bangsa lain, termasuk tetangga-tetangga kita. Saya hormat kepada pers yang menggarisbawahi, mari kita tetap optimis, tegar, percaya, Bangsa Indonesia akan bisa mengatasi semua permasalahan dan tantangan yang dihadapi.
Saudara-saudara,
Hari ini, kita berada di Semarang ini, untuk memperkuat komitmen dan tanggung jawab kita, termasuk Saudara-saudara insan pers, agar kita bisa berbuat lebih baik lagi kepada rakyat, agar bisa berkontribusi lebih banyak lagi dalam pembangunan yang kita lakukan dewasa ini, terlebih ketika kita harus membangun kembali negeri kita pasca krisis. Setiap hari jadi, Saudara-saudara, HUT ke-62 PWI, hari pers nasional 2008, baik kalau kita melakukan refleksi, refleksi kritis, apakah dengan kebebasan pers yang kita syukuri dewasa ini, dan harus kita pertahankan ke depan? Melalui refleksi, sudahkah semua yang diperankan oleh pers di negeri ini, tepat dan betul-betul membawa manfaat. Mana yang sudah tepat dan baik untuk kita pertahankan, mana yang belum tepat dan belum baik untuk sama-sama kita perbaiki.Â
Saudara-saudara,
Ini tahun keempat saya mengemban amanah, tinggal setahun lagi saya mengemban tugas sebagai Presiden, karena 2009 adalah batas akhir masa bakti saya sebagai Presiden yang dipilih oleh rakyat pada tahun 2004 yang lalu. Saya pun bersama pemerintahan yang saya pimpin terus menerus melakukan refleksi, bahkan dalam sidang-sidang kabinet para menteri juga ada, selalu dengarkan ada pandangan dari rakyat seperti ini, dari pers seperti ini. Apa? Mari kita lihat, mana yang kurang tepat, mana yang sudah tepat, mana yang benar, mana yang belum mantap, untuk perbaikan, untuk koreksi. Hanya dengan begitu kita selalu mengorientasikan diri kita dalam konteks yang tentunya semua berharap pemerintah pun bisa makin ke depan makin mampu menjalankan tugasnya secara efektif, mengatasi permasalahan bangsa yang begini kompleks, yang begini fundamental, dan terkait satu sama lain.
Analog dengan itu, saya juga mengajak semua komponen bangsa di negeri ini, termasuk pers, untuk juga melakukan refleksi, introspeksi, dan koreksi. Dan itu lebih sahih, lebih tepat, lebih cespleng, kalau dilakukan oleh insan pers sendiri. Sebab kalau orang lain yang mengoreksi belum tentu tepat. Tapi kalau dengan jiwa besar, mari kita duduk bersama-sama, ada Dewan Pers, saya lupa menyebut tadi, pimpinan Dewan dengan anggota Dewan Pers, dengan semua, bersama-sama otokritik, itu luar biasa manfaatnya. Saya juga berpikir, insan pers bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis di bawah ini. Sejauh mana pers dan media di negeri ini, makin kontributif, bisa memberikan sumbangan yang lebih besar lagi bagi mapannya demokrasi. Mapan dalam arti established, dalam arti consolidated. Bukan mapan dalam arti atau berkonotasi otoritarian, dikontrol, ditata, bukan. Demokrasi yang mapan dalam arti consolidated democracy, established democracy, dengan rules of the games, dengan etika yang dianut sebagaimana negara-negara demokrasi di dunia ini.  Â
Yang kedua, juga sejauh mana pers bisa berkontribusi bersama-sama kita semua untuk memastikan demokrasi dan kebebasan terus berkembang, terus mekar, berpasangan, bergandengan dengan kepatuhan pada pranata oleh masyarakat kita, rule of law, dan harmoni dalam kehidupan bangsa ini. Demokrasi dan kebebasan seperti itu yang hendak kita bangun. Kita juga harus melakukan refleksi, sejauh mana pers ikut serta membangun karakter, tepat tadi Menteri Komunikasi dan Informatika, membangun optimisme bangsa, meskipun negerinya masih menghadapi banyak persoalan dan tantangan, tapi optimis, siap bersatu dan siap bekerja keras untuk mengatasi masalah-masalah itu menuju masa depan. Sejauh mana pula pers ikut membangun masyarakat yang tertib, masyarakat yang civily, dalam arti good society. Tujuan semua bangsa di dunia ini to fill a good society, masyarakat yang baik, jauh dari ekstrimitas, jauh dari perilaku-perilaku kekerasan, yang akhirnya mencirikan peradaban yang tinggi. Peradaban bangsa Indonesia yang ingin kita bangun sehingga kita tampil terhormat pada era global.
Sejauh mana pula self sensory yang saya anjurkan berkali-kali, sejak saya datang dalam Hari Pers Nasional di Pekan Baru, Pak Tarman Azzam, saya kira tahun 2005. Saya datang kembali Hari Pers Nasional di Bandung pada tahun 2006. Tahun lalu saya absen di Samarinda, karena saya harus mengikuti kegiatan yang tidak bisa saya tinggalkan. Alhamdulillah, saya datang lagi pada Hari Pers Nasional tahun 2008 ini. Saya katakan, saya termasuk believer, orang yang percaya, lebih bagus kalau kita berbicara sensor mana yang patut dan tidak patut untuk diberitakan, itu pers sendiri, self sensory.
Mengapa? Era kontrol terhadap pers, era bredel, era ditahan tanpa proses pengadilan sudah usai, dan tidak boleh terjadi lagi di negeri kita ini. Namun, perlu ada kepatutan oleh pers sendiri. Pelajaran sangat berharga oleh media massa di Denmark, masih ingat karikatur Nabi Muhammad? Pelajaran besar yang kita petik ternyata kebebasan pers, sebagaimana kebebasan yang dimiliki oleh siapa pun, itu tidak absolut, selalu ada pagar-pagarnya. Demikian konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28J. Demikian juga The Universal Declaration Of Human Right, selalu ada pagar, pagar untuk kebaikan kita, kebaikan manusia, kebaikan bangsa. Saya ingin betul self sensoring dihidupkan. Saya menaruh harapan kepada Dewan Pers, saya menaruh harapan pada para wartawan senior, saya berharap pada pimpinan organisasi kewartawanan, organisasi media massa, pemerhati pers, untuk mendorong dengan prinsip teori kepatutan, patut atau tidak patut, silahkan.
Berikutnya lagi, kita sering mendengar Bahasa menunjukkan Bangsa. Sejauh mana, mari kita telaah. Baik-baik, jernih-jernih, baik apa namanya, dengan tenang. Sejauh mana bahasa media itu betul-betul bagian dari character building. Media, bahasa media memang harus tajam, harus menarik, harus credible, harus marketable. Kalau tidak, tidak mungkin bisa survive dalam kompetisi antar perusahaan media massa yang sangat keras dewasa ini, di dalam negeri maupun pada tingkat global. Namun bahasa itu, sebagaimana tadi bahasa menunjukkan bangsa, janganlah menggunakan bahasa yang kasar, bahasa yang mudah sekali mencaci maki, karena itu bisa merusa jiwa, apalagi anak-anak remaja kita. Sebentar lagi kita akan melihat putra-putri kita, pelajar SMP, SMA membaca koran, dan akan saya canangkan, dari Semarang ini, Gerakan Gemar Membaca Koran seluruh Indonesia mulai sekarang.
Pesan saya, sebagai yang sedang mengemban amanah, mari kita jaga bahasa itu, kita jaga konsep itu, agar demikian mereka merasa, alhamdulillah saya sekarang sudah bisa membaca koran, banyak yang saya dapatkan. Orang tua pun, waduh senang anak-anak saya sudah gemar membaca koran. Jangan sampai nanti, karena ada satu dua bahasa yang tidak proper, isi yang tidak proper, orang tua malah cemas, wah jangan-jangan ini terpengaruh, jangan-jangan ini begitu-begini. Kita jaga bersama-sama, Insya Allah bisa, Insya Allah bisa untuk mengembangkan ini semua. Saya ingin, tentu, bisnis media massa tumbuh untuk ekonomi, untuk lapangan pekerjaan, untuk saudara-saudara kita. Bisnis tumbuh, Saudara membayar pajak, pajak untuk pendidikan dan kesehatan, kita untung, kita ingin sekaligus dengan tampilan yang tepat tadi, rakyat kita makin cerdas, sesuai dengan amanah konstitusi, mencerdaskan kehidupan bangsa, twin objective kebutuhan kembar, harus sama-sama kita wujudkan, kita capai.
Saudara-saudara,
Kalau saya harus memilih, memilih pers yang bebas, atau pers yang dikontrol atau dipasung, tentu, saya, kita semua, memilih pers yang bebas. Sepuluh tahun yang lalu, 1998, awal reformasi, bahkan Pak Harto waktu itu masih menjadi presiden. Saya ditugasi untuk memimpin perumusan cetak biru reformasi TNI waktu itu. Saya juga menjadi ketua fraksi TNI di MPR waktu itu. Saya berpendapat sangat bulat bahwa kebebasan pers harus diperjuangkan dan harus hadir di negeri ini. Tidak sendiri, Saudara-saudara, tanya putra-putri bangsa, dari manapun, apa pun profesinya, di awal reformasi atau jauh sebelum reformasi dulu, ingin melihat kehidupan pers yang baik di negeri ini. Jangan sangsikan itu. Pilihan kita adalah kebebasan pers.
Kalau kita urutkan lagi derivasi dari itu, memilih yang mana, kebebasan pers yang membawa manfaat dan bertanggung jawab, atau sebaliknya, saya pilih tentunya, kebebasan pers disertai dengan akhlak, disertai dengan manfaat dan tanggung jawab kita semua. Mesti bisa, sekarang kita sudah menuju ke situ. Saya senang, bahwa kita sudah menuju ke situ, untuk melakukan reformasi, betul-betul kita ingin menghidupkan kebebasan pers yang membawa manfaat disertai dengan akhlak tadi, dan dapat kita pertanggungjawabkan. Kita tentu melakukan koreksi apabila ada satu dua yang tidak pada path itu, pada jalur itu. Teruslah mengembangkan positive journalism, constructive journalism. Teruslah menjunjung tinggi idealisme dan etika jurnalisme.
Teruslah membangun media, perusahaan atau bisnis media massa yang tangguh, sebagaimana yang saya sampaikan tadi, terus berkembang dan saya titip, perhatikan kesejahteraan para karyawan. Karyawan yang bertugas di perusahaan-perusahaan media massa, mereka pahlawan di belakang layar. Lakukan pula investasi, pendidikan, pelatihan kepada para wartawan, wartawan muda utamanya, agar terus meningkat kemampuannya, terus meningkat profesionalitasnya. Dengan demikian, cita-cita bersama kita, kehidupan di negeri ini, termasuk kehidupan pers yang semakin berkualitas akan dapat kita wujudkan.
Keluarga besar insan pers yang saya cintai, Saudara-saudara,
Tadi pimpinan PWI, Pak Tarman Azzam, menyampaikan dan saya senang karena kita sudah mendiskusikan melalui konvensi nasional kemarin, Indonesia 2030, Indonesian 2030. Saya selalu mengundang, saya menyambut baik pikiran dari manapun, yang memikirkan masa depan negaranya, apakah forum Indonesia, siapapun, harus berikan ruang, jangan buru-buru lantas dimatikan idenya, pikirannya. Siapa pun, boleh setelah itu dikritik, dikoreksi, dibenahi, tetapi biarkan mekar di negeri ini, orang yang memiliki optimisme, mereka yang menginginkan dirinya berkembang lebih baik, dengan pikiran-pikiran yang segar dan menjangkau. Visi kita adalah 2030-2050, Insya Allah Indonesia akan menjadi negara yang makin maju, makin maju. Apakah bisa? Bisa. Kita punya capital, kita punya resources, kita punya jalan, krisis pun bisa kita lewati, dengan persatuan, dengan optimisme, dan dengan kerja keras. Insya Allah bisa. Tentu ketika anak-anak kita, mungkin cucu-cucu kita memimpin negeri ini.
Saudara-saudara,Â
Saya meminta memang, jangan terlalu mudah kita memperolok-olok diri sendiri, terlalu merendahkan diri sendiri, merasa kita ini terburuk terus, merasa kita ini gagal terus. Karena sesungguhnya dari periode ke periode selalu ada perbaikan dan kemajuan. Kalau negara lain saja, dengan ukuran yang obyektif, secara rasional memberikan apresiasi kepada kita, mengapa kita sendiri melukai diri kita, tidak bersyukur. Bulan Juli saya diundang oleh G-8, di Tokyo. Saudara tahu G-8? Mengapa diundang? Akan mengundang beberapa negara, yaitu China, India, Afrika Selatan, Indonesia, Australia. Undangan ini sendiri sesungguhnya sudah merupakan kehormatan bagi Indonesia, karena kita masuk radar, karena kita dianggap sebagai emerging economics, meskipun masih panjang yang harus kita lalui, meskipun baru sedikit anak tangga pertama dan kedua, tidakkah itu optimisme, tidakkah itu sinar yang terang di masa depan. Jangan kita sia-siakan, jangan kita menganggap kita ini bangsa yang paling handap, paling bawah, paling rendah. Keliru. Kalau kita berpikir kerdil, kerdil betul, kalau kita merasa jelek kalah terus, jelek dan kalah betul. Kalau kita optimis, bersatu bersama-sama mengatasi semuanya itu, jadi betul bangsa yang maju. Saya yakin itu.
Yang kedua, terima kasih PWI, terima kasih insan pers, Saudara akan memberikan dukungan kritis terhadap pemerintah. Kritik itu obat, kalau kita sakit dikritik obatnya pas, bikin sembuh, asalkan dosisnya pas. Kalau semuanya memuji, berarti nggak ada obat, nggak akan sembuh. Kalau obatnya salah, dosisnya yang harusnya tiga kali sehari, dua belas kali sehari, collapse, pas. Senang saya, berikan kritik kepada pemerintah, dan jangan hanya kepada pemerintahan saya, pemerintahan-pemerintahan yang akan datang pun dukungan perlu diberikan secara kritis. ini berarti pendidikan kebangsaan yang baik. Siapa pun yang dipilih oleh rakyat, siapapun, pemerintah mana pun yang dibentuk oleh presiden yang dipilih rakyat itu, perlakukan secara sama, dukungan yang kritis dan bertanggung jawab itu manjur.
Pemimpin yang ternina-bobokan barangkali tidak sadar bahwa ternyata keliru jalannya. Jadi setiap saya mendapatkan kritik, cercaan, kadang-kadang makian, saya dengan istri sebagai manusia biasa saya ambil hikmahnya, ya Allah, mudah-mudahan saya tidak pada jalan yang salah, saya diingatkan, saya dibegitukan, dan sebagainya. Sambil membangun nilai yang baik di negeri ini, saling, paling tidak kalau tidak hormat-menghormati, saling memelihara tali silaturrahim. Berkali-kali saya katakan, politik bisa berbeda, dan perbedaan itu indah, tetapi tali silaturrahim jangan diputus. Di antara kita, di antara pemimpin, di antara elit bangsa, itu harus kita pertahankan.
Dan apresiasi saya Gerakan Wartawan Menanam, saya sungguh bergembira, tolong Bapak-Ibu sukseskan, tidak usah terlalu banyak teori, kalau dunia kita mau selamat, Indonesia kita mau selamat, lingkungan kita mau baik, mari kita rawat baik-baik. Termasuk gerakan menanam yang harus kita sukseskan. Banjir terjadi di mana-mana, di Bangladesh, Amerika terguncang, 60 orang diperkirakan tewas, Tunisia, China, yang terburuk dalam 50 tahun terakhir, badai selama tiga minggu, orang mempercayai karena climate change, karena global warming. Mari mulai sekarang tidak perlu melihat ke belakang, kita pelihara bumi kita, tanah air kita, Indonesia kita. Contoh yang konkret, Gerakan Wartawan Menanam.
Dan yang terakhir sekali, begini, ini pelajaran yang sangat berharga. Ada suatu era di negeri ini, insan pers merasa sangat sakit karena kekuasaan politik, dibredel, ditahan, dipenjarakan, tanpa proses hukum. Penderitaan itu barangkali tidak terbayarkan, menjadi catatan sejarah, dan Tuhan Maha Besar, bangsa ini sadar itu tidak sepatutnya terus terjadi di negeri kita ini. Terjadilah reformasi, transformasi. Sekarang pers memiliki kekuasaan yang besar. Ambil pelajaran, jangan sampai karena kecerobohan dalam pemberitaan, ada orang-orang yang merasa sakit, sakit sekali, dan mereka tidak berdaya untuk bagaimana menghilangkan sakitnya. Sebagai contoh, supaya saya bisa menggunakan bahasa perang, kalau ada judul besar-besar, Bupati X korupsi 30 Milyar, judul besar. Tujuh turunan anak istri mungkin seminggu menangis, padahal belum tentu proses hukum pun belum, baru informasi awal. Proses hukum pun akhirnya nanti pengadilan yang memutuskan bersalah atau tidak bersalah. Itu contoh, dan banyak lagi barangkali, yang mungkin tidak disadari, menyakitkan sebagian dari kita. Secara moral saya mengajak insan pers, mari kita lakukan satu interaksi yang baik ke depan, mengambil manfaat di waktu yang lalu. Tetapi saya juga memuji apa yang saya ikuti sudah banyak cara saudara meliput, memberitakan yang konstruktif, yang mendidik, yang membawa manfaat, mari kita pertahankan dan mari kita lanjutkan.
Demikianlah Saudara-saudara, yang ingin saya sampaikan. Dan akhirnya dengan memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, seraya mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, Gerakan Gemar Membaca Koran di seluruh tanah air, dengan resmi saya nyatakan dimulai.
Sekian,
Wassalamualaikum warahmatullahi wabaraakatuh.