Bangun Sistem, Upaya Efektif Pencegahan Korupsi

 
bagikan berita ke :

Senin, 16 Mei 2016
Di baca 600 kali

Saat ditanya tentang persoalan yang paling rumit ketika menjadi seorang Presiden adalah “Pertama, korupsi,” ucap Presiden.


Hal rumit kedua adalah menyiapkan lapangan kerja, karena pengangguran di Indonesia, meski secara persentase dibawah angka pengangguran di Eropa, tetapi mencapai angka di atas 30 persen. "Di Indonesia 5,6 persen tapi dikali 250 juta penduduk, itu bukan angka kecil. Bukan angka sedikit," ujar Presiden, seperti dilansir Tim Komunikasi Presiden, Ari Dwipayana.


Hal ketiga, yang merupakan persoalan rumit adalah masalah kesenjangan penghasilan yang menyebabkan jurang antara kaya dan miskin semakin melebar. "Ada gap, kini ratio kita 0,40-an dan ini juga harus diturunkan," tutur Presiden.

 

Hal lain yang merupakan persoalan rumit bagi Presiden Jokowi adalah kesenjangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi.


Setelah bertemu Diaspora dan masyarakat Indonesia, Presiden menjelaskan kepada wartawan Indonesia, bahwa langkah pencegahan untuk mengantisipasi korupsi, yakni perlu dilakukan perbaikan sistem, seperti yang dilakukan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

 

"Cegah gratifikasi, amplop-amplop. Kalau sistem terbangun baik, ruang korupsi jadi tidak ada. Penindakan dilakukan secara masif dan keras oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi titik beratnya adalah bagaimana kita membangun sistemnya," ujar Preiden.


Pemerintah menyiapkan peraturan bagi kemudahan Diaspora Indonesia. Dalam tanya jawab dengan Diaspora dan masyarakat Indonesia ada kalanya Presiden memberikan kesempatan kepada Menteri atau Anggota Delegasi untuk menjawab pertanyaan. Kepala BKPM, Franky Sibarani diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan mengenai sulitnya Diaspora Indonesia memiliki properti di Indonesia.

Saat ini BKPM berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) tengah mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang kemudahan memiliki properti bagi Diaspora dan masyarakat Indonesia. "Pertama, bagi yang hanya memiliki paspor akan diakui sebagai KTP," ungkap Franky.


Sedangkan bagi Diaspora Indonesia akan dikeluarkan kartu Diaspora oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) yang akan diakui sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sehingga dapat digunakan untuk membeli properti. "Di Indonesia memang dipersyaratkan harus memiliki KTP, karena itu kita sedang berkoordinasi dalam proses persiapan revisi atau pembuatan Peraturan Perpres (PP) yang baru," kata Franky.

Presiden yang turut mendengarkan penjelasan Kepala BKPM, menanyakan berapa lama proses penerbitan peraturan tersebut. "Sekitar 4 bulan, Pak" jawab Franky.


Kartu Diaspora ini juga akan berlaku bagi eks WNI sehingga dapat digunakan sebagai KTP atau NPWP. "Dan yang terpenting adalah di dalam melakukan aktivitas investasi atau pendirian perusahaan tetap diperlukan sebagai pemilik modal dalam negeri dan tidak diperlakukan sebagai Penanaman Modal Asing (PMA)," ujar Presiden.


Sedangkan bagi eks WNI yang bekerja di luar negeri dan ingin bekerja di Indonesia maka tidak diperlakukan sebagai tenaga kerja asing jika telah memiliki kartu Diaspora. "Jadi tidak perlu adanya Kartu Izin Kartu Terbatas (KITAS). Proses ini lebih memudahkan WNI atau eks WNI untuk bisa tetap memberikan kontribusinya terhadap pembangunan di Indonesia," tutup Presiden. (Humas Kemensetneg)

 

 

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           0           0           0           0