Saat ditanya tentang persoalan yang paling rumit ketika menjadi seorang Presiden adalah “Pertama, korupsi,†ucap Presiden.
Hal rumit kedua adalah menyiapkan lapangan kerja, karena pengangguran di
Indonesia, meski secara persentase dibawah angka pengangguran di Eropa, tetapi
mencapai angka di atas 30 persen. "Di Indonesia 5,6 persen tapi dikali 250
juta penduduk, itu bukan angka kecil. Bukan angka sedikit," ujar Presiden,
seperti dilansir Tim Komunikasi Presiden, Ari Dwipayana.
Hal ketiga, yang merupakan persoalan rumit adalah masalah kesenjangan
penghasilan yang menyebabkan jurang antara kaya dan miskin semakin melebar.
"Ada gap, kini ratio kita
0,40-an dan ini juga harus diturunkan," tutur Presiden.
Â
Hal lain yang merupakan persoalan rumit bagi Presiden Jokowi adalah kesenjangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi.
Setelah bertemu Diaspora dan masyarakat Indonesia, Presiden menjelaskan kepada
wartawan Indonesia, bahwa langkah pencegahan untuk mengantisipasi korupsi,
yakni perlu dilakukan perbaikan sistem, seperti yang dilakukan Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM).
Â
"Cegah gratifikasi, amplop-amplop. Kalau sistem terbangun baik, ruang korupsi jadi tidak ada. Penindakan dilakukan secara masif dan keras oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi titik beratnya adalah bagaimana kita membangun sistemnya," ujar Preiden.
Pemerintah menyiapkan peraturan bagi kemudahan Diaspora Indonesia. Dalam tanya
jawab dengan Diaspora dan masyarakat Indonesia ada kalanya Presiden memberikan kesempatan
kepada Menteri atau Anggota Delegasi untuk menjawab pertanyaan. Kepala BKPM, Franky
Sibarani diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan mengenai sulitnya Diaspora
Indonesia memiliki properti di Indonesia.
Saat ini BKPM berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
(Kemenko Perekonomian), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan Kementerian Hukum
dan HAM (Kemenkum HAM) tengah mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) yang
mengatur tentang kemudahan memiliki properti bagi Diaspora dan masyarakat
Indonesia. "Pertama, bagi yang hanya memiliki paspor akan diakui sebagai
KTP," ungkap Franky.
Sedangkan bagi Diaspora Indonesia akan dikeluarkan kartu Diaspora oleh Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia
(KJRI) yang akan diakui sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sehingga dapat
digunakan untuk membeli properti. "Di Indonesia memang dipersyaratkan
harus memiliki KTP, karena itu kita sedang berkoordinasi dalam proses persiapan
revisi atau pembuatan Peraturan Perpres (PP) yang baru," kata Franky.
Presiden yang turut mendengarkan penjelasan Kepala BKPM, menanyakan berapa lama
proses penerbitan peraturan tersebut. "Sekitar 4 bulan, Pak" jawab
Franky.
Kartu Diaspora ini juga akan berlaku bagi eks WNI sehingga dapat digunakan
sebagai KTP atau NPWP. "Dan yang terpenting adalah di dalam melakukan
aktivitas investasi atau pendirian perusahaan tetap diperlukan sebagai pemilik
modal dalam negeri dan tidak diperlakukan sebagai Penanaman Modal Asing (PMA),"
ujar Presiden.
Sedangkan bagi eks WNI yang bekerja di luar negeri dan ingin bekerja di
Indonesia maka tidak diperlakukan sebagai tenaga kerja asing jika telah
memiliki kartu Diaspora. "Jadi tidak perlu adanya Kartu Izin Kartu
Terbatas (KITAS). Proses ini lebih memudahkan WNI atau eks WNI untuk bisa tetap
memberikan kontribusinya terhadap pembangunan di Indonesia," tutup Presiden.
(Humas Kemensetneg)
Â
Â