Dialog Presiden - Pertemuan dengan Masyarakat Indonesia, Belanda, 21 April 2016

 
bagikan berita ke :

Kamis, 21 April 2016
Di baca 1028 kali

DIALOG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERTEMUAN DENGAN MASYARAKAT INDONESIA DI BELANDA

HOTEL KURHAUS, DEN HAAG, BELANDA

21 APRIL 2016

 

 

 

WNI di Belanda:

Saya psikolog, sosiolog, dan juga ahli spesialis gender. Saya sudah cukup lama tinggal di sini, di Belanda, 30 tahun, baru 30 tahun, tapi sering ke Indonesia untuk mengajar.

 

Saya lihat bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini sedang dilanda krisis, krisis mental sebetulnya, krisis perilaku sebetulnya. Oleh sebab itu, Bapak Jokowi menyarankan untuk terus dilakukan revolusi mental. Itu, sebagai psikolog, saya mengatakan ya itu benar sekali. Perlu pembinaan karakter anak-anak, yang dimulai dari anak kecil.

 

Tetapi kelihatannya pembinaan karakter justru tidak ada di kurikulum sekolah, tidak ada sehingga akhirnya tugas itu diberikan kepada orang tua. Padahal itu tidak cukup dilakukan orang tua karena pembinaan karakter itu, kalau di rumah dididik baik, keluar kita juga perlu sesuatu yang baik. Jadi perlu keteladanan dari semuanya. Jadi tidak bisa kita mengatakan itu salahnya orang tua, tidak bisa kita mengatakan itu salahnya guru. Itu salah kita semua.

 

Saya memang profesinya guru, dosen. Dan saya tahu, kita semua tahu bahwa pendidikan itu lama sekali dampaknya sehingga yang akan terjadi bukan revolusi, melainkan evolusi, lama sekali. Kalau mau revolusi, harus lebih cepat. Tidak bisa dengan hanya mengandalkan pendidikan. Oleh sebab itu, perlu akselerasi, misalnya dengan memberikan keteladanan; dengan memberikan contoh dengan menghukum berat orang yang salah, orang yang melanggar; dengan meminta media untuk tidak terlalu mengekspos orang yang salah, yang korup, yang segala macam sehingga menjadikan itu suatu yang lumrah, sehingga anak-anak malah meniru; dan jangan juga mengubah mental kita; jangan terlalu menekankan sesuatu yang material, yang kuantitas. Yang perlu: lebih kualitas.

 

I Gusti Agung Wesaka Puja, Duta Besar RI untuk Belanda:

Mungkin singkat saja, Bu, langsung.

 

WNI di Belanda:

Oleh sebab itu, saya tanyakan kepada Pak Jokowi, bagaimana caranya untuk melakukan revolusi mental tersebut?

 

I Gusti Agung Wesaka Puja, Duta Besar RI untuk Belanda:

Bapak ingin satu-satu atau semua dulu? Tiga.

 

Siapa lagi? Pak Rennie.

 

Pak Rennie ini dulu, tahun 2012, pernah menari di depan Bapak di Solo. Dia itu dapat Beasiswa BSBI. Di depan Keraton Mangkunegaran di Pemaden. Dia pintar bahasa Indonesia, pintar nari juga. Dan waktu itu sekitar 6.000 orang. Bapak yang menghadirkan. Dia sempat menari di depan Bapak.

 

Silakan, Rennie.

 

Rennie Roos, Pendiri Indonesia Netherland Youth Society:

Dear, Mr. President,

 

Nelson Mandela once said that, if you speak to a man in a language he understands, it goes to his head. But, if you speak to a man in a language which is his own, it goes directly to his heart. Jadi hari ini saya mau bicara bahasa Indonesia kepada Bapak langsung dari hati saya.

 

Selamat malam, Bapak. Selamat datang di Belanda.

 

Nama saya Rennie. Saya pendiri Indonesia Netherland Youth Society, salah satu organisasi yang mencoba untuk memperbaiki hubungan bilateral Indonesia-Belanda melalui menghubungkan pemuda Indonesia dan pemuda Belanda.

 

Dan di sini malam ini, ada beberapa teman juga yang mau mengucapkan selamat datang.

 

Saya, pada tahun 2006, saya pertama kali ke Indonesia. Awalnya hanya untuk liburan, kemudian untuk belajar sebagai mahasiswa di Yogya dan di Surabaya, dan sekarang sebagai konsultan di Jakarta.

 

Selama sepuluh tahun, saya melihat bahwa banyak pemuda Indonesia datang ke Belanda untuk studi dan untuk kerja. Tapi sayangnya tidak banyak pemuda Belanda yang pergi ke Indonesia. Kenapa mereka pilih Singapura, Malaysia atau negara-negara lain? Karena sayangnya prosedur visa untuk studinya atau kerja di Indonesia sekarang masih susah.

 

Jadi saya mau tanya kepada Bapak, juga kalau ada kesempatan atau kemungkinan untuk mempermudahkan aplikasi visa untuk pemuda Belanda. Kenapa itu penting? Karena, menurut saya, pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.

 

Dan saya tahu, besok Bapak punya acara penandatanganan MoU untuk pendidikan sama Kemendikbud Belanda. Saya dengan senang hati melihat itu karena pendidikan itu sangat-sangat penting untuk masa depan.

 

Dan hari ini, saya mau bertanya kepada Bapak juga, bagaimana pemuda Indonesia dan Belanda bisa membantu Bapak sebagai Presiden untuk memperbaiki hungan bilateral di antara negara-negara?

 

Dan sebelum saya mau tanya Bapak untuk jawab pertanyan ini, saya mau kasih satu hadiah pin sebagai bentuk apresiasi kepada Bapak.

 

Dua tahun lalu, saya juga coba itu kepada Wakil Presiden Boediono. Tapi, sebelum saya bertemu sama dia, saya tanya pihak sekuriti, kalau saya boleh kasih hadiah. Dan pihak sekuriti bilang, enggak boleh.

 

Hari ini saya tidak tanya pihak sekuriti. Jadi saya akan memberikan pin.

 

I Gusti Agung Wesaka Puja, Duta Besar RI untuk Belanda:

Terima kasih, Rennie.

 

Mungkin ada satu lagi. Dari Indonesia Satu, silakan.

 

Reny Lubis, Yayasan Indonesia Satu:

Selamat malam, Pak.

 

Nama saya Reny Lubis. Saya dari Yayasan Indonesia Satu yang bergerak di bidang culinary di Belanda, yang ingin mempromosikan kuliner Indonesia di mancanegara, dan sekalian itu juga saya dari crash course culinary dari diaspora Belanda yang ada di sini.

 

Pertanyaan saya mengenai culinary, Pak, karena di Belanda ini kuliner Belanda sangat berkibar. Semua ada kalau kita tahunya. Dan saya juga lihat pakar-pakar culinary semua ada di sini dari restoran-restoran, dan ibu-ibu, dan Mbak Ida. Semua ada di sini.

 

Pertanyaan saya—Bapak tadi mengatakan kita itu siap untuk bersaing—apakah kita sudah siap, Pak, untuk bersaing dalam bidang culinary?

 

Kita itu negara yang sangat besar di dunia ini, tapi restoran Indonesia hanya ada kira-kira 700 restoran Indonesia, dan kira-kira 400 ada di Belanda. Di negara-negara lain, kami tidak berperan.

 

Dan pertanyaan saya, apakah sudah waktunya untuk bersaing di panggung culinary dengan menyatukan semua stakeholder, dengan bantuan dari negara? Saya tahu bahwa itu juga agak susah sekali, dan saya juga tidak ada jawabannya, tapi hanya ingin menarik perhatian Bapak di sini untuk menekankan culinary.

 

Saya terus terang saja, saya juga “anak” Ibu Retnolah dengan policy soft diplomacy dari Ibu Retno, culinary. Dan Indonesia Satu juga didirikan atas Ibu Retno.

 

Jadi, dengan kesempatan ini, tolong gabungkan semua kalau bisa, ataukah itu bisa atau enggak, dengan perdagangan, dengan pariwisata, dengan segala-galanya untuk menjadi satu dan berkiprah di culinary Indonesia di mana-mana.

 

Menurut saya, kita itu tidak kalah dengan Thailand. Kita malah lebih enak. Tapi restoran Thailand di mana-mana ada, dan restoran Indonesia tidak ada.

 

Itu saja, Pak. Terima kasih.

 

I Gusti Agung Wesaka Puja, Duta Besar RI untuk Belanda:

Terima kasih.

 

Bapak Presiden, Bu Retno di sini dikenal dengan ‘Mbok’. Panggilannya ‘Si Mbok’. Kalau Bapak Presiden dulu sering ke Utrecht, dan juga pernah ke Pasar Tongtong beliau.

 

Silakan, Bapak Presiden.

 

Presiden RI:

Yang pertama, memang sekarang, bukan hanya anak-anak, melainkan kita, kelihatan karakter Indonesia itu tidak muncul dalam kehidupan sehari-hari kita, dalam kehidupan keseharian kita. Kenapa? Karena saya melihat sekolah tidak memberikan perhatian itu.

 

Oleh sebab itu, saya sampai sekarang belum mau berbicara masalah revolusi mental. Karena apa? Karena saya ingin ini disiapkan benar, disiapkan betul-betul agar nantinya bisa mengubah mentalitas kita dalam segala hal.

 

Baik etos kerja, baik yang namanya produktivitas, baik yang namanya sopan santun, baik yang namanya budi pekerti, ini kita semuanya punya, punya semuanya, tapi tidak pernah dibangun sejak dini. Dan sekarang anak-anak kita apalagi sekarang belajarnya mungkin sekarang ini mungkin—kita enggak punya sebuah data yang pasti—mungkin belajarnya itu lebih banyak dari online, lebih banyak dari sana. Buka saja mudah. Semua sekarang bisa belajar dari sana. Mungkin di sekolah 30%, mungkin di rumah 20%, yang lainnya buka di online.

 

Ini yang, kalau tidak segera dimulai, kalah pembelajaran kita dengan online, yang setiap anak SD, SMP, SMA itu bisa mengerjakan. Dan saya sudah sampaikan kepada Menteri Pendidikan agar digeser, terutama yang SD, paling tidak 60, 70 itu pada pembangunan karakter, bukan pada matematika, biologi, atau masalah yang lain-lain, melainkan lebih banyak ke sana, masalah etika. Hal-hal seperti itu yang kita ini kehilangan.

 

Tapi ya ini kan memerlukan persiapan. Jangan sampai, sudah dimulai, nanti diganti lagi. Matang betul. Juga saya membayangkan, kalau kita ini membangun, character building kita betul, itu semua tidak sepeti sekarang.

 

Saya lihat di Singapura ada NS, ada National Service. Ditanya anak kecil, orang tua, kakek-kakek, nenek-nenek ditanya, “Itu Singapura menuju ke mana?” Mereka jawabannya sama “Ke utara.” Semua ya jawabnya “Ke utara.” Kalau satu jawabnya “Ke barat,” semua jawabnya “Ke barat.” Sedangkan kita, saya tanya “Mau ke mana kita?” Ada yang “Ke utara,” ada yang “Ke barat”, ada yang “Ke timur”, ada yang “Ke selatan”, benar ndak?

 

Ini yang sedang kita persiapkan karena ini perlu kelembagaan yang benar, perlu materi-materi yang betul-betul menuju ke arah itu, sehingga pembangunan sumber daya manusia kita betul-betul bukan hanya pintar saja tetapi punya etika, punya budi pekerti yang baik, punya etos kerja yang baik. Jadi, ke-Indonesia-annya itu selalu di mana-mana itu kelihatan. Ada diferensiasinya dengan bangsa yang lain. Dulu kita punya, punya tapi tergerus, tergerus, tergerus oleh kelupaan kita membangun itu.

 

Yang kedua, anak-anak muda kita sekarang memang ada dua konsentrasi yang sedang kita siapkan, yaitu di digital economy dan di industri kreatif, ekonomi kreatif.

 

Digital economy, dari survei terakhir Ernst & Young, dalam waktu lima tahun ke depan potensi kita ada 130 miliar US dollar. Artinya hampir 2.000 triliun. Ini siapa yang bisa, kesempatan ini ambil, anak-anak muda kita. Tidak ada yang lain. Yang tua-tua enggak bisa, tapi anak-anak muda.

 

Kemarin, waktu ke Silicon Valley, kita melihat Google, di Facebook. Dan saya yang paling terkesan di Plug and Play, bagus sekali. Inkubatornya bagus, cara workshop-nya bagus.

 

Dan kita kemarin sudah janjian dengan mereka. Setiap tahun, akan kita kerja samakan selama lima tahun 1.000 anak-anak kita. Seleksinya memang sangat ketat sekali saya lihat. Tetapi nanti yang di Indonesia, kita juga akan membangun sendiri, mulai dari pembangunan workshop, pembangunan inkubatornya, pembangunan ekosistem, digital economy-nya sehingga betul-betul muncul potensi itu yang mengambil anak-anak kita semuanya. Jangan diambil oleh orang lain.

 

Saya meyakini kita bisa melakukan itu karena, dari pertemuan-pertemuan saya yang di Jakarta, yang di Bandung, mereka menyampaikan “Siap, Pak.” “Kalau ada asing masuk?” “Siap, Pak. Kita berani bersaing.” “Kenapa berani? Terangkan.”

 

Saya yakin mereka memang bisa sehingga aplikasi-aplikasi IT yang ada di kita sekarang ini betul-betul yang megang di bawah 30 tahun semuanya, muda-muda semuanya. Dan kita harapkan mereka nanti yang memunculkan Facebook versi Indonesia, Google versi Indonesia, Alibaba versi Indonesia ya kan—inginnya seperti itu— Plug and Play versi Indonesia, Twitter versi Indonesia. Kenapa tidak?

 

Kita sedang siapkan juga untuk permodalan dari Ventura Capital. Udah, ventura yang nanti bisa mem-back up karena perbankan juga sulit untuk mem-back up itu. Setelah kita belajar kemarin di Silicon Valley, ternyata pakai modal ventura.

 

Ya anak-anak muda ke depan memang harus seperti itu. Industri kreatif juga sama. Yang pegang siapa sekarang? Animasi, saya lihat animasi di Bandung, di Yogya berkembang cepat sekali. Film, fashion, desain, masuk tadi kuliner.

 

Ini memang baru kita mulai bagaimana membangun positioning kita, membangun diferensiasi kita, membangun brand kita, membuat kemasannya, packaging-nya seperti apa. Ini semuanya memang memerlukan proses. Tapi kelembagaannya kan juga baru saja terbentuk. Badan Ekonomi Kreatif juga baru saja sehingga prosesnya memang susah dan ketat.

 

Kemarin saya senang waktu di London, ada lima desainer kita, umur 25, umur 26, umur 27. Ada lima desainer muda kita bisa majang desainnya, produknya di Fenwick di tengah Kota London, dipajang di depan. Dan saya senang harganya satu, kalau dirupiahkan, 30 juta. Yang paling murah itu. Yang 30 juta itu yang paling murah. Dan seminggu habis karena memang bagus banget, desainnya bagus.

 

Tapi siapa yang mem-back up itu? Desainer-desainer dari London juga sehingga sesuai dengan selera pasar. Artinya apa? Anak-anak kita ini, kalau ada yang mendampingi, bisa, pasti bisa. Saya kemarin minta dengan British Council juga, jangan hanya empat. Saya minta ribuan. Yang biayai kita. Enggak usah dari sana, tidak apa-apa. Saya juga mampu kok membiayai.

 

Kemarin vocational school dengan Jerman, dengan Siemens juga sama. Ada sudah kita di situ. Tapi saya tidak mau jumlahnya di situ hanya 200. Saya minta 20 ribu. Anggarannya dari kita, bukan bantuan dari Jerman. Tidak apa-apa. Kita siapkan karena kita perlukan vocational school, politeknik yang langsung aplikasi-aplikasi yang cepat bisa diaplikasikan, yang kita butuhkan sekarang.

 

Saya melihat Techno Park-nya di Jerman, ya memang itu yang kita butuhkan, itu yang kita butuhkan. Tidak ada yang lain sehingga, kalau ini tidak cepat, ya diambil oleh orang lain.

 

Saya kira hubungan-hubungan kita dengan Belanda tadi yang muda-muda, itu saya kira. Dan tidak hanya masalah itu. Yang berkaitan dengan budaya juga termasuk, misalnya kayak tari, kayak musik. Sepakbola nanti. Jadi ini yang sedang kita bangun.

 

Coba kayak musik—saya berikan contoh—betapa yang namanya K-Pop itu. K-Pop, Korea itu menyiapkannya—saya tanya langsung ke Presiden Park sama ke duta besarnya, “Berapa tahun sih itu disiapkan?”—14 tahun menyiapkan. Dari sekian ribu, diseleksi jadi 1.000, jadi 500, jadi 200, jadi 100, tinggal 20, langsung potong, potong terus.

 

Seleksinya ketat. Tapi betul-betul jadi sebuah produk yang mengintervensi budaya-budaya negara yang lain.

 

Kenapa kita minta bantuan, bimbingan, pendampingan bagi industri kreatif kita dari Inggris? Kenapa seperti itu? Ya itu mereka memang rajanya industri kreatif. Rajanya itu.

 

Coba musik, siapa yang tidak ngerti Led Zeppelin? Siapa? Siapa tidak ngerti Iron Maiden? Siapa yang tidak ngerti Coldplay? Siapa yang tidak ngerti One Direction? Semuanya ngerti ini dari mana.

 

Itu yang harus kita pelajari. Kenapa kita punya tapi tidak bisa berkembang, menginternasional? Ada Queen, ada Genesis. Kenapa mereka bisa? Ini perlu.

 

Saya ingat, saya saja dulu punya produk lokal. Kemudian didampingi dari desainer dari Perancis, langsung mebel saya yang lokal langsung bisa masuk ke Galeries Lafayette tahun ‘88, ‘89 gitu. Betul itu. Ada yang dampingi. Desainnya dibuatkan, warnanya juga mereka sesuaikan dengan selera pasar di Perancis, packaging-nya juga supaya terproteksi sehingga tidak rusak, juga mereka ajari.

 

Kalau tidak ada yang membimbing seperti itu, tidak mungkin. Menurut kita, baik. Begitu masuk pasar, yang nengok saja tidak ada, ngelirik saja tidak ada. Padahal anak-anak kita, kalau didampingi, pasti bagus sekali. Saya meyakini itu.

 

Ya sudah, vocational dengan Jerman, yang industri kreatif dengan Inggris. Tapi betul-betul dilakukan betul. Jadi kelas kita akan naik kalau ada yang mendampingi seperti itu. Coba kalau kita dampingi betul manajemen musik kita dengan yang betul-betul punya expert di situ.

 

Kita ini kan punya banyak sekali kan. Ada Superman is Dead, ada Slank. Kita ini sebenarnya banyak banget, Indonesia banyak banget gitu. Tapi, kalau tidak didampingi—kan ada manajemen panggungnya, ada manajemen lighting-nya, ada manajemen penontonnya, ada manajemen promosinya—kalau tidak dilakukan dengan manajemen detail seperti itu, ya sampai kapan pun jangan haraplah.

 

Saya pernah, saya tidak sekali, dua kali nonton seperti itu. Manajemennya seperti apa, saya masuk ke dalam panggung. Saya ingin lihat betul seperti apa. Memang kelasnya jauh sekali, jauh sekali.

 

Saya kan senangnya iseng. Saya itu orangnya memang senang iseng. Terakhir, waktu saya nonton Lamb of God dan Guns N’ Roses di Singapura—tapi belum jadi Presiden. Saya sendirian nonton, masih gubernur—saya lihat di belakang panggung manajemennya rapi sekali, rapi sekali.

 

Saya nonton lagi waktu gubernur. K-Popnya Korea juga sama. Saya lihat, saya lihat di belakang panggungnya—saya tidak ingin nonton yang kayak itu, saya tidak senang kayak anak muda senang—saya ingin nonton dari belakang. Mungkin ada yang mbatin, “Ini Pak Jokowi ngapain sih nonton K-Pop?” Bukan itu yang saya tonton. Saya ingin menonton manajemen panggung, manajemen lighting, manajemen promosi. Saya ke belakang, ya memang luar biasa. Detail sekali kerjanya.

 

Terakhir kuliner, itu nanti bagiannya Pak Triawan Munaf. Kemarin sudah saya perintahkan langsung agar dibangun sebuah positioning, diferensiasi brand yang dibiayai oleh negara sehingga semua mempunyai standar yang sama, termasuk bangunan dan lain-lain. Ini baru. Juga sama nantinya dengan UK kerja samanya.

 

Tetapi saya sangat menghargai sekali yang di Belanda ini, kuliner Indonesia. Jumlah restorannya banyak sekali. Berapa sekarang, Bu? 400-an ya.

 

Saya lihat di London kemarin, katanya hanya ada dua. Berapa? Tiga? Ya tambah satu, jadi tiga. Sedikit. Mungkin nanti akan kita wajibkanlah kayak Thailand. Garuda diwajibkan memberikan harga diskon untuk yang berkaitan dengan pengiriman bumbu-bumbu dan lain-lain.

 

Ini memang manajemen detail, perlu kerja yang lebih detail. Tidak bisa kita hanya ngomong seperti ini, tidak bisa. Dan saya mau lihat betul, sebetulnya Thailand melakukan apa sehingga di semua tempat ada.

 

Kelembagaannya memang baru kita siapkan. Saya kan juga, saya ini baru 1,5 tahun lo. Jangan dipikir sudah bertahun-tahun.

 

Saya kadang-kadang kalau ke daerah itu, misalnya bangun jalan juga perlu 3 tahun, bangun rel kan juga butuh 4 tahun, bangun listrik butuh 4,5 sampai 5 tahun, bangun pelabuhan juga butuh waktu, semuanya. Tapi saya juga ingin kok kerja pagi, siang, malam. Akan saya lakukan agar itu bisa dipercepat.

 

Terima kasih.

 

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

 

I Gusti Agung Wesaka Puja, Duta Besar RI untuk Belanda:

Terima kasih banyak, Bapak Presiden, atas perkenan waktu.

 

Ibu-Bapak sekalian, tentunya hari sudah larut. Dan saya pikir belum pada makan semua ini. Nanti di luar ada makanan setelah bubar. Terima kasih.

*****

Biro Pers, Media dan Informasi

Sekretariat Presiden