Sebagaimana dilansir dalam siaran pers Tim Komunikasi Presiden Ari Dwipayana, Presiden mengingatkan, bahwa penurunan impor saja belum cukup untuk dijadikan sebuah indikator keberhasilan pembangunan di bidang pertanian. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesejahteraan petani, sehingga apabila terjadi kenaikan harga gabah maka yang harus merasakan keuntungan dari kenaikan harga adalah petani. “Saya lihat dari BPS nilai tukar petani dari bulan ke bulan mengalami kenaikan. Jangan sampai angka-angka hanya ABS, saya ikuti terus, karena ini menyangkut pro rakyat,†kata Presiden.
Presiden mengingatkan tentang produk jagung di Nusa Tenggara Barat dan Ponorogo yang memiliki kapasitas produksi dan kualitas yang baik, tapi selama puluhan tahun kita mengimpor jagung. Padahal, kata Presiden, kita bisa menanam sendiri. “Kenapa? Ternyata jawabannya kalau impor kita bisa bayar belakangan, padahal kebutuhan jagung sangat besar sekali. Padahal kalau bisa produksi sendiri, neraca perdagangan akan baik, kita tidak tergantung pada negara lain,†tutur Presiden.
Presiden juga menyinggung masalah ketela, dimana kebutuhan dalam negeri sebanyak 27 juta ton, yang bisa dipenuhi baru 3 juta ton, sehingga ada kekurangan sebesar 24 juta ton. “Ruang-ruang ini kenapa tidak kita garap, masih banyak kesempatan agar petani-petani menjadi sebuah produsen yang sejahtera,†ujar Presiden.
Presiden mengingatkan, bahwa meski ada ruang untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, tapi tetap harus fokus dan prioritas pada produk yang memberikan keuntungan, termasuk holtikultura. “Buah kita juga bagus, banyak permintaan, tapi supply tidak ada. Barangnya baik tapi kualitas tidak ada, ini masalah kita. Barangnya baik tapi pasca panennya tidak baik,†ucap Presiden.
Presiden mengatakan, bahwa hal-hal kecil seperti ini seharusnya diatasi dengan memberikan pelatihan kepada petani agar proses pada pasca panen berjalan baik. Hal seperti ini menjadi problem yang perlu dipecahkan bersama-sama.
Pangan, Lahan Bisnis Masa Depan
Dalam acara ini, Presiden sempat berdialog dengan petani yang menanam nanas dan memiliki lahan seluas 35 hektar. “Ini konglomerat, bukan petani. Saya senang karena petani harus punya lahan sebesar ini,†ujar Presiden.
Petani dari Kalimantan Timur itu, Jumanan Tarigan, menjelaskan bahwa lahannya itu sekali berproduksi sebanyak 10-15 ton per bulan dan dijual ke Pulau Jawa. “Kalau untuk buah naga ada yang dijual ke Malaysia,†tutur Jumanan.
Nanas jumbo yang ditanam Jumanan merupakan varietas yang berasal dari Lampung dan dijual Rp5000-8000 per buah. Penjualan satu sebanding dengan 400 buah x Rp5000. “Besar sekali,†ucap Presiden.
Sebetulnya, kata Presiden, kalau pertanian dikerjaan dengan tekun dan ongkos produksi dihitung dengan baik, inilah masa depan. “Masa depan itu ada dua, pertama pangan, kedua energi. Ke depan ini yang dibutuhkan dunia, berbahagialah bapak ibu yang menekuni bidang pertanian,†kata Presiden.
Presiden mengingatkan, bahwa dengan kerja keras semua pihak, maka bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang akan menjadi bangsa yang berdaulat di bidang pangan.
Penghargaan Tidak Sekedar Piala
Di awal sambutannya Presiden mengatakan, bahwa dirinya ingat ketika memberikan Adhikarya Pangan Nusantara di Subang karena dirinya ingin melihat benih padi di sawah, sehingga pemberian penghargaan dilakukan di Subang. “Ternyata keliru, semua protes. Sekarang setiap tahun di Istana,†ujar Presiden.
Kepada Gubernur dan Bupati yang mendapat Adhikarya Pangan Nusantara agar meminta anggaran lebih besar ke menteri pertanian, sehingga tidak hanya mendapatkan piala saja, tapi juga mendapatkan bibit. “Yang jelas ada program dari kementerian pertanian, karena yang dapat penghargaan terbaik jadi harus diberikan stimulus. Minta sama mentan, kalau nggak dikasih ngomong ke saya, karena tadi mentan bilang anggarannya naik 120 persen,†ucap Presiden.
Program dari kementerian pertanian ini merupakan program jangka menengah dan panjang. “Saya akan tunggu hasilnya,†pungkas Presiden. (Humas Kemensetneg)
Â