Asisten Deputi Pengelola Bahan Kebijakan (PBK), Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan menggelar diskusi kelompok terpumpun/Focus Group Discussion dengan tema “Kelembagaan dan Tata Kelola Penanganan Pandemi Global yang Responsif”. FGD yang berlangsung dalam jaringan (daring) ini bertujuan meningkatkan wawasan dan pengetahuan tata kelola dan sistem kesiapsiagaan kesehatan dan diikuti oleh pejabat/pegawai di lingkungan Kementerian Sekretariat Negara, Senin (13/12).
Dalam sambutannya Deputi Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan, Gogor Oko Nurharyoko mengungkapkan bahwa efek pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh negara tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan konvensional, melainkan harus dengan cara-cara kolaboratif.
Gogor berharap dengan terselenggaranya FGD ini seluruh peserta yang mengikuti melalui aplikasi Zoom ini dapat memperoleh pandangan dari berbagai narasumber yang inspiratif terkait mekanisme penanganan pandemi global.
“Secara umum Indonesia termasuk dalam negara yang baik dalam menangani pandemi Covid-19 di ASEAN, beberapa hal pokok terkait dengan kelembagaan dan penanganan pandemi global diantaranya adalah struktur kemitraan atau bisa juga disebut dengan kolaborasi serta konfigurasi anggaran, maka dari itu harapannya dengan FGD ini para peserta yang mengikuti dapat memperoleh pandangan dari berbagai narasumber yang inspiratif,” ujar Gogor seraya menutup sambutan.
Forum diskusi yang digelar kali ini dipandu oleh Adhi Pradana, Asisten Deputi Penglolaan Bahan Kebijakan, dengan menghadirkan tiga narasumber. Nara sumber pertama Diplomat Madya, Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Dewi J. Meidiwaty mengatakan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi telah membuat tim percepatan yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Jenderal. “Pada saat awal mula pandemi, Bu Menlu membuat tim percepatan yang diketuai oleh Pak Sekjen bersama dengan lintas satuan kerja di Kemenlu, tidak hierarkis dan birokratis, anggotanya merupakan para direktur dan dalam jumlah terbatas,” ujar wanita yang disapa Meidy ini.
Meidy menerangkan World Health Organization (WHO) menyarankan untuk melakukan vaksinasi dosis ketiga dikarenakan varian baru Covid-19 yaitu Omicron telah ditemukan 3000 kasus di 77 negara. Sedangkan kasus Covid 19 di ASEAN sudah relatif menurun, namun varian omicron ini sudah masuk di Singapura dan Malaysia.
“Terkait dengan diplomasi kesehatan, Kemenlu sendiri sempat merasakan kesulitan mencari alat diagnostic seperti alkes, vaksin, bahan baku obat dan lain lain, sampai dengan tanggal 13 Desember 2021 sebanyak 413.630.105 dosis vaksin telah diperoleh Pemerintah Indonesia baik berdasarkan pembelian maupun hibah,” ujar Meidy.
Meidy juga mengungkapkan bahwa pandemi ini telah mengajarkan kita bahwa struktur ketahanan kesehatan di Indonesia relatif rendah, oleh karena itu di awal pandemi kita mendapatkan banyak kesulitan sehingga dengan terjadinya pandemi global mendorong produksi lokal alat kesehatan, obat, dan vaksin melalui kerja sama internasional dan mempromosikan ekosistem R & D dan manufaktur dalam industri farmasi saat ini perguruan tinggi kedokteran berjalan masing-masing, tidak terintegrasi dengan swasta dan pemerintah, serta perlunya dukungan kebijakan.
Narasumber kedua, Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang Implementasi Kebijakan Strategis, Rainier Haryanto mengatakan pada awal pandemi COvid-19, Indonesia tidak memiliki rumah sakit khusus menangani Covid-19. “Indonesia di awal pandemi tidak memiliki rumah sakit khusus menangani Covid-19, akhirnya diputuskan untuk menggunakan Wisma Atlet dan hingga saat ini Kementerian BUMN melakukan serangkaian dukungan dalam penanganan Covid-19 seperti program vaksin gotong royong, peresmian RS Wisma Haji Pondok Gede, pendistribusian paket obat isoman, pengembangan vaksin dan lain sebagainya,” kata Rainier.
Rainer melanjutkan bahwa kasus Covid-19 di Indonesia relative turun akan tetapi yang perlu menjadi perhatian ialah kasus positif dan kasus meninggal.
Setali tiga uang dengan Rainier, Ketua Bidang Data dan Informasi Teknologi, Satgas Covid-19, Dewi Nur Aisyiyah sebagai narasumber ketiga juga mengatakan hal serupa.
“Puncak tertinggi kasus Covid-19 terjadi pada Juli 2021 mencapai 574.135 kasus aktif, dan kenaikan angka kematian tertinggi merupakan efek dari puncak kasus aktif pada Juli 2021, namun dengan diberlakukan vaksinasi nasional, saat ini jumlah kasus aktif di seluruh provinsi rata-rata sedikit bahkan ada kemungkinan provinsi tidak memiliki kasus,” ujar Dewi.
Dewi mengungkapkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan besar terkait dengan vaksinasi. “Terkait cakupan vaksinasi nasional, yang baru selesai dosis penuhnya baru di sembilan provinsi, sisanya masih belum terpenuhi dosis penuhnya,” ungkapnya. Ia juga menerangkan bahwa kita membutuhkan reformasi besar karena yang melakukan bukan hanya pemerintah, tetapi perlu pelibatan industri, kementerian kesehatan, dan sebagainya. Salah satu kekacauan yang terjadi adalah data, yaitu terkait peinginputan data, dan pelaporan data. Berbicara data, kita juga bisa melihat keseriusan daerah dalam menangani pandemi Covid-19 melalui data. Masalah kemandirian bangsa, kita baru sibuk menangani kalo ada kasus. Kita belajar banyak, kita harus menjadikan pandemi sebagai momentum perubahan.
Diskusi berjalan dengan sangat interaktif dan antusias, tidak hanya pertanyaan namun juga peserta memberikan tanggapan serta kritik pada diskusi ini. (ART-Humas Kemensetneg)