Keterangan Pers Presiden RI tentang Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi, 26-6-09
Â
KETERANGAN PERS
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PENEGAKAN HUKUM DAN PEMBERANTASAN KORUPSI,
UU PENGADILAN TIPIKOR DAN MASA DEPAN KPK
DI GELORA BUNG KARNO, SENAYAN, JAKARTA
PADA TANGGAL 26 JUNI 2009
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Saudara-saudara,
Saya akan memberikan penjelasan sehubungan dengan pemberitaan media massa dua hari ini, terutama yang bersumber dari Harian Kompas berkaitan dengan KPK yang bisa menimbulkan salah persepsi jika tidak saya berikan penjelasan atau semacam klarifikasi. Saya memang tidak lazim setiap saat bereaksi, merespons apa yang ada di media massa karena tidak begitu posisi seorang Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tetapi karena isu ini bergulir keluar dari konteksnya ditambah dengan politik masuk di situ, maka saya berkewajiban untuk memberikan penjelasan agar rakyat Indonesia mengerti duduk persoalannya, tidak dibingungkan dengan komentar-komentar yang menurut saya tidak tepat.
Saya akan menyampaikan satu konteks pertanyaan wartawan Kompas, Saudara Budiman, dan jawaban saya berkaitan dengan KPK, sesungguhnya juga menyangkut lembaga-lembaga negara yang lain, penegak-penegak hukum yang lain. Yang kedua, saya akan sampaikan kalau ada yang meragukan komitmen saya selaku Presiden di dalam menegakkan hukum dan melaksanakan pemberantasan korupsi yang saya lakukan hampir lima tahun ini. Yang ketiga, saya juga ingin menyampaikan penjelasan tentang apa yang dilakukan BPKP yang saya diberitahu katanya akan melaksanakan audit kepada KPK. Itu yang ketiga. Sedangkan, yang keempat, ini musim kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, rasanya dengan terlebih dahulu meminta pengertian rakyat Indonesia, meminta maaf kalau saya harus akhirnya juga merespons serangan-serangan yang dilancarkan oleh mereka, yang dalam kompetisi ini, yang menurut saya terlalu jauh, terlalu telanjang, dan kurang proper. Saya punya hak meskipun saya tidak lazim dan menghindari seperti ini, tetapi karena berkali-kali ya saya harus memberikan respons secukupnya, yang terukur supaya gamblang duduk persoalannya.
Pertama, menyangkut apa yang menjadi bahan tanya-jawab saya dengan salah seorang wartawan Kompas. Saudara Budiman itu pada prinsipnya menanyakan kepada saya tentang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, tentang bagaimana kalau UU Pengadilan Tipikor tidak hadir sebelum 19 Desember 2009 ini, dan bagaimana tentang masa depan KPK, seperti itu. Jawaban saya sebenarnya tidak ada yang luar biasa. Mengait kepada pertanyaan itu, yang sebenarnya juga bisa dibaca sekaligus dengan statement saya, satu dua hari sebelumnya, antara lain ketika saya melakukan debat Capres yang diselenggarakan oleh Dewan Pers beberapa saat yang lalu.
Intinya begini, kalau UU Tipikor, berkali-kali saya jelaskan, ketika Pemerintah yang saya pimpin, Wapres juga ada di situ, para menteri juga ada di situ, bertemu dengan Ketua dan Wakil Ketua DPR RI, Saudara Agung Laksono, dan juga para pimpinan DPR waktu itu, banyak yang dikonsultasikan, tetapi tidak muncul persoalan RUU Pengadilan Tipikor yang belum bisa diselesaikan. Saya yang berinisiatif untuk mengingatkan Dewan, agar ini bisa kita rampungkan, bisa kita percepat, bisa kita selesaikan. Dalam Rapat Konsultasi itu pula, saya, ada Wapres di situ, ada yang lain, kalau memang tidak bisa selesai ya Presiden bisa menggunakan haknya untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang agar ada Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Itu saya sampaikan sudah jauh hari ketika konsultasi, bukan baru dalam kampanye Pilpres sekarang ini. Dalam berbagai debat, konsisten saya menyampaikan seperti itu. Saya masih berharap dipercepat hadirnya UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelum Presiden menggunakan haknya untuk mengeluarkan haknya untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu.
Jadi kalau belakangan ada yang mengatakan saya akan mendorong Perpu ini, saya kira jauh hari dengan gamblang dan jelas saya sudah menyampaikan.
Kemudian, konteks tentang bagaimana di negeri ini, siapa pun yang memiliki kekuasaan, tidak boleh tanpa ada kontrol dalam bahasa politik disebut checks and balances, kekuasaan dikontrol oleh kekuasaan yang lain, misalnya antara eksekutif, legislatif, yudikatif. Ada mekanisme saling kontrol dalam kehidupan demokrasi.
Ada lagi pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, ada pers, juga mengontrol. Pers pun juga dikontrol. Siapa yang mengontrol? Masyarakat. Masyarakat mengontrol apakah pers sesuai dengan undang-undang. Presiden juga dikontrol habis-habisan. Kekuasaan Presiden setelah ada empat kali amandemen UUD kita, makin susut. Dulu bisa mengangkat anggota MPR ibaratnya, bisa melakukan sesuatu tanpa persetujuan parlemen, dikurangi dan menurut saya baik-baik saja, supaya Presiden pun bisa dikontrol sehingga checks and balances menjadi hidup kemudian tidak terjadi kelebihan atau surplus kekuasaan. Logikanya itu, prinsipnya itu, checks and balances. Ini juga berlaku bagi lembaga-lembaga negara yang lain, mau dikontrol oleh undang-undang. Masyarakat semua juga memastikan bahwa undang-undang itu dijalankan.
Dalam konteks itu, dalam pembicaraan saya pada forum-forum yang terkait, apakah pemerintah, Presiden di situ, DPR, lembaga yudikatif, lembaga-lembaga negara yang lain, termasuk pers, ada mekanisme checks and balances. Sebetulnya begitu. Dan khusus karena yang ditanyakan KPK, disamping UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tadi, bagaimana KPK? Sama, KPK, penegak hukum yang lainnya, kejaksaan, kepolisian, pada prinsipnya kalau itu memegang kekuasaan tetap ada kontrolnya, undang-undangnya harus tepat, masyarakat juga mengikuti seperti itu. Tidak ada konteks, nuansa seolah-olah ingin melemahkan KPK, ingin mengurangi otoritas KPK, ingin mengebiri KPK, tidak ada sama sekali. Konteksnya begitu, pertanyaannya juga begitu. Berlaku bagi semua. Berlaku bagi Presiden, berlaku bagi parlemen, berlaku bagi penegak hukum, termasuk KPK yang ditanyakan, bahwa mekanisme checks and balances pada prinsipnya kontrol sosial, kontrol masyarakat itu diperlukan. Ini saya luruskan seperti itu, nuansa pertanyaan dan jawabannya seperti itu, konteks yang lebih luas juga seperti itu.
Saudara-saudara,
Yang kedua adalah komitmen Presiden. Saya harus memberikan respons seolah-olah diragukan komitmen Presiden untuk pemberantasan korupsi atau kelanjutan dari KPK.
Saudara masih ingat satu bulan setelah saya menjadi Presiden, kita mempersiapkan Inpres. Desember, Inpres itu keluar tentang, intinya, Penindakan Tindak Pidana Korupsi, intinya di situ. Banyak yang saya instruksikan, apa yang kita lakukan untuk memberantas korupsi. Beberapa saat kemudian, saya bentuk Timtas, Tim Koordinasi Penindakan Tindak Pidana Korupsi dari unsur Kejaksaan, dari unsur Kepolisian, dari unsur BPKP supaya cepat, supaya lebih terkoordinasi, lebih sinergis, tidak masing-masing. Setelah cukup, saya bubarkan dan masuk kepada mekanisme yang ada, Kepolisian, Kejaksaan dan tentunya KPK.
RUU, sudah saya jelaskan, saya mendorong betul. Jadi apa yang dilakukan pemerintah, yang dilakukan Presiden, Inpres, membentuk Timtas Tipikor, memberikan izin kepada yang pada tingkat Presiden saja 134 pejabat negara yang diinvestigasi, diperiksa baik oleh Kejaksaan, Kepolisian, KPK juga banyak sekali, belum di daerah, ratusan itu. Membuktikan bahwa kita sangat, sangat serius. Jadi kalau tiba-tiba dalam kampanye Pilpres muncul diragukan jangan-jangan tidak berlanjut, lihat rekam jejak, lihat track record, dan apa yang sungguh ingin kita lakukan di negeri ini.
Saudara-saudara,
BPKP, saya juga terkejut mendengar laporan dari menteri, staf, membaca apa yang di media massa bahwa seolah-olah ada perintah Presiden agar BPKP mengaudit KPK. Yang jelas tidak pernah ada perintah Presiden kepada BPKP untuk melaksanakan audit A, audit B, audit C, karena tugasnya ya seperti itu. Itu BPKP. Yang kedua, BPKP itu mengaudit jajaran pemerintahan, internal. Bukan menjadi otoritas BPKP untuk mengaudit lembaga-lembaga negara yang tidak di bawah Presiden. Jadi saya minta nanti, Pimpinan BPKP menjelaskan kepada publik atas apa yang dilakukan itu. Mengapa ada inisiatif seperti itu, yang jelas ini semua juga sudah dicrosschecks semuanya. Saya pun tidak pernah dilapori, apalagi mengeluarkan perintah untuk mengaudit KPK. Ini dikaitkan dengan tanya-jawab saya di Kompas dua hari yang lalu. Seperti itu. Jadi, saya pastikan tidak ada perintah Presiden dan tidak perlu saya memerintahkan BPKP untuk mengaudit jajaran pemerintah, memang begitu tugasnya. Dan tidak mungkin saya memerintahkan BPKP untuk mengaudit lembaga yang di luar jajaran pemerintah, termasuk KPK yang diberitakan oleh media massa. Saya sudah meminta Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet untuk mengecek dan melakukan langkah-langkah semestinya tentang ini supaya kita tertib sistem kembali, tertib aturan, tertib mekanisme. Jangan sampai ada yang begini, lantas dijadikan isu politik seolah-olah benar adanya. Ada Presiden mengeluarkan perintah untuk itu. Tidak ada dan tidak benar.
Yang terakhir adalah ini sisi politik ya. Saya tidak suka sebetulnya ngomong seperti ini, tetapi karena rakyat dan publik bisa memiliki pandangan yang keliru tentang kesungguhan pemerintah, kesungguhan Presiden, kesungguhan saya yang sedang menjabat sebagai kepala pemerintahan, kepala negara untuk melaksanakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Apakah sifatnya pencegahan atau pun penindakan. Apakah yang dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan, atau pun yang menjadi domain, wewenang dari lembaga negara yang lain seperti KPK dan lembaga pengadilan dalam hal ini di bawah naungan Mahkamah Agung.
Saudara-suadara,
Kalau kita melihat kilas balik, sejak 2004 akhir ketika saya melakukan gebrakan melaksanakan kampanye anti korupsi yang paling agresif dalam sejarah Indonesia, banyak yang mengatakan kepada saya, "Jangan, tidak perlu dilanjutkan." Statementnya berbeda, "Ini bisa mengganggu perekonomian, ini bisa mengganggu mengalirnya kredit perbankan, ini bisa membikin semua tidak bergerak di pemerintahan." Nyata. Buka kembali media massa kita 4,5 tahun ini. Jangan ada dusta di antara kita. Tetapi saya katakan, "Tidak! Jalan terus." Memang, penegak hukum, apakah Kepolisian, Kejaksaan, KPK, siapa pun, tolong ikuti mekanisme yang benar, aturan yang benar, asas praduga tidak bersalah, dan lain-lain agar tidak merobek keadilan. Jangan pula membikin semua takut untuk mengambil keputusan, jangan pula menyebabkan kemandegan di sana-sini, jangan. Yang proporsional, yang proper. Tetapi, pencegahan korupsi, penindakan korupsi, termasuk muncul sekarang ini iklim untuk kolusi dan nepotisme, tidak bisa kita tolerir lagi di negeri tercinta ini.
Saya akan bicara nanti kapan-kapan soal kembali munculnya, kalau tidak kita hentikan, kolusi dan nepotisme yang juga menyangkut pejabat-pejabat negara, yang kalau ini kita biarkan kembali seperti era dulu dan negara kita bisa krisis kembali. Tapi yang jelas, saya ingin jangan memutarbalikkan fakta seolah-olah kita ini tidak sungguh-sungguh, tidak serius, tidak baik, tidak baik, dan mari kita menjaga satunya kata dan perbuatan. Kalau kita ingin membikin pemerintahan kita bersih, negara kita bersih ya kita jalankan semuanya. Jangan karena kampanye Pilpres, lantas ada sesuatu yang sesungguhnya tidak begitu yang terjadi selama ini.
Mari, saya mengajak komponen bangsa, mengajak semuanya, seia-sekata kita untuk membikin pemerintahan lebih bersih lagi, menghilangkan KKN, menjalankan semuanya dengan benar, untuk rakyat kita, untuk masa depan kita. Nah, kalau KPK jelas sekali, KPK harus tough menjalankan tugasnya. Cegah jangan sampai ada kesalahan. Sama saja nasihat saya kepada Kepolisian, kepada Kejaksaan, jangan ada kesalahan karena kalau ibarat sapu, kalau menyapu harus bersih dulu, kalau sapunya kotor ya malah kotor lantainya. Itu berlaku bagi semuanya. Demikianlah Saudara-saudara penjelasan saya.
Terima kasih dan dengan penjelasan ini, saya berharap, dengan saya ceritakan apa adanya sudah bisa ikut menjernihkan dan meluruskan apa yang diberitakan oleh media massa dua hari terakhir ini.
Terima kasih.
Biro Naskah dan Penerjemahan,
Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan,
Sekretariat Negara RI