Kisah dari Huta Siallagan yang Dikunjungi Presiden Jokowi

 
bagikan berita ke :

Rabu, 31 Juli 2019
Di baca 2972 kali

Huta Siallagan berarti Kampung Siallagan dalam bahasa Batak. Siallagan sendiri diambil dari nama Raja Laga Siallagan yang dahulu membangun perkampungan tersebut dan merupakan garis keturunan suku Batak asli.
Kampung tersebut berlokasi di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, tak jauh dari area Danau Toba.


Di hari ketiga kunjungan kerja ke Provinsi Sumatera Utara pada Rabu, 31 Juli 2019, Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara singgah di kampung yang juga dikenal sebagai titik awal sejarah peradaban penegakan hukum di Samosir ini.
Saat kedatangan, Kepala Negara dan rombongan disambut oleh Bupati Samosir beserta istri dan sejumlah tokoh adat termasuk di antaranya adalah keturunan raja ke-17 Siallagan, Gading Jansen Siallagan, yang menjadi semacam pemandu sekaligus tetua di kampung tersebut.
Kepada Presiden, Gading menjelaskan bahwa di kampung tersebut terdapat area yang disebut dengan “batu persidangan”, tempat di mana sang raja mengadili para pelanggar hukum adat. Bila dilihat secara saksama, batu persidangan ini berbentuk sebuah meja dengan kursi yang tersusun melingkar, sebagaimana dilansir dari siaran pers Biro Pers dan Media, Sekretariat Presiden.


“Jadi kalau Raja Siallagan bersidang memberikan hukuman kepada setiap penjahat, di sinilah dia disidang,” kata Gading.
Gading juga menjelaskan prosesi persidangan yang dahulu biasa berlangsung di batu persidangan. Bertempat di sebelah kanan raja ialah adik-adik raja, sementara di sebelah kirinya ialah para penasihat yang terdiri atas 2 penasihat terdakwa, 2 penasihat korban, dan 1 penasihat kerajaan.
“Kenapa mereka perlu penasihat kerajaan? Apabila tidak ada komitmen (kesepakatan) antara empat penasihat, maka keputusan ada di tangan penasihat kerajaan. Kalau bahasa sekarang itulah yang disebut pengacara,” kata Gading.
“Jadi jangan aneh, Bapak, kalau orang Batak banyak jadi pengacara. Jadi kayaknya, Pak, mereka itu lulusan Siallagan semua,” kata Gading diikuti tawa sejumlah tamu yang hadir.


Dalam hukum Raja Siallagan saat itu, setidaknya terdapat tiga jenis persidangan. Ketiganya ialah persidangan untuk tindak pidana ringan, tindak pidana umum, dan tindak pidana serius (berat).
“Kami sebut tindak pidana ringan, yaitu mencuri. Raja masih memaafkannya, raja membebaskannya, asal dia bisa bayar empat kali apa yang dia curi. Kalau dia curi satu kerbau, dia harus bayar empat kerbau, maka boleh bebas,” kata Gading.
Dalam persidangan, raja dan para penasihat akan mencari hari baik untuk mengeksekusi pelaku tindak pidana berdasarkan kalender Batak. Jika waktu eksekusi telah diputuskan, maka hukuman akan diberikan.
“Seorang dukun akan diperintahkan oleh raja kapan orang ini akan dipancung. Orang Batak punya (semacam) feng shui. Kalau orang Jawa bilang itu primbon, orang Batak bilang maniti ari,” kata Gading.


Huta Siallagan sendiri tampak seperti sebuah benteng dengan tembok batu yang mengelilingi area seluas kurang lebih 2.400 meter persegi dan berfungsi untuk melindungi kampung tersebut.
Selama kunjungan ini, Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. (Humas Kemensetneg)

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
9           3           0           2           0