MENERIMA PENGURUS PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA, DI ISTANA NEGARA, JAKARTA, 31 JULI 2008

 
bagikan berita ke :

Kamis, 31 Juli 2008
Di baca 1079 kali

SAMBUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA
MENERIMA PENGURUS PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA
DI ISTANA NEGARA, JAKARTA
TANGGAL 31 JULI 2008

 

 


Bismillaahirrahmaanirrahiim,

 

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,

 

Salam sejahtera untuk kita semua,

 

Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang saya hormati,

 

Para Sesepuh dan Wartawan Senior yang saya cintai dan saya muliakan,

 

Pimpinan PWI Pusat, baik yang lama maupun yang baru, yang saya cintai,

 

Saudara-saudara, Keluarga Besar PWI dan Insan Pers yang saya banggakan,

 

Marilah sekali lagi kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena kepada kita masih diberi kesempatan, kekuatan, dan kesehatan untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, perjuangan kita, serta tugas dan pengabdian kepada bangsa dan negara, serta perjuangan untuk mengembangkan kehidupan pers di negeri tercinta ini. Saya ingin berbicara secara langsung dan bebas dari ketentuan protokoler atau membacakan sesuatu yang biasanya telah dipersiapkan karena kesempatan begini sering langka. Oleh karena itu, dengan semangat yang baik, dengan niat yang baik pula, saya ingin menyampaikan pikiran, harapan, dan ajakan saya kepada Saudara sekalian sekaligus merespon apa yang telah menjadi pemikiran dan kepedulian, utamanya jajaran PWI dalam Kongres yang baru saja dilaksanakan di Aceh.

 

Saudara-saudara,

 

Tentu saya awali dengan ucapan selamat Kongres telah dilaksanakan dengan baik dan sebagaimana yang disampaikan oleh Saudara Margiono tadi berjalan secara tertib dan demokratis. Lagi-lagi ini pemberian contoh dari insan pers, dari komunitas media dan wartawan bahwa demokrasi juga bisa dilaksanakan secara tertib dengan akhlak, dengan tanggung jawab, dan membawa pembelajaran yang baik bagi kehidupan politik di negeri ini.

 

Kepada Saudara Margiono, saya ucapkan selamat beserta jajaran pengurus. Saya berharap kehormatan dan kepercayaan yang Saudara-saudara dapatkan dari keluarga besar PWI dapat dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan sebaik-baiknya sesuai dengan aspirasi PWI dan tentu sesuai dengan harapan kita semua, harapan pemerintah, harapan rakyat.

 

Kepada Saudara Tamam Azram, saya beserta jajaran Pengurus Pusat PWI periode 2003-2008, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas dedikasi dan kerja keras yang Saudara-saudara lakukan, juga untuk memajukan kehidupan pers dalam kehidupan politik di negeri kita. Banyak yang telah Saudara lakukan dan dalam banyak hal saya juga ikut hadir, ikut bersama-sama memantau, berkomunikasi baik formal maupun tidak formal yang saya anggap bahwa pengurus periode yang lalu cukup aktif dan berkontribusi bagi upaya pesan kita mengembangkan kehidupan demokrasi, melanjutkan pembangunan bangsa. Saya yakin dan percaya, pengurus yang baru juga akan melanjutkan apa yang telah dirintis oleh pengurus sebelumnya. Saya pun berharap Saudara-saudara dapat berhasil dalam mengemban tugas, menjalankan amanat yang tidak ringan namun mulia.

 

Saudara-saudara,

 

Saya pertama-tama ingin bicara dinamika, romantika, dan perkembangan demokrasi di negeri kita. Dan di mana peran serta letak pers dan media massa dalam upaya untuk memekarkan kehidupan demokrasi ini.

 

Yang kedua, saya nanti ingin juga menyampaikan harapan saya bagaimana upaya Saudara, upaya internal untuk meningkatkan kualitas, profesionalisme, idealisme Saudara-saudara dalam mengemban tugas.

 

Dan yang terakhir, karena tahun ini adalah tahun politik, tahun depan adalah tahun Pemilu, election time, tentu saya juga ingin kita semua, Saudara-saudara, ikut menyukseskan perjalanan demokrasi di negeri ini. Kalau zaman dulu sukseskan Pemilu itu terjemahannya mesti menyukseskan salah satu partai politik. Kalau sekarang menyukseskan Pemilu, Pemilu berjalan secara fair, adil, democratic, aman, tertib, dan lancar. Siapa pun yang diberikan mandat oleh rakyat apakah partai, apakah perorangan, ya harus kita dukung karena proses demokrasi meniscayakan seperti itu.


Saudara-saudara,

 

Kembali kepada kehidupan demokrasi. Baru saja, satu jam yang yang lalu, berakhir satu sesi di Istana Merdeka, karena Istana Negara akan digunakan oleh Saudara, tadi kami laksanakan di Istana Merdeka satu kegiatan yang kita namakan Presidential Lecture. Presidential Lecture itu kegiatan di mana hadir para guest speakers, baik dalam maupun luar negeri, untuk mempresentasikan sesuatu yang berguna bagi pengetahuan, baik jajaran Kabinet maupun pihak-pihak lain yang kita hadirkan. Bisa dunia usaha, bisa dunia media massa, bisa para peneliti, bisa para politisi, siapa saja, yang kira-kira memiliki kepedulian dan peran sesuai dengan subject yang kita bahas. Yang kita undang tadi adalah Prof. Dr. Kishore Mahbubani, yang memiliki pemikiran yang challenging, provoking, tentang kebangkitan Asia yang dalam thesisnya “Asia Bangkit”, mungkin Barat tidak sadar, tidak aware, barangkali juga bisa tidak welcome dengan kebangkitan Asia.

 

Segi-segi itu penting sambil kita lihat dalam radar Indonesia masuk di mana, apa yang bisa dilakukan oleh kita semua untuk tidak menyia-nyiakan momentum kebangkitan Asia ini. Lantas, di waktu yang lalu juga kita undang ahli climate change, ahli bukan ahli korupsi, kalau ahli korupsi ahlinya berkorupsi, ahli anti korupsi juga kita undang, pengalaman di Hongkong, pengalaman negara-negara lain, kemudian kita undang ahli pengurangan kemiskinan, Jeffery Sachs misalnya, yang menyusun buku The End of Poverty, penasehat Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan banyak lagi yang kita undang.

 

Lah yang tadi, itu relevan dengan opportunity yang kita miliki ke depan ini, di samping tantangan-tantangan, dan yang menarik adalah dinilai, dipandang oleh dunia, oleh beberapa pihak, termasuk oleh Prof. Mahbubani bahwa perjalanan demokrasi di Indonesia ini dianggap on track, moving forward dan promising. Ketika, Saudara tahu semua ada persoalan tentang demokrasi misalnya di negara-negara tetangga kita di ASEAN, atau di tempat yang lain, bahkan yang unik mengkontraskan dengan demokrasi di Amerika Serikat yang dikatakan tujuh tahun terakhir ini bahkan mengalami gerak mundur, on the reatreat, permasalahan cara menangani terorisme, Guantanamo, dan lain-lain.

 

Tentu kita senang dengan penilaian ini, tapi bagi saya bukan senang atau tidak senang, ini satu cermin bahwa di tengah-tengah belum puasnya kita, di tengah-tengah, kok rasanya masih belum cepat betul membikin demokrasi kita ini jadi consolidated democracy, yang betul-betul mengaplikasikan democratic values and principles, tetapi oleh banyak kalangan dianggap on track. Poin yang ingin saya sampaikan adalah saya sebagai Kepala Negara yang sedang mengemban amanah tentu kalau ada yang baik seperti ini, saya teruskan kepada para penyumbang, kepada para kontributor, makin mekarnya demokrasi di negeri ini, termasuk tentunya pilar yang sangat penting, kontributor yang sangat penting adalah pers dan dunia massa.

 

Tentu masih ada penyumbang-penyumbang mekarnya demokrasi, kampus, mahasiswa, banyak sebetulnya yang juga ikut memekarkan kehidupan demokrasi di negeri ini. Mengapa saya harus mengatakan begitu? Saya sampaikan juga kepada Prof. Mahbubani tadi saya adalah salah satu pelaku dari reformasi dan demokratisasi di negeri ini. Sepuluh tahun yang lalu saya masih berada di TNI, saya mendapat tugas untuk merumuskan cetak biru dan road map dari reformasi TNI yang intinya menghentikan dwi-fungsi, militer berhenti menjalankan fungsi politik, kembali kepada fungsi ketahanan, dan kemudian dibangun menjadi tentara yang profesional. Tentu dengan segala tantangan, perlawanan yang tidak sedikit waktu itu, kami ikut bersama teman-teman yang lain.

 

Setelah itu, Saudara masih ingat saya berkesempatan untuk membantu Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati, yang lukisan kedua beliau ada di sebelah kiri belakang. Kebetulan portfolio saya adalah politik keamanan dulu. Saya harus mengelola permasalahan politik dan keamanan, termasuk konflik Aceh, segala macam, tetapi dengan approach baru, dengan paradigma baru yaitu yang disebut dengan democratic solutions, bukan lagi hanya mengedepankan pendekatan keamanan, pendekatan militer yang sering kontra produktif dan tidak menuntaskan masalah. Itupun juga tidak serta merta kita bersetuju menyelesaikan masalah-masalah seperti itu, karena simply di depan benak kita masih ada old paradigma yang belum tentu compatible dengan cara-cara berpikir dalam sebuah kehidupan demokrasi. Kita bersama-sama menjalani dan pers juga amat dekat dengan apa yang kita lakukan ini.

 

Nah, yang terakhir, sekarang ini, setelah kita mengalami masa yang tidak mudah, ada set back, ada stagnasi, ada kegaduhan sosial, instabilitas politik. Ingat lima tahun pertama sejak reformasi dulu, kita bisa mengatasi, sekarang pun masih ada dampak akibat kita melakukan demokratisasi secara ambisius dengan skala yang besar, kadang-kadang dramatis. Tetapi satu hal yang ingin saya berbagi pandangan dengan Saudara-saudara, semua itu mesti kita lalui, tidak usah “jangan-jangan salah arah kita, jangan-jangan negara kita nanti sampai di tempat yang keliru”. Ini adalah sesuatu yang mesti kita hadapi, kita lalui, kita carikan solusinya, kalau betul-betul kita ingin membangun demokrasi yang baik, demokrasi yang benar.

 

Dan at the end of the day, saya percaya kalau kita semua firm, tidak gamang, tidak lantas hilang kepercayaan, ataupun dinamika seperti ini, insya Allah kita akan sampai sebuah demokrasi yang pas betul dengan nilai-nilai Indonesia, tapi juga nilai-nilai universal yang membawa manfaat, yang menyejahterakan rakyat, yang tidak ekstrim, dan lain-lainnya. Saya punya kepercayaan seperti itu. Ini kepada para sesepuh dan para senior, ya, ini juga ujian bagi seorang Kepala Negara, bagi seorang Presiden, belum tentu semua siap secara mental menjadi pemimpin dicaci maki, gambarnya diinjak-injak, dibakar, menerima SMS yang isinya luar biasa kadang-kadang. Meskipun kadang-kadang ada yang sejuk, kadang-kadang ada yang keras yang saya bisa menjelaskan dengan gampang.

 

Tetapi kalau saya larut di situ, saya nggak bisa bekerja. Oleh karena itu, sabar, tegar menghadapi semua itu dan saya berdo’a: “Ya, Allah, jangan sampai saya tergoda untuk melakukan sesuatu yang membalikkan arus demokrasi itu”. Kalau saya harus berkorban, ya, harus mengalah, dan mengalah, dan mengalah demi kebaikan. Itu saya kira masa-masa yang indah yang kita lalui. Semua melalui. Belum tentu para wartawan senior cara pandangnya sama persis dengan wartawan yunior. Belum tentu, selalu ada gap, dalam values, dalam perception, dan sebagainya. Tapi inilah indahnya demokratisasi. Inilah indahnya transformasi yang sedang berlangsung di negeri tercinta ini. Harapan kita, kita semua bisa betul-betul berperan, yang baik kita lanjutkan, kita bikin lebih baik lagi. Yang kira-kira semua mengatakan tidak cocok, kita bikin yang cocok. Dengan demikian, tidak perlu ada satu top down correction, yang unnecessary, tapi kalau ada koreksi, ada proses interaksi dari kita semua, dari para pelaku demokrasi, pelaku pembangunan, pelaku kehidupan politik di negeri kita.

 

Saudara-saudara,

 

Dari topik pertama ini, meskipun dunia banyak menilai demokrasi kita terus mekar dan berkembang, tapi kita yang di dalam memahami betul dinamika, pasang surut, tantangan-tantangan yang marilah kita semua, semuanya kita jadikan pelajaran yang sangat berharga untuk membikin lebih baik lagi demokrasi kita di waktu yang akan datang. Itu yang pertama, Saudara-saudara.

 

Sekarang yang kedua. Kita ingin sebetulnya dilihat oleh kita sendiri atau dilihat oleh dunia apa adanya. Kita perlu cermin. Kalau saya lihat cermin apakah rambut saya kepanjangan, apakah baju saya kusut, apakah muka saya cukup cerah, apa seperti ini kurang tidur terus kelopak matanya jadi besar, kita bisa lihat. Sama, kita juga ingin ada cermin. Oleh karena itu, simply, sederhana saja. Manakala ada yang belum baik sebagaimana terlihat dalam cermin, ya, katakan belum baik, ini masih macet, pelaksanaan good governance masih ada gangguan di sini, birokrasi di sini masih lamban, dan seterusnya, dan seterusnya. Silakan dibuka karena itu untuk koreksi diri, untuk memotivasi, untuk saya bisa ikut menindaklanjuti karena sesegera mungkin, 24 jam, saya bisa mengerti yang dilaksanakan oleh seluruh jajaran pemerintah di negeri kita ini. Cermin itu media massa. Cermin itu televisi, cermin itu harian, cermin itu majalah, dan berbagai wahana media yang makin sophisticated karena perkembangan teknologi.

 

Sebaliknya, kalau sudah ada yang baik daripada diganti, wong baik kok, kemudian kita juga perlukan cermin. Ada sesuatu yang berprestasi, kemiskinan menurun dengan drastis karena inovatif. Ada juga Walikota yang kotanya bersih, dekat sama rakyat, dan lain-lain. Sebagai manfaat sebuah cermin tolong juga diangkat. Dengan demikian, bangsa ini, alhamdulillah, banyak yang belum bagus, tapi ada juga yang bagus-bagus. Ini bagus, jujur pada diri sendiri. Akhirnya, mana yang bagus kita pertahankan dan kita kembangkan. Yang belum bagus kita bikin bagus, just tell the truth. Mahal, mulia, tapi harus karena ini amanah.

 

Demikian juga luar negeri. Terus terang selama hampir empat tahun saya mengemban amanah, saya jatuh tempo tanggal 20 Oktober tahun depan. Ini memasuki tahun kelima, hampir. Empat tahun ini ketika saya bertemu dengan banyak pihak, di dalam dan di luar negeri, mesti ada porsi untuk menjelaskan, to explain, apa yang ada di Indonesia, yang sudah kami capai apa, yang belum kami capai apa. Sering sekali ada misperception. Sering kali negara kita dilihat sebelah mata. Entah dari mulut ke mulut, dari berita ke berita, tayangan media luar negeri, mungkin juga secara tidak sadar coverage dari tayangan media dalam negeri.

 

Nah, setelah mereka datang, seeing is believing, pengetahuan mereka makin lengkap. Oleh karena itu, demi tujuan yang baik yang saya sampaikan tadi, saya sungguh ingin agar peran media massa dalam menggambarkan kehidupan kita sebagai cermin dan juga dalam konteks global itu betul-betul dijalankan dengan sebaik-baiknya, proporsional, profesional. Saya senang tadi, kalau sudah bicara profesionalisme, profesionalitas, bicara idealisme.

 

Saudara-saudara,

 

Kita masih ingat dulu ketika abad-abad awal kebangkitan dunia modern, yang dinamakan kaum profesional dulu itu ada tiga. Satu, dokter, yang kedua, ahli hukum, yang ketiga, perwira militer, karena mereka terikat dalam etika kebenaran, etika pengorbanan, etika keberpihakan kepada yang besar. Nah, sekarang, telah banyak cabang-cabang profesi yang juga paling tidak dikategorikan sebagai kaum profesional. Guru, oleh Undang-Undang kita namakan kaum profesional, wartawan, kaum profesional, dan lain-lain. Kalau memang itu menjadi hajat dan kesadaran dari teman-teman sebagaimana kaum profesional yang lain untuk terus memelihara nilai-nilai profesionalisme, memelihara etika profesinya masing-masing, tentunya kesempatan yang baik agar demokrasi mekar, nilai-nilai yang baik juga berkembang bersama-sama dengan bangkitnya profesionalisme dari teman-teman para wartawan. Saya hanya mendoakan dan saya juga mendukung, mendorong agar proses ini yang lebih bersifat internal dapat tumbuh dan berlangsung dengan baik.

 

Hadirin yang saya hormati,

 

Yang terakhir, sebelum saya merespon nanti dua poin yang diangkat tadi, itu, apa yang sedang barlangsung di negeri kita ini. Partai-partai politik sudah ditentukan berapa jumlahnya sekarang? 34, ada yang lama, ada yang baru, ada yang lama dengan kemasan yang baru, yang semuanya memiliki hak, semuanya akan berperan, semuanya sungguh ingin sebetulnya ikut dalam kompetisi ke depan ini. Oleh karena itu, mari kita ciptakan ruang agar semua partai-partai politik dengan tokoh-tokohnya memiliki ruang yang sama, equality of the opportunity untuk berkompetisi secara sehat, untuk berkompetisi secara baik. Saya respect semua pada partai-partai politik, saya respect semua, pada tokoh-tokoh itu. Bahkan beberapa kali saya sampaikan, makin banyak pilihan sesungguhnya, asal jumlahnya rasional, makin baik bagi rakyat untuk memilih siapa yang tepat menjadi wakil-wakil mereka di DPR dan DPRD. Siapa yang tepat menjadi wakil-wakil mereka di DPD. Siapa yang tepat kira-kira nanti memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Presiden dan Wakil Presiden yang juga akan mengangkat para Menteri dan pembantu-pembantunya.

 

Ini adalah hak rakyat, kepentingan rakyat, untuk hadir muncul seperti ini, penyegaran kepemimpinan, regularitas demokrasi. Nah, kita semua harus menciptakan ruang, sekali, lagi agar proses itu berjalan dengan baik. Kalau itu kita ciptakan, pilar pertahanan bagi berkualitasnya demokrasi, berkualitasnya pemilihan umum, baik itu untuk legislatif maupun untuk Presiden dan Wakil Presiden tahun depan, akan betul-betul dapat kita wujudkan. Circumstances, iklim, ini sangat penting, kuat.

 

Nah, yang kedua, proses. Kita semua ingin prosesnya penuh pembelajaran, penuh etika, penuh konstitusionalisme, penuh ketaatan pada aturan lain dan etika, dan lain-lain. Sehingga, meskipun nanti akan keras kompetisi itu, bisa berhadap-hadapan, bisa berjalan, tetapi sesungguhnya masih dalam bingkai, dalam koridor demokrasi yang sehat. Nah ini, memang terpulang kepada para ilmuwan, para tokoh-tokoh politik, para pimpinan-pimpinan partai politik untuk bersama-sama mengelola proses dalam Pemilu ini sebaik-baiknya karena ruang, kondisi, iklim, circumstances telah bisa kita ciptakan untuk memungkinkan proses kompetisi itu berjalan dengan baik. Ini pilar yang kedua.

 

Pilar yang ketiga, tentunya supaya tidak ada dusta di antara kita, maksud saya antar partai-partai politik. Kita ini antara partai politik dengan rakyat, antara tokoh-tokoh politik dengan rakyat, maka kampanye-kampanye, penjelasan-penjelasan itu harus aktual, kemudian ya tentunya merupakan a possitive campaign. Boleh saja, di luar negeri juga ada negative campaign. Boleh, tidak dilarang, tetapi bagi negara yang sudah berkembang, kebebasan telah mekar, yang tentunya kita ingin mematangkan kehidupan demokrasi ini. Kalau itu berlebihan, maka negeri kita akan menjdi lautan hikmah, lautan provokasi, lautan agitasi, yang kalau itu justru mendominasi proses politik akan tenggelam yang baik-baik oleh gelombang lautan seperti itu. Oleh karena itu, seelok-eloknya yang kita kembangkan adalah fase great campaign, dengan demikian lebih gamblang bagi rakyat nanti ketika harus menyampaikan pilihan kepada siapa, siapa itu, bisa partai politik atau kepada tokoh-tokoh perseorangan. Itu pilar yang ketiga.

 

Nah, pilar yang keempat, sesungguhnya setelah demokrasi atau kompetisi atau Pemilu ini selesai, tidak benar sebuah bangsa yang lima tahun terus-menerus berada dalam suasana berhadap-hadapan, suasana pemilu terus, suasana permusuhan sampai tujuh turunan. Janganlah itu, wong sudah selesai. Jadi kalau sudah selesai itu tetanggaan, satu RT, hubungan keluarga, satu fakultas, satu pers, kita kan bangsa Indonesia, ayo kita sukseskan! Siapapun yang terpilih nanti sebagai anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden, Wakil Presiden, Menteri, supaya bangsa ini maju lagi lima tahun berikutnya lagi, maju lagi tahun berikutnya lagi dan tidak perlu kalah dengan negara-negara lain. Itu sangat-sangat mendasar, boleh konsolidasi, boleh orasi. Kenapa saya kok kalah, kenapa kok nggak berhasil, untuk lima tahun berikutnya lagi. Tata lagi, mungkin kadernya, mungkin entah structurenya, cara-cara berkampanye dan seterusnya, dan seterusnya.

 

Dengan demikian, yang ada adalah perbaikan kualitas, yang ada adalah kematangan yang makin matang dan kemajuan dari proses demokrasi yang akan kita jalankan. Ini yang nomer empat, ini juga berpulang pada para elite, para tokoh politik, dan barangkali termasuk diri saya, termasuk barang kali Menteri-Menteri yang ada di depan ini, dan kita semua. Kalau menang, itu memang penuh dengan kemakmuran, kebahagiaan. Tapi kalah itu juga mudah, dan membangun harapan baru. Kalah sekarang insya Allah menang kemudian.

 

Saya pernah kalah waktu pemilihan Wakil Presiden. Saya kira masih ingat tahun 2001. Calonnya lima dulu, mulai dari Pak Hamzah Haz, Pak Akbar Tanjung, saya, Pak Agum Gumelar, Pak Siswono Yudohusodo. Setelah putaran pertama tinggal tiga, Pak Hamzah Haz, Pak Akbar Tanjung, saya. Akhirnya penyisihan berikutnya lagi saya kalah. Orang yang kalah tentu kecewa karena polling di luar itu tinggi sekali. Tapi saya salah. Di situlah kesalahan saya yang mendasar, dan karena saya salah, saya kalah, karena pikiran saya kalau polling itu tinggi sekali pasti menang. Nah, itu yang menjadi polling rakyat sedangkan yang memilih itu anggota MPR, saya salah dan saya kalah. Oleh karena itulah, hari berikutnya lagi, pagi-pagi sekali saya dengan didampingi oleh istri dan tim, di depan wartawan saya menyampaikan konferensi pers. Konferensi persnya saya mengakui dan menyatakan kalah, tidak berhasil dalam kompetisi tadi malam. Dan kompetisi tadi malam di MPR prosesnya demokratik, sah dan benar.

 

Yang kedua, saya minta maaf kepada konstituent saya, saya belum bisa memenuhi harapan untuk menjadi Wakil Presiden waktu itu. Terus yang ketiga, saya meminta wakil saya untuk mendukung penuh Wakil Presiden terpilih agar berjalan dengan baik. Setelah itu saya tenang, lepas sudah, dan saya belajar dari kesalahan dan kekalahan itu. Oleh karena itu, dalam kehidupan politik menurut saya, kekalahan itu ya bisa berkah, bisa indah andaikata bisa menerima dan kemudian berjuang lagi untuk berikutnya lagi. Ini adalah yang kita harapkan nanti ketika Pemilu usai. Menuju ke Pemilu lagi tahun 2014. Empat pilar ini penting. Ibarat kursi, karena yang Bapak duduki, kakinya empat, itu akan kokoh. Tapi kalau satu, itu mesti bisa guling, apa begitu, dua pun, tiga oke. Tapi kalau empat itu kokoh.

 

Nah, di mana pers? Pers masuklah pada penguatan pilar-pilar itu seluruhnya. Membangun iklim, circumstances, mulai sekarang sehingga proses Pemilu bisa dilaksanakan dengan baik. Saya katakan tadi cara-cara berkompetisi, angkat, buka semuanya, angkat semua, tetapi tentu dengan jernih. Nah, kalau ini kita angkat semua kan bisa perang, bisa tusuk-tusukan, bisa bakar-bakaran. Mungkin ada satu pikiran yang jernih dari pers kemudian pilar-pilar yang lain yang telah saya sampaikan tadi.

 

Saudara-saudara,

 

Saya hanya memohon, saya berharap bersama-sama kita untuk sukseskan Pemilu ini. Saya pun terus belajar masalah demokrasi. Saya kira kita semua adalah the students of democracy, tidak ada yang sangat pakar karena semuanya juga terus berkembang. Mari kita pandai-pandai belajar dan beradaptasi dengan perkembangan ini semua. Saya kira sebagai rasa bahagia saya telah dilaksanai kongres kemarin di Aceh, ya itu yang perlu saya sampaikan. Nah, tinggal saya akan merespon dua hal. Saya konsultasi dulu, mana yang... Saya ingin begini, saya tidak ingin dengar yang sepotong-sepotong, yang certain, apa yang mengganggu. Pengambilan keputusan pada tingkat saya tidak bisa humor, tidak bisa desas-desus, tidak bisa ditekan oleh pistol, tidak bisa dikepung, harus rasional, harus kita bertanggung jawab.

 

Supaya para wartawan juga dengar langsung. Satu, dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999, dikatakan Bab II pasal 4 ayat 2: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Ini di sini. Lantas, dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Saya lihat di sini Pasal 99 tentang sanksi. Pasal induknya apa sebelum sanksi? Bagian keenam: pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye. Itu Pasal 99.

 

Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat 2, saya lupa pastinya, kira-kira begitu: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; d. denda; e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu atau pencabutan ijin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan ijin penerbitan media massa cetak. Kenapa? Mengerti makanya. Jangan dimarahi saya, saya baca di sini. Saya baca.

 

Oke, sekarang kita lihat Pasal 98 ayat 1. Dalam hal terdapat bukti pelanggaran ketentuan ini. Baiklah, begini. Semangat kita, saya kira inilah nafas reformasi agar tidak ada lagi pembredelan, pencabutan, ini kita jadikan pilihan kita. Dan berkali-kali saya juga mengatakan seperti ini. Nah, kemudian ternyata dalam kedua Undang-Undang ini ada sesuatu yang bertabrakan. Undang-Undang Pers sejiwa dengan nafas reformasi. Di sini bertentangan dengan itu, yang berkaitan khusus dengan, dalam pikiran saya, bagaimana Pemilu ini bisa diselenggarakan dengan baik. Oleh karena itu, kepada Menteri terkait, otoritas saya, kewenangan saya, untuk segera mempelajari dengan cepat apa yang mesti diposisikan oleh Pemerintah untuk menyelesaikan ini. Saudara punya hak sendiri, punya hak politik sendiri, silakan, saya tidak akan menghalang-halangi juga tidak akan menyuruh-menyuruh begitu, silakan, tapi toh bukan saya. Sebagai Kepala Pemerintahan, sebagai pemerintah akan segera melihat ini dan see apa yang harus kita lakukan untuk kebaikan.

 

Yang pertama sudah PR saya, ya. Ini berkaitan sebetulnya Undang-Undang Pers harus dijalankan penuh. Memang, Saudara-saudara, begini. Ada falsafah jagad kecil, ada falsafah jagad besar. Jagad kecil itu bagaimana pers memiliki kebebasan, memiliki kewenangan, memiliki tanggung jawab dan seterusnya, yang sudah dituangkan secara spesifik dalam Undang-Undang. Nah, kemudian jagad besar. Kehidupan pers ini bagian dari kehidupan nasional sehingga sebetulnya no body in this country yang sebetulnya memiliki hak yang eksklusif. Jadi, kalau seorang Presiden berbuat kejahatan, meskipun saya punya privilege, punya executive power, tapi tetap harus mempertanggungjawabkan. Jadi, kalau melihat itu barangsiapa, bahasa hukum ‘kan begitu. Barangsiapa itu ya Presiden, ya pers, ya businessman, ya dokter, ya seorang Kopral, siapapun begitu. Itu kalau kita melihat jagad besar. Tetapi tidak boleh kontradiktif memang. Tidak boleh rancu, tidak boleh, dan lain-lain. Equality before the law itu ada sebetulnya.

 

Kemudian semua harus tunduk pada pranata nasional kita, tapi sekali lagi tidak boleh ada kontradiksi, membingungkan. Undang-Undang tidak ada pencabutan seperti itu. Tetapi yang lain bisa dibredel, segala macam. Ini bagus untuk pembelajaran. Artinya, orang-seorang di antara kita ini tidak ada yang kebal hukum manakala kita melakukan kejahatan. Ini kita pecah dulu. Setelah itu, kalau profesi ada aturan jurnalisme, ada aturan Undang-Undang Pers. Itu juga harus kita jalankan. Poinnya adalah memang betul Pak Margiono harus kita jalankan Undang-Undang ini. Saya katakan tadi karena ada yang kontradiktif dengan Undang-Undang Pemilu segera kita selesaikan dengan saluran masing-masing, dengan cara masing-masing. Konsultasi saya minta dibuka, Saudara Menteri Komunikasi dan Informatika dengan mitranya karena pers ini partner Pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini sebaik-baiknya.

 

Saya kira hanya dua itu. Dan doa saya yang paling penting agar media massa yang Saudara kelola tumbuh dengan baik, rejekinya tambah banyak, musim Pemilu barangkali tambah rejeki, tetapi ingat empat pilar tadi. Jadi, halal, sah, dan membawa manfaat bagi bangsa kita. Silakan, selamat berjuang. Tuhan beserta kita.


Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

 

 

Biro Naskah dan Penerjemahan,
Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan,
Sekretariat Negara RI