Dalam acara dialog peradaban yang digelar Center for Information and Development Studies (CIDES) yang mengangkat tema “Islam dan Masa Depan Indonesia: Meneropong Sebuah Pergumulan Peradaban�, di Jakarta, Kamis (4/10) lalu, Mensesneg Hatta Rajasa melihat peradaban Islam sesungguhnya berintikan pada integrasi berbagai dimensi pengetahuan, sehingga untuk membangun kembali kejayaan peradaban harus dimulai dengan memajukan pendidikan. Namun, pada kenyataannya negara-negara mayoritas muslim di dunia saat ini tengah tertinggal dalam hal produksi inovasi.
“Berdasarkan data dari UNDP, negara-negara yang mayoritas muslim termasuk Indonesia dikategorikan medium, berada pada kisaran 0,5 sampai 0,79. Meski masih di atas Afrika, tetapi jauh bila dibandingkan negara-negara maju yang berada pada kisaran 0,8 sampai 1,� papar Mensesneg.
Untuk mengimbangi produktivitas negara-negara maju itu, Hatta Rajasa menekankan sudah saatnya warga muslim di Indonesia membangun kembali tradisi keilmuan yang dulu pernah berkembang di dunia Islam dalam memproduksi berbagai kebutuhan keilmuan dan teknologi. “Peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun oleh ilmu pengetahuan atau knowledge-based civilization yang dihasilkan pandangan hidup Islam.�
Mensesneg menambahkan, saat ini DPR dan Pemerintah telah bersepakat untuk membelanjakan paling tidak 20% dari anggaran pembangunan untuk pendidikan. Hal ini perlu disyukuri karena pembangunan suatu tatanan masyarakat yang akan membawa pada suatu peradaban unggul harus dimulai dengan pembentukan kaum intelektual. Bahkan, perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan pemikiran kaum intelektual.ÂÂ
“Di dalam Islam, tujuan pendidikan adalah mewujudkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki empat karakter, yaitu sebagai manusia yang beraqidah hidup yang lebih benar, sebagai manusia yang berakhlak mulia, sebagai manusia yang berpikir cerdas, dan sebagai manusia yang sehat dan kuat, kreatif, inovatif, responsif. Jika kita membangun sumber daya manusia dengan empat karakter tadi, Insyaallah, secara perlahan kita akan membangun sebuah peradaban baru,� jelas Hatta.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menyoroti salah satu kelemahan reformasi di Indonesia adalah tiadanya sebuah kerangka konseptual maupun cetak biru tentang Indonesia Baru. “Saya kira ini luput dari perhatian para reformis dan semua elemen bangsa karena tidak menentukan awal dari Indonesia Baru,� kata Din Syamsuddin.
Pengertian Indonesia Baru sendiri, menurut Din Syamsuddin, masih merupakan wilayah abu-abu bagi masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya perjalanan bangsa ini dinilai Din Syamsuddin mengarah pada ketidakpastian dan harus segera diatasi. ÂÂ
Politisi dan cendekiawan Muslim ini menilai Islam di Indonesia bukan hanya merupakan faktor demografis, dimana dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, namun Islam mempunyai peluang untuk bisa menjadi faktor budaya bahkan faktor ekonomi-politik walapun saat ini Din Syamsuddin masih mempertanyakannya. ÂÂ
“Walau sebelum kemerdekaan, Islam bisa berperan menjadi tulang punggung kebangsaan Indonesia namun sekarang kita berkesimpulan lain. Islam belum menjadi kekuatan efektif untuk menunjukkan masa depan Indonesia. Islam belum tampil sebagai penyelesaian masalah bangsa tetapi malah tampil sebagai part of the problem dari bangsa ini yang disadari atau tidak disadari membawa feedback yang sensitif dalam politik, ekonomi, sosial bangsa dan menjelekkan citra bangsa di mata internasional. Inilah tugas dari cendekiawan muslim terutama untuk menyusun langkah-langkah konkrit untuk mengatasi hal ini,� jelas Din Syamsuddin. (HUMAS-SETNEG)
Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?