Hal tersebut ditegaskan oleh Mensesneg di depan sejumlah praktisi
akademisi yang hadir dalam Forum Dekan FISIP/FISIPOL/FIS Perguruan
Tinggi Negeri ke VI se-Indonesia, di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka
Belitung, Sabtu (3/9) lalu. Acara dihadiri oleh perwakilan sekitar 35
perguruan tinggi negeri serta jajaran pemerintah daerah.   Â
Lebih lanjut, Pratikno memaparkan bagaimana kondisi terkini yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia yang mengalami kegagalan dalam mengelola keberagaman dan demokrasi. Baik negara yang homogen maupun heterogen dalam soal etnis maupun agama, banyak terjebak dalam konflik.
Contohnya, negara-negara di Timur Tengah dan Eropa. Timur Tengah yang cenderung homogen baik etnis maupun agama masih dirundung konflik. Eropa pun saat ini masih kebingungan mengelola pluralisme. Peristiwa penyerangan kota Paris, Perancis, pada tanggal 13 November 2015 lalu dan pengeboman yang terjadi di Brussels, Belgia, pada tanggal 22 Maret 2016, menjadi bukti Eropa masih kesulitan mengelola keberagaman.
“Sekarang adalah abadnya Asia. Saatnya peradaban Asia mewarnai dunia dan Indonesia punya peluang untuk itu, karena Indonesia adalah negara besar dan paling plural di antara negara-negara Asia lainnya. Pemerintah akan memanfaatkan momentum ini untuk menunjukkan kepemimpinan Indonesia,†papar Mensesneg.Â
Indonesia sangat beruntung karena punya dasar yang kuat yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Hal inilah yang perlu terus digali. Soal pluralisme, Mensesneg Pratikno berpendapat, sudah saatnya masyarakat internasional belajar ke Indonesia. Indonesia pun diharapkan tidak lagi menjadi translator melainkan menjadi narator. Mensesneg pun mencontohkan bagaimana delegasi ulama dari Afghanistan datang ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk belajar Pancasila. Â
Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengembangkan studi-studi interdisipliner. Mensesneg Pratikno berpendapat ilmu sosial dan politik di Indonesia cenderung terjebak pada studi-studi prosedural seperti Pilkada atau Otonomi Daerah, yang tidak menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Padahal ilmu sosial dan politik punya potensi kepemimpinan dimana membantu mewujudkan temuan yang dihasilkan ilmu-ilmu lain menjadi nyata melalui kebijakan yang dipelajari ilmu sosial dan politik.Â
Mensesneg berharap para pendidik ilmu sosial dan politik di kampus-kampus dapat menyadari hal ini karena dampaknya sangat besar dalam membantu menyelesaikan masalah bangsa. (Humas Kemensetneg)
Lebih lanjut, Pratikno memaparkan bagaimana kondisi terkini yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia yang mengalami kegagalan dalam mengelola keberagaman dan demokrasi. Baik negara yang homogen maupun heterogen dalam soal etnis maupun agama, banyak terjebak dalam konflik.
Contohnya, negara-negara di Timur Tengah dan Eropa. Timur Tengah yang cenderung homogen baik etnis maupun agama masih dirundung konflik. Eropa pun saat ini masih kebingungan mengelola pluralisme. Peristiwa penyerangan kota Paris, Perancis, pada tanggal 13 November 2015 lalu dan pengeboman yang terjadi di Brussels, Belgia, pada tanggal 22 Maret 2016, menjadi bukti Eropa masih kesulitan mengelola keberagaman.
“Sekarang adalah abadnya Asia. Saatnya peradaban Asia mewarnai dunia dan Indonesia punya peluang untuk itu, karena Indonesia adalah negara besar dan paling plural di antara negara-negara Asia lainnya. Pemerintah akan memanfaatkan momentum ini untuk menunjukkan kepemimpinan Indonesia,†papar Mensesneg.Â
Indonesia sangat beruntung karena punya dasar yang kuat yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Hal inilah yang perlu terus digali. Soal pluralisme, Mensesneg Pratikno berpendapat, sudah saatnya masyarakat internasional belajar ke Indonesia. Indonesia pun diharapkan tidak lagi menjadi translator melainkan menjadi narator. Mensesneg pun mencontohkan bagaimana delegasi ulama dari Afghanistan datang ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk belajar Pancasila. Â
Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengembangkan studi-studi interdisipliner. Mensesneg Pratikno berpendapat ilmu sosial dan politik di Indonesia cenderung terjebak pada studi-studi prosedural seperti Pilkada atau Otonomi Daerah, yang tidak menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Padahal ilmu sosial dan politik punya potensi kepemimpinan dimana membantu mewujudkan temuan yang dihasilkan ilmu-ilmu lain menjadi nyata melalui kebijakan yang dipelajari ilmu sosial dan politik.Â
Mensesneg berharap para pendidik ilmu sosial dan politik di kampus-kampus dapat menyadari hal ini karena dampaknya sangat besar dalam membantu menyelesaikan masalah bangsa. (Humas Kemensetneg)
Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?