Negara Maju Harus Bantu Negara Berkembang

 
bagikan berita ke :

Kamis, 25 Oktober 2007
Di baca 4205 kali

Bogor: Negara-negara maju sangat dibutuhkan untuk menyediakan sumber dan bantuan keuangan bagi negara-negara berkembang yang memiliki sumber terbatas untuk mengatasi dan beradaptasi dengan hasil dari perubahan iklim. Penegasan tersebut dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya saat meresmikan pembukaan Pertemuan Pendahuluan Tingkat Menteri United Nations Framework Convention on Climate Change 13th Conference on The Parties/3rd Conference and Meeting of The Parties (UNFCCC COP-13/CMP-3) di Ruang Garuda, Gedung Induk Istana Bogor, Rabu (24/10) pagi.

Negara-negara maju juga harus terus memimpin pengurangan emisi karbon di dunia. "Mereka dapat melakukan hal tersebut dengan mengubah sistem sosial dan ekonominya menjadi karbon rendah atau masyarakat netral karbon," kata SBY dihadapan perwakilan 40 negara yang mengikuti pertemuan pendahuluan tersebut. "Saya menghargai banyak pihak yang sudah menyiapkan target ambisius mengurangi emisi tanpa menunggu kesepakatan global," tegasnya.

SBY mengucapkan terimakasih kepada para menteri dan perwakilan dari negara-negara yang hadir pada pertemuan pendahuluan yang berlangsung selama dua hari ini di Bogor. "Saya mempunyai harapan yang tinggi bahwa anda semua dapat meraih tujuan dari pertemuan ini, untuk membangun dasar keputusan bagi proses COP 13, yang disebut 'Bali Roadmap'," kata SBY.

Menurut SBY, yang dibutuhkan masyarakat sekarang ini adalah aksi nyata jauh hingga tahun 2012, tidak hanya bagian dari komitmen pertama Protokol Kyoto. "Kita harus dapat menghasilkan sesuatu yang positif di Bali. Pada saat yang bersamaan, kita juga harus memastikan bahwa hasil tersebut tidak membahayakan usaha-usaha pada pembangunan sosio ekonomi," SBY menerangkan

Untuk meraih pembangunan yang berkelanjutan, tugas dari perlindungan lingkungan dapat dan harus berdampingan dengan tugas pembangunan sosio ekonomi, termasuk penanggulangan kemiskinan. "Jika kita memahami sesuatu sejak Kyoto Protocol, kita dapat menjaga lingkungan sekaligus memastikan keamanan energi dan pertumbuhan ekonomi, hanya jika kita dapat mengembangkan teknologi dan kebijakan yang tepat," lanjutnya.

"Kita harus dapat menerima fakta ilmiah bahwa dalam jangka waktu yang panjang, kita hanya dapat memperlambat, menghentikan, dan membalikkan emisi gas rumah kaca jika negara maju dan negara berkembang bersama-sama mewujudkan aksinya. Pencegahan perubahan iklim harus dilakukan oleh semua negara-negara di seluruh dunia," SBY menandaskan.

Dalam kesempatan itu, Presiden SBY juga mendengarkan pidato Sekjen PBB yang dibacakan Executive Secretary UNFCC Yvo de Boer. Sekjen PBB berharap konferensi di Bali nanti dapat menjadi titik awal kesepakatan global tentang perubahan iklim. Usai membuka pertemuan pendahuluan tingkat menteri tersebut, SBY beramah tamah dan berfoto bersama dengan para ketua delegasi di tangga depan Gedung Induk.

Negara-negara yang mengikuti pertemuan pendahuluan itu antara lain adalah Denmark, Perancis, Jerman, Jepang, Australia, Norwegia, Amerika, India, Malaysia, dan Pakistan. Nampak hadir pada acara tersebut antara lain adalah Menlu Hassan Wirajuda, Meneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, 18 menteri lingkungan hidup dari negara-negara sahabat, dan pejabat PBB.

Dari Istana Bogor, Presiden SBY dan rombongan menuju landasan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, untuk selanjutnya bertolak ke Kediri, Jawa Timur. Di sana Presiden akan meninjau situasi Gunung Kelud dan kondisi pengungsi.

 

Sumber:
http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2007/10/24/2345.html

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
9           5           6           2           10