“Sampai tahun 2015, kapasitas listrik terpasang di Indonesia mencapai 53 GW dengan energi terjual mencapai 220 TWH. Rasio elektrifikasi saat ini sebesar 87,5%. Untuk mencapai rasio elektrifikasi hingga 97,2% pada 2019, diperlukan pertumbuhan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sekitar 8,8% per tahun. Ini berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 6% per tahun dengan asumsi elastisitas 1,2â€, kata Darmin.
Untuk mengejar target tersebut, diperlukan kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan berupa penugasan kepada PT PLN (Persero). Dengan adanya Perpres ini, PT PLN akan memiliki dasar hukum yang kuat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.
Pemerintah akan mendukung berbagai langkah PLN seperti menjamin penyediaan energi primer, kebutuhan pendanaan dalam bentuk PMN dll. Juga fasilitas pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), penyederhanaan perizinan melalui PTSP, penyelesaian konflik tata ruang, penyediaan tanah serta penyelesaian masalah hukum, serta pembentukan badan usaha tersendiri yang menjadi mitra PLN dalam penyediaan listrik.
Â
Stabilisasi Pasokan dan Harga Daging
Sapi
Selain listrik, yang masuk dalam Paket
Kebijakan Ekonomi IX adalah kebijakan tentang pasokan ternak dan/atau produk
hewan dalam hal tertentu. “Kebijakan ini didasari kebutuhan daging sapi dalam
negeri yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2016 ini, misalnya,
kebutuhan nasional adalah 2,61 perkapita sehingga kebutuhan nasional setahun
mencapai 674,69 ribu ton atau setara dengan 3,9 juta ekor sapi,†papar Darmin.
Kebutuhan tersebut belum dapat
dipenuhi oleh peternak dalam negeri, karena produksi sapi hanya mencapai 439,53
ribu ton per tahun atau setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Jadi terdapat
kekurangan pasokan yang mencapai 235,16 ribu ton yang harus dipenuhi melalui
impor.
Pemerintah sebenarnya telah melakukan
langkah-langkah untuk meningkatkan pasokan atau produksi daging sapi dalam
negeri. Antara lain melalui upaya peningkatan populasi, pengembangan logistik
dan distribusi, perbaikan tata niaga sapi dan daging sapi, dan penguatan
kelembagaan melalui Sentra Peternakan Rakyat (SPR). Namun karena upaya tersebut
memerlukan waktu perlu dibarengi pasokan dari luar negeri untuk menutup
kekurangan yang ada.
Mengingat terbatasnya jumlah negara
pemasok,pemerintah Indonesia perlu memperluas akses dari negara maupun zona
tertentu yang memenuhi syarat kesehatan hewan -- yang ditetapkan Organisasi
Kesehatan Hewan Internasional (OIE) -- untuk menambah alternatif sumber
penyediaan hewan dan produk hewan.
Untuk itu Menteri Pertanian akan
menetapkan negara atau zona dalam suatu negara, unit usaha atau farm untuk
pemasukan ternak dan/atau produk hewan berdasarkan analisis resiko dengan tetap
memperhatikan ketentuan OIE.
Dengan demikian, pemasukan ternak dan
produk hewan dalam kondisi tertentu tetap bisa dilakukan, seperti dalam keadaan
bencana, kurangnya ketersediaan daging, atau ketika harga daging sedang naik
yang bisa memicu inflasi dan mempengaruhi stabilitas harga. Jenis ternak yang
dapat dimasukkan berupa sapi atau kerbau bakalan, sedangkan produk hewan yang
bisa didatangkan berupa daging tanpa tulang dari ternak sapi dan/atau kerbau.
Â
Sektor
Logistik, Dari Desa ke Pasar Global
“Sektor logistik perlu dibenahi demi meningkatkan efisiensi dan daya saing serta pembangunan konektivitas ekonomi desa-kota,†ujar Darmin.
Â
Lima jenis usaha yang dideregulasi, yakni:
a) |
Pengembangan Usaha Jasa Penyelenggaraan Pos
Komersial |
 | Menyelaraskan
ketentuan tentang besaran tarif untuk mendorong efisiensi jasa pelayanan pos.
Ini dilatari adanya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun
2014 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor 9 Tahun 2015 yang menetapkan besaran tarif jasa pos komersial harus lebih
tinggi dari tarif layanan pos universal yang ditetapkan pemerintah. Ketentuan
ini dinilai membatasi persaingan pelaku penyelanggara pos komersial. |
 |  |
b) |
Penyatuan Pembayaran Jasa-jasa Kepelabuhanan
Secara Elektronik (Single Billing)Â |
 |
Menyatukan
pembayaran jasa-jasa kepelabuhanan secara elektronik (single billing)
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengoperasikan pelabuhan. Ini sebagai
penegasan pelaksanaan Peraturan Menteri BUMN Nomor 2 Tahun 2013 tentang Panduan
Penyusunan Pengelolaan Teknologi Informasi BUMN.
Selama ini pelaku usaha yang menggunakan jasa kepelabuhan umumnya masih melakukan pembayaran secara parsial dan belum terintegrasi secara elektronik. Ini berdampak terhadap lamanya waktu pemrosesan transaksi (20% dari lead time) di pelabuhan. Melalui penyatuan pembayaran secara elektronik ini, efisiensi biaya dan waktu untuk memperlancar arus barang di pelabuhan akan bisa lebih ditingkatkan. |
 |  |
c) |
Sinergi BUMN Membangun Agregator/Konsolidator
Ekspor Produk UKM, Geographical Inidications, dan Ekonomi Kreatif |
 | Melalui BUMN, pemerintah ingin membuka
peluang lebih besar kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM), terutama dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selama ini beragam produk UKM,
produk khas daerah, dan produk kreatif masyarakat masih sulit memenuhi
ketentuan dan dokumen yang diperlukan ketika hendak mengekspor produknya. |
 |  |
d) |
Sistem Pelayanan Terbadu Kepelabuhan Secara
Elektronik |
 | Kj |
 |
Indonesia saat
ini sudah memiliki Portal Indonesia National Single Window (INSW) yang
menangani kelancaran pergerakan dokumen ekspor impor. Portal Indonesia National
Single Window (INSW) sudah diterapkan di 16 (enam belas) pelabuhan laut dan
5 (lima) bandar udara di Indonesia. |
 |  |
e) |
Penggunaan mata uang rupiah untuk transaksi
kegiatan transportasi. |
 | Pembayaran
beberapa kegiatan logistik seperti transportasi laut dan pergudangan masih
menggunakan tarif dalam bentuk mata uang asing yang dikonversikan ke dalam mata
uang Rupiah dengan besaran kurs yang ditentukan oleh masing-masing pemberi jasa
(tidak ada acuan kurs). Pada umumnya ketentuan kurs yang digunakan di atas kurs
Bank Indonesia. |
 |  |
|
|
|
|
Sumber : Humas Ekon