Data terbaru
hasil Sensus Pertanian 2013 (SP-2013) secara resmi belum
diumumkan. Namun, saat ini sudah beredar berita yang menyebutkan populasi sapi
potong hanya 12- 12,5 juta ekor. Â Penurunan populasi itu ditengarai akibat pemotongan sapi secara
besar-besaran sebagai dampak harga daging sapi yang bertahan relative tinggi . Sementara itu proyeksi kebutuhan daging sapi tahun 2013 dari Kementerian
Pertanian adalah sebesar 549,7 ribu ton. Dari jumlah itu, 474,4 ribu ton mampu
dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu
ton (14,6%) harus diimpor. Adapun rincian impor tersebut terdiri dari 32 ribu ton
dalam bentuk daging sapi beku dan 267 ribu ekor sapi bakalan yang setara dengan
48 ribu ton daging sapi.
Data yang
disampaikan Kementerian Pertanian  tersebut menggambarkan bahwa potensi pemenuhan penyediaan daging sapi dari dalam negeri cukup besar meskipun belum mampu mencukupi seluruhnya.  Fenomena tingginya harga daging sapi di Pulau Jawa,
khususnya Jabodetabek dalam beberapa bulan terakhir ini, menunjukkan  adanya indikasi ketimpangan pada sistem pasokan daging sapi di Indonesia.
Sebaran populasi ternak sapi  dan sebaran konsumsi daging sapi menurut data
BPS menurut propinsi tidak merata. Di
Indonesia terdapat perbedaan tingkat konsumsi daging oleh masyarakat antara daerah satu dengan
lainnya. Masyarakat di kawasan Indonesia
Barat (Sumatera dan Jawa) memiliki tingkat konsumsi daging sapi tinggi,
sementara itu populasi ternak sapiÂ
menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan dalam jumlah cukup besar
berada di kawasan Indonesia Timur, seperti di Sulawesi Selatan, NTB,
NTT, dan Jawa Timur, yang justru tingkat
konsumsinya rendah.
Sebagai contoh, Provinsi NTT
menempati urutan empat populasi sapi potong terbesar di Indonesia. Perkembangan populasi ternak di NTT diprediksi akan terus meningkat setiap
tahun, dengan penambahan populasi terbanyak terdapat pada jenis ternak sapi.
Pada tahun 2012, jumlah populasi ternak sapi sebanyak 814.450 ekor, sedangkan
pada Januari 2013 meningkat menjadi 817.708 ekor. Angka itu diprediksi akan
terus meningkat seiring dengan sejumlah langkah konkret di lapangan dalam
pengembangan peternakan di NTT. Di sisi lain kebutuhan pasokan daging sapi untuk keperluan konsumsi
masyarakat di NTT Â relatif rendah, karena jumlah penduduknya memang jauh lebih sedikit dibandingkan pulau
Jawa. Â Kelebihan potensi populasi sapi
potong yang cukup besar tersebut sulit untuk disalurkan ke pulau Jawa, Â yang masih membutuhkan tambahan
pasokan cukup besar, akibat kendala logistik yang
berpengaruh pada harga jual yang tinggi saat tiba di tangan konsumen. Secara ekonomis, akan lebih murah mengimpor daging sapi atau bakalan sapi
dari Australia dibandingkan mendatangkannya dari NTT. Biaya logistik yang
tinggi menyebabkan daya saing produk
Indonesia, termasuk daging sapi, menjadi lebih rendah dibandingkan dengan
produk sejenis yang dihasilkan negara-negara pesaing.
Pasokan daging sapi dari daerah produsen menuju daerah
konsumen menjadi tersendat sebagai akibat dari kendala logistik, khususnya
sistem transportasi angkutan ternak yang masih belum memadai. Seperti sampai saat ini, pengangkutan ternak dari NTT masih menggunakan truk atau
kapal barang biasa yang berbarengan dengan penumpang. Kondisi ini sangat
berbeda dengan Australia, negara pemasok utama sapi hidup ke
Indonesia, yang menyediakan angkutan khusus
untuk ternak.Â
Â
Pembenahan Sistem Logistik Nasional
Memperhatikan kondisi tersebut, tampaknya agar permasalahan daging sapi dapat segera dipecahkan maka salah satu upaya
yang perlu dan mendesak dilakukan adalah pembenahan
terhadap sistem logistik nasional. Upaya ini diharapkan akan
berdampak langsung terhadap perbaikan distribusi daging sapi nasional, sehingga penyaluran komoditas daging sapi antar daerah di Indonesia dapat
berjalan secara efektif dan efisien.
Sistem logistik nasional Indonesia
saat ini relative belum efisien sehingga menyebabkan biaya
logistik tinggi. Kondisi ini berdampak negative pada komoditas perdagangan, baik
yang distribusikan di dalam negeri maupun dari atau ke luar negeri melalui
ekspor – impor. Komoditas daging sapi tidak luput
dari masalah ini sehingga salah satu faktor penyebab tingginya harga daging
sapi akhir – akhir ini ditengarai juga akibat dari biaya logistik yang tinggi. Biaya
logistik di Indonesia mencapai 24,64% dari PDB Indonesia pada tahun 2011.
Padahal biaya logistik di Amerika Serikat hanya sebesar 9,9%, Jepang sebesar 10,6%, dan Korea Selatan sebanyak 16,3%. Â Bahkan, menurut hasil survei Logistics Performance Index (LPI) oleh
Bank Dunia tahun 2012, Indonesia menempati peringkat 59, atau berada di bawah
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Saat ini, biaya
angkutan antar pulau seringkali jauh di atas biaya angkutan impor dari negara
lain.  Misalnya, ongkos pengiriman satu kontainer
ukuran 40 feet dari Padang, Sumatera Barat ke Jakarta mencapai US$
600. Padahal, ongkos kirim kontainer berukuran sama dari Jakarta ke Singapura, yang
jaraknya lebih jauh, hanya sebesar US$ 185.Â
Biaya logistik yang
tinggi juga terjadi di wilayah Indonesia Timur. Salah satu penyebabnya adalah
tidak adanya jaminan muatan balik dari wilayah timur bagi angkutan kargo (backhaul). Ini mengakibatkan ongkos
angkut dari dan ke wilayah timur Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan dari
dan ke wilayah barat Indonesia. Kondisi ini  mengakibatkan terjadinya disparitas harga yang
tinggi antara wilayah barat dan timur. Padahal, terkait masalah pasokan daging
sapi, wilayah timur Indonesia memiliki populasi serta potensi sapi potong yang
cukup besar dan prospektif.
Berkenaan
dengan permasalahan tersebut, pemerintah dengan para pemangku kepentingan tengah
berupaya untuk mengatasi permasalahan distribusi dan logistik daging sapi untuk
menurunkan harga dan mendorong peningkatan konsumsi daging sapi. Pemerintah terus berperan aktif dalam mengembangkan sistem logistik nasional. Upaya
ini bertujuan untuk memperlancar konektivitas antar daerah dan antar simpul – simpul
logistik yang dilakukan melalui revitalisasi pasar tradisional, pembangunan pusat
distribusi regional, serta pembangunan jaringan logistik antar simpul – simpul logistik
di setiap koridor ekonomi, sebagaimana dipetakan dalam Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sampai saat
ini, Kementerian Perdagangan melalui Tugas Pembantuan telah merevitalisasi
461 unit pasar tradisional dan lima Pusat Distribusi Nasional/Provinsi
dengan dana lebih dari Rp 2 triliun. Program lain yang dilakukan yaitu secara aktif
mendorong pembentukan dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, optimalisasi Cikarang
Dry Port, serta mendorong penetapan
pelabuhan hub internasional di Kuala
Tanjung untuk kawasan barat dan Bitung untuk kawasan timur Indonesia.
Upaya tersebut
merupakan perwujudan nyata dari Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2012 tentang
Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Peraturan ini secara jelas
merumuskan Visi Logistik Indonesia 2025 yaitu: “Terwujudnya Sistem Logistik
yang terintegrasi secara lokal, terhubung secara global untuk meningkatkan daya
saing nasional dan kesejahteraan rakyat (locally
integrated, globally connected for national competitiveness and social welfare)â€.
Terintegrasi secara
lokal (locally integrated), diartikan
bahwa pada tahun 2025 seluruh aktivitas logistik, termasuk sektor daging sapi,
di Indonesia mulai dari tingkat pedesaan, perkotaan,sampai dengan antar wilayah
dan antar pulau beroperasi secara efektif dan efisien, dan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi secara nasional dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Khusus untuk komoditas daging, dengan visi terintegrasi secara lokal ini diharapkan akan
mendorong terwujudnya ketahanan dan kedaulatan komoditas daging sapi nasional
yang ditandai dengan tercapainya swasembada daging sapi.
Sedangkan, terhubung
secara global (globally connected)
diartikan bahwa pada tahun 2025, Sistem Logistik Nasional akan terhubung dengan
sistem logistik regional (ASEAN) dan global melalui Pelabuhan Hub Internasional. Dalam
hal ini termasuk fasilitasi kepabeanan dan fasilitasi perdagangan, jaringan
informasi, serta jaringan keuangan sehingga pelaku dan penyedia jasa logistik
nasional, termasuk komoditas daging sapi, dapat bersaing di pasar global.
Integrasi secara lokal dan keterhubungan secara global dilakukan melalui
integrasi dan efisiensi jaringan logistik yang terdiri atas jaringan
distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan
yang didukung oleh pelaku dan penyedia jasa logistik. Jaringan sistem logistik domestik
dan keterhubungannya dengan jaringan logistik global secara baik akan menjadi
kunci sukses ketersediaan pasokan berbagai komoditas, termasuk daging sapi,
baik  dari aspek kuantitas, kualitas, maupun harga. Kondisi ini sangat
diperlukan mengingat persaingan tidak hanya
antar produk, antar perusahaan, namun juga antar jaringan logistik dan rantai
pasok bahkan antar negara.
Pengembangan sistem logistik
nasional, khususnya di sektor daging sapi, bukanlah perkara mudah seperti
membalik telapak tangan. Diperlukan dukungan peran aktif berbagai sektor
terkait untuk mewujudkannya. Â Pelibatan Perum BULOG dalam impor daging sapi
merupakan salah satu upaya yang ditempuh untuk memperbaiki distribusi dan
mendorong peningkatan konsumsi daging sapi di seluruh tanah air. Penugasan iniÂ
berimplikasi pada penataan infrastruktur logistic, termasuk di dalamnya sarana
transportasi hingga sarana penyimpan daging beku (cold storage) yang dikelola oleh BULOG. Untuk mengurangi lamanya waktu tempuh
pengangkutan sapi hidup maupun daging beku dari wilayah pemasok (Sulawesi
Selatan, Jateng, Jatim, NTT, NTB) perlu adanya kerjasama aktif Kementerian
Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, PT PELNI dan Pemerintah Daerah dalam
melakukan pembenahan sarana transportasi laut untuk angkutan ternak, perbaikan jalan darat untuk kelancaran truk,
dan penyederhanaan sistem administrasi terkait retribusi. Sementara itu, untuk menjamin tersedianya
pasokan dari dalam negeri diperlukan sinergi yang solid antara Kementerian
Pertanian, Kementerian BUMN, Pemerintah Daerah¸Perguruan Tinggi dan pihak Swasta.Â
Banyak pekerjaan rumah yang mesti
diselesaikan di berbagai bidang secara bertahap namun serentak dan sinergis dalam
jangka panjang yang secara menyeluruh melibatkan peran aktif Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena
itu, diperlukan kesadaran, optimisme, kerja sama, dan kerja keras dari semua
pemangku kepentingan guna menciptakan sinergi untuk mencapainya. Â
Oleh:
Dr. Harianto, MS.
SKP Bidang Pangan dan EnergiÂ