PENGARAHAN PRESIDEN PADA PERTEMUAN PEMERINTAH DENGAN BI,KADIN, DISETNEG, 6 OKTOBER 2008
PENGARAHAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA
PERTEMUAN PEMERINTAH DENGAN BANK INDONESIA,
KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA,
PENGUSAHA SWASTA NASIONAL, BADAN USAHA MILIK NEGARA,
PERBANKAN NASIONAL, PENGAMAT DI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN
DI GEDUNG UTAMA SEKRETARIAT NEGARA, JAKARTA
TANGGAL 6 OKTOBER 2008
Saudara-saudara,
Saya akan memberikan respon terhadap apa yang telah disampaikan baik oleh Gubernur BI, Menteri Keuangan, dan pimpinan KADIN tadi, dan saya akhiri nanti dengan direktif yang ingin saya sampaikan utamanya sekali lagi kepada jajaran pemerintah dan Badan-Badan Usaha Milik Negara, dan kepada dunia usaha tentu ajakan saya untuk bersama-sama mengatasi masalah yang kita hadapi ini. Supaya adil saya juga akan ke depan sana nanti untuk menyampaikan supaya juga lebih mudah diikuti. Tugas kita, tugas politisi itu adalah membikin masalah yang sulit menjadi mudah, jadi bukan –apa istilahnya itu- kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah? Sebaliknya, semudah mungkin, supaya rakyat bisa mengerti. Pak Wapres, saya ke depan, Bapak di sini.
Saudara-saudara,
Apa yang ingin saya sampaikan ini, di samping merespon terhadap semua yang telah disampaikan tadi, di forum ini, juga berangkat dari apa yang bersama-sama kita ikuti dari dinamika krisis keuangan di Amerika yang seperti tsunami. Episentrumnya di Amerika perlahan-lahan menjalar, merambat ke seluruh wilayah dunia. Saya juga berdasarkan dari apa yang ingin saya sampaikan itu, dari apa yang sama-sama kita jalankan khususnya 4 tahun terakhir ini. Dari segi kami, dari segi pemerintah, apa yang telah kami lakukan untuk membangun kembali ekonomi kita pascakrisis yang lalu. Dan yang terakhir kali tentunya berbagai langkah yang dilakukan oleh pihak luar negeri, di Amerika Serikat, di Eropa, di Amerika Tengah yang sama-sama kita ikuti, keputusan-keputusan politik, langkah-langkah ekonomi yang mereka jalankan. Dengan demikian meskipun seolah-olah kita hanya berkepentingan terhadap kebijakan kita, langkah kita, pilihan kita, tetapi dalam ekonomi global yang semuanya terintegrasi, tentu kita harus melihat kesemuanya itu dalam satu konteks yang utuh. Dengan demikian harapan kita meskipun fokus kita pada urusan dalam negeri, tetapi manakala kita harus melakukan sejumlah langkah yang memerlukan kemitraan, komunikasi dengan pihak lain, mitra-mitra kita maka langkah itu akan menjadi lebih efektif.
Saudara-saudara,
Saya telah mempersiapkan tayangan untuk bisa diikuti di layar depan ini. Saya beri judul direktif saya adalah “pelihara momentum pertumbuhan, selamatkan perekonomian kita dari krisis keuangan global†semua kandungan dari direktif ini bertumpu pada skenario yang moderat, ada skenario yang sangat pesimis, ada skenario yang sangat optimis, saya mengambil tengahnya. Oleh karena itu, asumsi yang saya bangun juga berangkat dari skenario tengah itu. Manakala terjadi dinamika, perubahan maka kita bisa melakukan adjustment, apakah ke arah yang tidak kita harapkan atau sebaliknya, menuju sesuatu yang lebih baik untuk keberlanjutan pertumbuhan perekonomian kita.
Saudara-saudara,
Kita tadi telah sama-sama memahami krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat berikut dampaknya terhadap perekonomian dunia. Ketiga pembicara telah mengangkatnya dari cara pandang masing-masing, tidak perlu saya ulangi. Kita juga telah mengetahui dampak langsung dan tidak langsung dari krisis keuangan itu terhadap perekonomian Indonesia, cukup rinci tadi, juga tidak akan saya ulangi. Dan bahkan baik Gubernur BI maupun Menteri Keuangan telah menyampaikan kepada kita policy respons seperti apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan. Kita juga telah mendengar rekomendasi KADIN yang sangat gamblang tadi dalam upaya kita semua bisa mengelola permasalahan ini dengan sebaik-baiknya.
Saya ingin menyampaikan bahwa misi bersama kita, saya harus mulai dari tugas, dari misi kita, tiada lain pertama adalah memelihara momentum kebangkitan perekonomian nasional. Sayang kalau momentum ini lepas dan kita sia-siakan, karena bertahun-tahun kita bekerja keras untuk proses recovery setelah krisis itu berjalan dengan baik dan bahkan kemudian tahun-tahun terakhir ini tanda-tanda perbaikan itu nyata. Namun yang kedua meskipun momentumnya baik, dampak dari krisis keuangan di Amerika Serikat dan dengan segala turunannya dan alirannya memang akan berpengaruh pada momentum pertumbuhan itu. Oleh karena itu mari kita kelola agar tidak mengancam apalagi menghentikan, apalagi membuatnya setback, mundur dari pertumbuhan perekonomian kita yang sedang berlangsung dewasa ini.
Saudara-saudara,
Saya ingin menggarisbawahi sekali lagi meskipun tadi baik Gubernur BI dan terutama Menteri Keuangan telah mengangkatnya. Sejauh mana sih krisis sekarang ini serius atau bisa kembali seperti yang kita alami pada tahun 1997-1998. Jadi kalau ada satu critical question, boleh kita katakan apakah dampak krisis keuangan Amerika Serikat ini sangat serius? Sehingga kita dapat kembali pada suatu krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang lalu, para pembicara sudah mengangkatnya. Saya ingin melihat dari perspektif yang lain lesson learnt, karena kita masih ingat apa yang kita alami, yang kita lakukan 10 tahun yang lalu, masih segar dalam ingatan kita. Apalagi saudara-saudara, kalangan dunia usaha, dan para pengambil keputusan di perbankan, dan di institusi ekonomi yang lain.
Saudara-saudara,
Saya harus mengatakan dengan jelas dan tegas bahwa insya Allah tidak akan terjadi krisis sebagaimana yang kita alami 10 tahun yang lalu itu. Rationalnya jelas, mengapa? Pra-kondisi, faktor pemburuk, dan isu-isu non-ekonomi yang membikin krisis 1998 dulu sungguh parah, sesungguhnya tidak terjadi atau tidak sama dengan keadaan tahun 2008 sekarang ini. Saya berani mengatakan seperti itu untuk kita lebih tenang, lebih jernih berpikir, dan lebih rasional dalam mengambil pilihan, mengambil keputusan, menetapkan kebijakan, dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan. Saya tidak mengatakan akan aman-aman saja, tidak. Tetapi saya punya keyakinan apabila kita bersatu, bersinergi, dan mengatasi permasalahan ini secara bersama, maka nigthmare yang terjadi tahun 1997-1998 insya Allah tidak akan terjadi.
Saya ingin mengangkat beberapa butir sebagai pelajaran berharga mengapa dulu kita begitu jatuh dalam krisis yang saya kira menjadi catatan penting dalam sejarah di negeri kita. Saya ingin menayangkan beberapa hal menyangkut krisis ekonomi tahun 1998. pertama kita tahu penyebab utama krisis Asia bukan hanya Indonesia 1997-1998 itu ada yang berkaitan dengan fundamental, ada yang disebut dengan market panic, ada yang berkaitan dengan vulnerabilities, legal frame work yang tidak bagus, kemudian policy yang tidak konsisten, dan sebagainya, dan sebagainya. Barangkali, saya kira bukan barangkali kita, saya kira mengakui bahwa tiga-tiganya ada di negeri kita. Lihat apakah sekarang kita memiliki kelemahan mendasar dari 3 hal ini.
Yang kedua, krisis di Indonesia memang sangat severe, karena pertama misgovernment, kita berkumpul hari ini, saudara-saudara, untuk tidak kembali terjadi yang disebut dengan misgovernment itu. Yang kedua corruption, kita berjuang sangat keras untuk membikin sistem di negeri kita ini makin bersih untuk itu. Yang ketiga ada political crisis, political transition, kita tahu Pak Harto lengser diganti oleh Pak Habibie, dan dengan segala dinamikanya. Alhamdulillah, krisis politik itu tidak terjadi meskipun hubungan pemerintah dengan DPR, saya dengan DPR selalu ada pasang surutnya, ada interpelasi, ada angket, tetapi secara relatif sebetulnya stabil. Bandingkan dengan krisis demokrasi di negara-negara lain termasuk di Asia sekarang ini, tidak sama dengan situasi 1997-1998. Kemudian yang disebut dengan insecurity of the ethnic chinese, kita telah menerbitkan Undang-Undang, kita telah menerbitkan Peraturan Pemerintah, kita telah masuk kepada politik yang non-diskriminatif, saya kira ini juga berpengaruh bagi confidence building di antara kita semua. Waktu itu harga minyak drop, jatuh, bahkan di bawah 20 dolar per barel, sekarang harga minyak masih oke, brand dan namex pagi ini saya lihat masih berkisar 88 sampai 92 dolar per barel. Kemudian kita mengalami kekeringan panjang, el-niño atau la niña dulu? saya lupa itu, mestinya el-niño yah? Kemudian yang terakhir, the break down in public order dan terjadinya communal conflict kita rasakan di Jakarta, di kota-kota besar, di Maluku, di Poso, Sampit, dan kota tempat lain. Dari butir kedua kita lebih lega dan bersyukur bahwa kondisi yang ekstrim itu tidak terjadi sekarang ini.
Yang ketiga, saudara-saudara, memang situasi perekonomian Indonesia dibandingkan negara-negara lain waktu itu memang lebih buruk lack of demand, kemudian terjadi penurunan yang drastis dari private investment, lantas public invenstment, expenditures mengalami juga reduksi yang sangat signifikan, drastic fall in out put dari 7 %, 1997 itu minus 12 % pada tahun 1998 betapa besar kontraksinya hanya dalam satu tahun. Drastic fall in real income, income per kapita saja yang tadinya 1.100 dolar menjadi 400 dolar belum real income. Kemudian alhamdulillah sekarang sudah menuju ke 2.200. jadi dari ini pun beda dibandingkan dengan yang dulu.
Yang keempat, kita masih ingat budget deficit itu mencapai 8,5 % dari GDP, kita sekitar 2 % or less. Dan ingat budget deficit itu bukan untuk stimulasi pertumbuhan sebagaimana yang dianjurkan oleh Kings kalau kita mengalamai krisis untuk melaksanakan ekspansi fiskal, tapi justru lebih banyak yang digunakan untuk food and other subsidies for the poor, dan memang harus kita lakukan untuk sebuah socio-system net itu terjadi. Sekarang, saya kira meskipun tadi dibahas berapa defisit, pas nya berapa, dari mana sumber pembiayaannya, untuk apa, dan sebagainya, tapi kita lega sedikit, tidak sama dengan defisit pada waktu itu. Dan ini catatan yang kelima atau yang terakhir, ini dikatakan oleh banyak analis, pengamat ini disampaikan tahun 1999 bukan sekarang, dia mengatakan Indonesia kok begini berat, kok beda dengan Asia yang lainnya. Oleh karena itu apakah betul-betul Indonesia bisa melaksanakan recovery katanya ditetapkan oleh 4 hal ini.
Pertama adalah pemulihan dari private demand, yang kedua yang sangat-sangat penting pemulihan dari confidence, jangan mempertaruhkan kepercayaan ini, barang yang paling berharga yang bisa merubah keadaan dengan cepat, we are here juga untuk bersama-sama mengelola kepercayaan ini. Kemudian yang ketiga, sejauh mana kita bisa melaksanakan cleaning up of the banking system, panjang betul yang kita lewati BPPN, BLBI, rekapitulasi, dan sebagainya. Kemudian yang keempat adalah waktu itu dikatakan sejauh mana Indonesia berhasil melakukan penyelesaian corporate debt, bill out kita, saya tidak tahu berapa persen dari GDP, 35 % atau berapa?, besar sekali. Dari itu semua, saya mengatakan tidak sama, tidak seburuk 1997-1998 namun kita tidak boleh under estimate, kita tidak boleh lalai, kita harus waspada, dan mulai hari ini lebih kita tingkatkan bagaimana secara bersama-sama kita mengelola permasalahan ini, dengan keyakinan insya Allah kita bisa.
Dari pelajaran yang sangat berharga masa krisis 1997-1998, saya ingin mengingatkan kembali apa misi bersama kita. Sekali lagi saya katakan bahwa tadi kita harus memelihara momentum pertumbuhan, dan mengapa kita harus pandai-pandai memelihara momentum pertumbuhan sekarang ini? Karena kalau kita pandai bersyukur, meskipuin PR kita masih banyak, masih banyak masalah yang kita hadapi pula, tetapi kita telah mencapai, menghasilkan sejumlah kemajuan dan perbaikan. Inilah yang ingin saya sampaikan untuk supaya kita ini tidak terus merasa gagal, merasa kecil, merasa tidak ada hope, dan sebagainya. Kalau jiwa kita gelap seperti itu, pikiran kita negatif, pesimis, ya kita sudah kalah sekarang. Tetapi kalau kita punya energi yang positif, meskipun banyak masalah kita, PR kita yang harus kita selesaikan bersama-sama, saya yakin bahwa itu akan merupakan energi tersendiri untuk kita bisa berbuat lebih baik lagi.
Saya ingin sampaikan beberapa kemajuan dan perbaikan, dan ini posisi pada tanggal 28 Agustus yang lalu ketika Menko Perekonomian, Menteri Keuangan mempresentasikan ini di hadapan sidang kabinet paripurna. Secara cepat mari kita lihat satu per satu.
Pertama tentunya adalah, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tujuh kwartal terakhir ini sudah di atas 6 % ini. Silakan dilihat dari tahun ke tahun. Lantas investasi sesungguhnya juga terus meningkat meskipun belum optimal. Kita masih belum cerdas mendapatkan opportunity yang sesungguhnya sangat bisa untuk kita alirkan ke negeri kita, untuk menambah investasi ini. Ini potret dari growth dan investment. Berikutnya lagi adalah magnitude atau size dari ekonomi kita. Kita lihat di sini perkembangan dari GDP kita, 2004, 2006, 2008 dan proyeksi 2009. Tentu ini posisi Agustus 2008, sebelum kita hitung pengaruh dari krisis keuangan ini pada perekonomian kita.
Kemudian income perkapita kita lihat di sini 1996 katakanlah 1.100 sekian, drop di sini, 1998, alhamdulillah terus dapat kita tingkatkan dengan kerja keras kita semua. Ini penting bahwa ada opportunity, ada ruang untuk kita bisa meningkatkan capaian ekonomi kita. Bukan serba kebetulan Indonesia pertama kali diundang dalam pertemuan puncak G-8 di Hokkaido, Jepang. Bukan kebetulan Indonesia dianggap masuk 20 ekonomi besar dari segi size magnitude of the economy, bukan serba kebutulan tahun lalu pimpinan OCB datang kepada saya untuk menjadikan Indonesia sebagai patner bersama-sama dengan China, India dan Brasil.
Saudara-saudara,
Mari kita lihat sumber pertumbuhan, makin bertumpu pada sumber dalam negeri. Mengapa? consumption matters, dengan consumption yang makin tinggi, pasar kita makin kuat, makin luas, maka kita juga bisa menggerakan perekonomian dalam negeri sendiri. Kita lihat para investasi di sini, tahun 2005, 36 %, 35 %, berapa di sini? 41 %. Konsumsi rumah tangga yang biru ini, ekspor netto, kemudian komsumsi pemerintah atau government standing ini juga menunjukan sesuatu yang membangun optimisme bahwa growth bisa kita jaga dan andaikata tidak ada shock yang baru ini, krisis keuangan sesungguhnya kita lebih optimis lagi.
Indikasi yang lain adalah resiko ekonomi, ekonomi makro yang makin menurun. Lihatlah komposisi hutang pemerintah di sini, GDP ratio, hutang swasta, tingkat kesehatan perbankan. Semua sudah menyampaikan, Pak Hidayat, Pak Budiono menyampaikan tadi, rating pemerintah dan GDP ratio yang sekarang is going down dari 35 ke 30 %. Dibandingkan beberapa negara, more healthy kita. Tahun 2004 masih 54 %, masa krisis hampir 80 %, habis untuk memenuhi kewajiban kita. Dari segi rasio utang terhadap GDP kita, di sini kita melihat bahwa sesungguhnya angka itu makin baik.
Perbaikan, kemudahan berusaha meskipun saya belum puas, we could do more, we have to do more. Tetapi lumayan, ada perbaikan peringkat dari yang disebut dengan competitiveness index yang biasa dibikin oleh World Economic Forum dari tahun ke tahun kita juga mengalami perbaikan. Dari corruption perception index yang baru terbit bulan lalu, kita juga mengalami perbaikan. Dulunya tahun 2000, 2001, 2002 kita itu pernah nomor 1, nomor 3, nomor 5 dari bawah. Sekarang sudah lumayan nomor 54 dari bawah. Belum bangga betul, masih panjang, tapi ini tentang confidence, ini tentang competitiveness. Yang mesti harus kita perbaiki secara sungguh-sungguh.
Penerimaan perpajakan, bea masuk dan kontribusi BUMN, kita lihat di sini. Perpajakan kita rata-rata pertumbuhan penerimaan non-migas, 2000-2004 17,5 %, 2005-2009 20 koma sekian %, migas 9,6 22%, penerimaan PPh dan seterusnya. Lihat kontribusi BUMN dan ingat yang merah ini adalah privatisasi, kita tidak bisa lagi dan memang bukan pilihan kita untuk menjual aset karena kita ingin betul-betul mengelola APBN dengan kemampuan sendiri, dan kontribusi APBN lebih banyak pada dividen dan pada para pajaknya dan bukan pada privatisasi dan asset sales. Saya kira ini tren yang baik agar kita betul-betul lebih mandiri pada apa yang kita miliki di dalam negeri ini.
Berikutnya lagi adalah penerimaan migas, pertambangan umum yang tentunya beberapa saat yang lalu meskipun ada koreksi di tingkat harga Internasional, juga menimbulkan hal-hal yang positif, kita lihat disitu. Belanja pemerintah terus meningkat, alhamdulillah meskipun saya juga belum puas, karena masih ada kualitas belanja yang belum baik. Masih ada penggunaan yang belum tepat benar, tapi dua tahun meningkat belanja modal. Kita melakukan politik APBN yang keras tahun-tahun terakhir ini, optimasi, efisiensi, tapi harus mendorong pertumbuhan seraya mempertahankan social safety net dalam dinamika, dalam pembuatannya, interen pemerintah dengan DPR, sering tidak mudah untuk menjaga politik APBN seperti itu. Namun demikian kita yakini bahwa fokus, bahwa prioritas dan kebijakan alokasi itu makin tepat, makin baik.
Kesejahteraan pegawai, dalam arti luas abdi negara. Ini juga kita lakukan peningkatan, 2004 karena saya punya tujuan, keinginan, cita-cita agar pegawai negeri yang paling rendah di Indonesia ini gajinya Rp 2 juta. Supaya hidupnya layak, supaya tidak tergoda oleh korupsi, supaya produktif, supaya disiplin, punya anak, punya istri. Tapi karena gonjang-ganjing ekonomi kita, tahun depan akan mencapai sudah close Rp 1,7 guru yang jelas melampaui semuanya itu. Mengapa? Agar mereka bisa membeli, kalau mereka bisa membeli bersama-sama dengan konsumsi rumah tangga, barang dan jasa yang saudara hasilkan bisa dibeli dan ekonomi bergerak. Consumptions merupakan komponen yang tidak boleh diabaikan dalam pertumbuhan ekonomi kita. Ini adalah apa namanya, perbaikan dari semua, kesejahteraan aparatur negara kita.
Belanja infrastruktur, kita lihat di sini ada korelasi dengan infrastructure building, dengan pergerakan ekonomi, dengan employment creation. Kita lihat disini, terjadi korelasi antara meningkatnya belanja untuk infrastructure dan kemudian menurunnya pengangguran. Kita lihat bahwa tambahan kesempatan kerja sudah melebihi tambahan angkatan kerja, positif sekali lagi kalau tidak ada cobaan baru begini, trend ini sebetulnya baik, positif.
Saudara-saudara,
Kita lihat belanja penanggulangan kemiskinan. Saya mengatakan berkali-kali di berbagai kesempatan, mengurangi kemiskinan tidak cukup dengan wacana, tidak cukup dengan iklan, tidak cukup dengan diskusi ke diskusi, harus dengan langkah yang konkrit, program yang nyata. Kita semua. Kita lihat sini berpa triliun yang kita keluarkan dari tahun ke tahun sampai puncaknya tahun 2008 dan 2009. Ada korelasi meningkatnya spending untuk poverty reduction program yang targeted dengan menurunnya angka kemiskinan di sini. Arahnya benar, policy-nya benar, prioritasnya benar, tetapi sebagaimana pengalaman negara lain, tidak seperti membalik telapak tangan, tetapi diperlukan konsistensi kebijakan.
Dari situ saya ingin melihat, bagaimanapun konsekuensinya memang peningkatan produksi dan stabilisasi pangan yang kita lakukan memerlukan subsidi yang besar. Saya berterima kasih kepada Kadin, dunia usaha, kita bertemu beberapa kali ketika terjadi krisis pangan, krisis BBM, dengan kebersamaan kita dulu kita bisa mengelola apa yang kita lakukan, alhamdulillah, lebih baik dibandingkan beberapa negara mengalami kerepotan dari krisis pangan dan energi. Kalau dulu bisa, mengapa kita sekarang tidak bisa berkolaborasi, bersinergi untuk mengatasi semuanya itu. Ada subsidi BBM, tapi kita juga ada policy, misalkan untuk konversi dari minyak tanah ke elpiji dan sejumlah langkah-langkah lain agar kita tidak sangat tergantung pada fossil based fuel yang selama ini menjadi kecanduan kita.
Transfer ke daerah, ini era disentralisasi, era otonomi daerah, daerah ingin mengelola sumber dayanya, ingin mendapatkan kewenangan, ingin mendapatkan revenue yang setinggi-tingginya. Kita jalankan, DAU, DAK, Dana Bagi Hasil, lihat grafiknya. Memang saya agak, bukan agak, saya belum puas karena ternyata banyak sekali sumber finansial itu tidak digunakan dengan baik, bahkan ini ada peta dana Pemda yang tersimpan di sertifikat di Bank Indonesia. Seperti ini. Mestinya tidak boleh terjadi, ada opportunity loss dengan kejadian seperti ini, tapi arahnya sudah benar.
Desentralisasi misi, desentralisasi wewenang kemudian diikuti dengan desentralisasi fiskal, kita lihat gambar yang terakhir barangkali. Bagaimana kita membiayai defisit kita, apakah dari luar negeri, apakah dari dalam negeri, kita lihat disini. Ini milestone, historical milestone. 2006 keluar dari program IMF, 2007 empat tahun lebih cepat 2007 kita bubarkan CGI. Kita ingin merancang, mengelola pembangunan kita sendiri. Terlalu banyak intervensi, tidak boleh terlalu banyak intervensi dan campur tangan ataupun apa namanya pasokan-pasokan konsep dari manapun juga dan seterusnya. Ini kembali ke rasio utang yang menurun dari 56 menjadi sekitar 33 %, trennya benar, trennya baik tentu dengan goncangan ini, bagaimana kita meminimasi, memoderasi, mengurangi dampak yang boleh jadi bisa keras pada semuanya itu.
Saudara-saudara,
Dengan penjelasan itu saya mengingatkan sekali lagi bahwa ada sejumlah kemajuan dan capaian dalam perekonomian kita. Meskipun saya harus dengan jujur mengakui masih banyak permasalahan, masih banyak PR kita dan pesan saya adalah jangan sampai momentum pertumbuhan ekonomi ini terhenti. Clear jelas. Jangan sampai. Dari prespektif itu akhirnya saya ingin memberikan direktif kepada jajaran pemerintah dan BUMN sifatnya konsultatif dengan Bank Indonesia dan ajakan harapan kepada dunia usaha.
Wapres tadi telah memberikan beberapa masukan yang saya integrasikan sekaligus dari direktif ini dan direktif ini saya persiapkan sendiri, karena saya ingin apa yang dalam pikiran saya, dalam pandangan saya, dalam analisis saya, saudara bisa menerima langsung dan tentu saya kaitkan dengan apa yang telah, sedang dilaksanakan oleh kita semua. Jadi bukan datang dari langit, tetapi harapan saya ini menjadi sesuatu yang workable.
Saudara-saudara,
Yang pertama, dan ini yang paling penting menghadapi krisis keuangan global yang dampaknya pasti kita rasakan, kita harus tetap optimis, bersatu dan bersinergi. Untuk apa? Untuk memelihara momentum pertumbuhan dan untuk mengelola dan mengatasi dampak krisis tersebut. Saya akan ulangi lagi mengapa kita patut bersikap optimis, karena situasi sekarang jauh berbeda dengan situasi krisis 1998. Kita tidak seharusnya panik, tetapi tetap berpikir positif dan rasional. Mari kita jaga kepercayaan masyarakat-kepercayaan masyarakat. Insya Allah kita bisa mengatasi, ini state of mind, ini yang melandasi, yang mendasari, yang menjadi energi dari kita semua, mengatasi semua persoalan yang kita hadapi ini. Mari kita kembali kepada yang pertama ini, manakala kita harus mengambil keputusan, mengambil risiko dan kemudian menetapkan sejumlah kebijakan dan langkah, tindakan.
Yang kedua, dengan kebijakan dan tindakan yang tepat, serta dengan kerja keras dan upaya maksimal, mari kita pertahankan pertumbuhan ekonomi 6 %. Saya tahu hampir semua negara melaksanakan koreksi pertumbuhannya, turun ke bawah, down work, tapi mari kita berusaha sangat gigih untuk bisa mempertahankan pertumbuhan 6 % ini sekuat tenaga. Kita tahu dari sisi permintaan, demand side, kalau kita bikin apa namanya E-quetions, rumusnya adalah growth terdiri atau disumbang oleh konsumsi, oleh government expenditure, dan netto dari ekspor dan impor kita. Mengapa saya ingatkan kembali, setiap yang kita lakukan, apakah menjaga konsumsi, apakah betul-betul mengarahkan pembelanjaan pemerintah agar terjadi stimulasi, agar likuiditas segera mengalir tidak kering sebagaimana yang disampaikan oleh menteri keuangan tadi, semuanya berkontribusi pada pertumbuhan.
Investasi --Wapres mengingatkan jangan lupa Timur Tengah itu punya petro dolar yang tinggi. Waktu saya berhenti di Dubai bertemu dengan para pimpinan dunia usaha di Timur Tengah, ada 1,5 triliun ulangi, betul 1,5 triliun dolar Amerika Serikat yang siap diinvestasikan ke banyak negara. Kita harus cerdas, harus menjemput, dengan membikin mekanisme yang mudah disini untuk tidak menyia-nyiakan peluang ini.
Ekspor, kita tahu tadi Menteri Keuangan akan melakukan sesuatu agar lebih kompetitif barang-barang kita. Lantas impor, tadi ada pikiran bagaimana kita menahan impor supaya balance of payment kita tidak tertekan, supaya tidak mengalami defisit. Tolong dilihat one by one dan kemudian kita jalankan bersama karena setiap komponen menyumbang pada pertumbuhan itu secara bersama-sama. Mari kita manfaatkan perekonomian domestik. Newsweek atau Times, saya lupa baca minggu ini, bahwa kita hanya 29 % perdagangan kita dibandingkan China 40 %, Vietnam 78 %. Apa yang kita pikirkan tahun 2005 tidak keliru bahwa kita tidak bisa mengikuti jejak ekonomi Taiwan, Korea Selatan, Singapura, bahkan Macan Asia yang export-oriented economic. Kita harus juga membesarkan domestic market kita.
Ketika terjadi krisis seperti ini, ternyata itu menjadi satu pengaman dan kembali ke sabuk pengaman, ambil pelajaran krisis 1998. Sabuk pengaman perekonomian kita UKM, pertanian, sektor informal. Meskipun saya katakan tidak seburuk 1998, make sure, bahwa itu menjadi basis pengaman dari ekonomi kita, ketika kita mengalami goncangan, meskipun goncangan itu berawal dari luar negeri. Itu yang kedua.
Yang ketiga, Saudara-saudara, mari kita optimalkan APBN 2009 untuk tetap memacu pertumbuhan dan membangun social safety net. Alokasi untuk pembangunan infrastruktur dan stimulasi pertumbuhan lainnya mesti cukup. Ingat ini adalah penyumbang growth dan employment. Bicara infrastruktur, jangan lupakan listrik. Tanpa listrik, industri tidak bisa bergerak, banyak sekali softwork yang berkaitan dengan permintaan listrik ini. Pastikan nanti dalam struktur APBN kita yang sedang digodok bersama DPR cukup, karena kita ingin sekali lagi memelihara momentum pertumbuhan ini.
Yang kedua adalah alokasi untuk penanggulangan kemiskinan, social safety net juga mesti cukup. Kita harus bersimpati kepada rakyat miskin. Semua ingin dari Wall Street tidak masuk main street, dari main street tidak masuk dari kantong-kantong ekonomi lemah saudara-saudara kita. Ini masalah moral, ratusan triliun, ribuan triliun digunakan untuk bail out, tapi itu disertai dengan misalkan unemployment, disertai dengan kesulitan yang paling bawah. Nah, kalau tidak kita berikan, sebagai bagian dari new deal, berarti tidak adil kita, oleh karena itu program tiga cluster yang telah disampaikan Menteri Keuangan mesti kita jalankan, mesti kita sukseskan. Manakala ada tarik-menarik di DPR harus bisa dijelaskan bahwa ini adalah bagian untuk social safety net, empati kepada rakyat kita. Mereka golongan yang sangat memerlukan. Kalau mereka mendapatkan keadilan semua upaya kita akan mendapatkan dukungan dan politik berkaitan dengan dukungan rakyat. Mari kita pastikan di situ, saya garis bawahi, pangan dan BBM prioritas tahun ini, tahun depan.
Saudara,
Yang ketiga adalah defisit anggaran harus tepat dan rasional. Saya tidak mematok berapa persen --Bu Ani 1,7; 1,8 ; 1,6 persen. Tetapi bagi saya, pertama, tetap kita berharap terjadi pertumbuhan dan kemudian dengan struktur penerimaan dan pembelanjaan itu defisit. Juga ada dana untuk penanggulangan kemiskinan, growth of equity pilihan kita, mari kita jalankan. Trickle down effect tidak berjalan di negara berkembang termasuk di negara kita. Jangan kita ulangi kesalahan ideologi ekonomi seperti itu. Tetapi defisit itu saya menyadari sumber-sumber pembiayaan tidak semudah sewaktu nggak ada krisis keuangan. Ya tetap dapat dibiayai, ditutup, kalau tidak ya menganga disitu.
Kemudian masih berkenaan dengan APBN, tadi Wapres mengingatkan lihat kembali penerimaan negara dari sumber daya alam, minyak, gas, barang-barang mineral, barang tambang. Tolong dilihat, semua harus sharing dalam kondisi seperti ini. Harus. Kalau saudara membaca wawancara Wen Jiabao sahabat saya di Newsweek minggu ini dikatakan, karena diwawancarai oleh wartawan Amerika, Wen Jiabao mengatakan Adam Smith menggunakan invisible hand tapi yang paling baik ya campuran invisible hand dan visible hand. Peran pemerintah dalam arti ini menjadi melengkapi untuk semua yang tidak diserahkan pada mekanisme pasar. Kita harus melakukan seperti itu apalagi negara dalam keadaan menghadapi kesulitan ekonomi.
Dan masalah APBN yang terakhir, ini untuk para menteri semua hadir disini, yang juga akan mengelola, mengolah bersama-sama DPR saya ingatkan sekali lagi, tetap dilakukan efisiensi dan pembatasan pada pembelanjaan yang konsumtif, pembelanjaan yang dapat ditunda. Untuk apa? Mari kita yakinkan betul setiap rupiah yang kita keluarkan lebih pada stimulasi pertumbuhan, lebih pada social safety net. Demikian juga APBD, Mendagri, Menteri Keuangan pastikan betul APBD juga punya structure, punya politik yang sama dan yang berlaku pada tingkat national. Jangan terlalu banyak untuk yang konsumtif, harus lebih banyak yang produktif. APBN sangat-sangat penting dan memang dalam situasi seperti ini, ada orang berpendapat solusinya moneter, ada orang berpendapat solusinya fiskal. Saya lebih memilih solusi fiskal lebih dulu dan moneter mengimbangi, karena bagaimanapun lebih direct dan lebih nyata, lebih cepat yang bisa kita rasakan hasilnya. Itu direktif saya yang ke tiga.
Yang keempat, bagi teman-teman di kalangan dunia usaha, sektor riil harus tetap bergerak meskipun saya tahu, ekspansi bisa berkurang tahun depan. Logis, negara manapun juga begitu. Mengapa? Kalau sektor riil bergerak, saudara tetap mempertahankan kinerjanya, pajak dan penerimaan negara tetap terjaga dan berterima kasih kami, agar pula pengangguran tidak bertambah, tidak ada gelombang PHK. Itu harapan kami, harapan rakyat, harapan pekerja dan itu semua berada di tangan dunia usaha, yang sangat penting perannya, bukan hanya pada masa sekarang ini, tapi juga pada masa normal. Oleh karena itu sinergi yang harus kita bangun adalah BI dengan jajaran perbankan, silakan mengembangkan policy yang memungkinkan kredit dan likuiditas itu bisa tersedia agar sektor ril bergerak. Saya tidak ingin menyampaikan pasnya berapa suku bunga itu, dikaitkan dengan inplasi dan sebagainya, saya kira Gubernur BI punya otoritas bekerjasama dengan Menteri Keuangan, berkonsultasi atau berkomunikasi dengan dunia usaha sehingga ada policy mix yang tadi berkali-kali disebut monetary policy dan fiscal policy.
Kadin mengusulkan kerjasama, bank sentral kita dengan bank sentral negara-negara lain, Saudara masih ingat, dulu waktu krisis 1997-1998 nyaris kita itu tidak punya kawan untuk saling membantu, barangkali karena negara lain juga repot atau barangkali karena situasi politiknya khas negara waktu itu. Tahun 2005 sesungguhnya kita mengalami permasalahan kurs terguncang waktu itu, saham, devisa kita, tapi dengan cekatan gubernur BI, menteri keuangan dan kita semua bekerja. Saya juga berkomunikasi lewat telepon, saya menulis surat, saya ngirim message ke beberapa pemimpin Asia, Perdana Menteri China, Perdana Menteri Jepang, Perdana Menteri Thailand, Perdana Menteri Singapura dan mereka mengatakan “we are together†dan Indonesia kalau ada apa-apa ada second line of defence, sejumlah komitmen, yang disebut dengan bilateral shop arrangement. Ada, meskipun tidak pernah kita gunakan dan tidak akan kita gunakan. Tapi kerjasama itu penting dalam masa-masa seperti ini.
Saudara-saudara,
Kewajiban Pemerintah keluarkan kebijakan, regulasi, iklim, dan insentif agar sektor riil tetap bergerak. Disebut berkali-kali insentif ini. Tadi Menteri Keuangan membikin list insentif, 1, 2, 3, 4, 5, panjang sekali. Saya pikir suatu pikiran yang positif, mudah-mudahan ini bisa meringankan beban dunia usaha.
Nah, Kewajiban dunia usaha, kewajiban swasta, ada kewajiban BI, kewajiban kami pemerintah, ada kewajiban dunia usaha. Saya berharap lebih resilient dan berupaya sekuat tenaga mempertahankan kinerja, tetap mencari peluang, tetap share the hardship. Tentu tidak ideal, tapi kalau dunia usaha menunggu, semuanya beres pemerintah mengatasi semuanya tentu tidak mungkin terjadi, perlu berbagi dengan masing-masing menjalankan kewajibannya. Itu yang ke empat.
Yang kelima, Saudara-saudara, tadi digambarkan tiga event apa yang terjadi di Eropa, yang terjadi di Asia, terjadi di Amerika, sesuai dengan gelombang tsunami keuangan yang episentrumnya di Amerika tadi. Oleh karena itu yang ke lima saya berharap kita semua cerdas menangkap peluang, opportunity, misalnya untuk melaksanakan perdagangan, kerjasama ekonomi lainnya dengan negara-negara sahabat, ekonomi Asia meskipun turun 11 menjadi 9 %, di China, India, 8 turun menjadi 7 barangkali, tetapi menurut saya tetap ok. Dua minggu lagi saya akan menghadiri pertemuan Summit, KTT di Beijing, saya akan gunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan Presiden Hu Jintao atau Perdana Menteri Wen Jiabao dan teman-teman lain bagaimana kita di Asia ini bisa melakukan satu kerjasama karena kita punya posisi yang, insya Allah, better dibandingkan negara-negara lain terutama dari segi keuangan.
Pasar di Amerika dan di Eropa akan lebih tertutup kita tahu semua dan barangkali melemah untuk ekspor kita. Oleh karena itu solusinya bikin produk kita lebih kompetitif dibandingkan produk negara-negara lain. Untuk bisa kompetitif kembali macam-macam produktivitas, insentif dan sebagainya. Jangan keliru kita membaca, dimana opportunity ada dalam masa-masa seperti ini, patner kita yang paling baik siapa, Jepang, Amerika, China, atau negara-negara lain. Barangkali kita bisa mendapatkan peluang. Saudara, tahun 2005 kita dengan China --saya masih ingat Presiden Hu, Perdana Menteri Wen bersama-sama kita ingin tahun 2010 itu volume perdagangan kita 30 billion alone dengan Indonesia – China. Kita ingin tahun 2008 ini 20 billion. Dubes kita di Beijing melapor kepada saya, tahun ini Insya Allah kita sudah mencapai 26 atau 27 billion, berarti akan terlampaui target 30 billion. Barangkali, saya tidak tahu dengan situasi keuangan ini, tahun depan 2010. It’s mean ada opportunity besar. Magnitudnya besar. Jangan kita sia-siakan.
Yang keenam, mari kita lakukan lagi, saya garis bawahi, lagi, karena sudah berulang-ulang, sejak orde baru, orde reformasi, agar kita lebih menggunakan produk dalam negeri, produk Indonesia. Kampanye besar-besaran, yang paling gampang kalau kita mengurangi impor, kita menggunakan produk dalam negeri, dalam situasi seperti ini, trade account kita, balance of payment kita akan sangat dibebaskan dari tekanan-tekanan. Kemudian pasar domestik kita makin kuat dan tumbuh, saya sudah mengatakan tadi, ini jangan dilupakan. Yang ketiga, menteri terkait berikan insentif dan disinsentif agar kita benar-benar menkonsumsi produk dalam negeri.
Saya ingatkan, tourisme, mana Pak Wacik, tenaga kerja mana Pak Erman, itu sektor yang mesti kita genjot, karena kalau kita mendapatkan devisa lebih banyak lagi akan teringankan kita punya neraca pembayaran. Saya tahu tidak mudah, challenging, tetapi justru jadikan ini opportunity. Kalau kita dapat di situ, neraca pembayaran kita selamat. Nanti kalau krisis sudah selesai kita akan mendapatkan penguat baru dalam pertumbuhan ekonomi kita.
Kemudian tadi Wapres titip saya, proyek-proyek luxurious, impor barang-barang yang berkaitan dengan itu bisa ditunda dulu supaya kita tidak terlalu berat. Kita punya beban pembiayaan impor. Saya memandang perlu, tolong dirumuskan kepada menteri terkait, sebuah instruksi kepada jajaran pemerintah, kalau perlu lewat inpres, agar dalam procurement pengadaan barang itu mengutamakan industri nasional. Berkali-kali kita sampaikan, masih saya lihat lebih suka beli dari luar negeri. Mari kita hentikan budaya fee, yang tidak masuk akal, yang berlebihan, menyedot devisa, mungkin masih ada mark up, mungkin, yang harus kita basmi, karena kalau itu terjadi industri nasional tidak bergerak, kita tergantung memberikan sesuatu yang bagi negara tidak ada menfaatnya.
Saya juga meminta semua, kita, dalam suasana seperti ini mencegah mengalirnya barang-barang produk-produk luar negeri secara besar-besaran, dumping --saya mendapat informasi, bisa jadi produk negara-negara yang selama ini mengalir ke Amerika, ke Eropa, karena pasarnya menciut, itu balik kanan, atau belok kanan, membanjiri Indonesia. Harus kita cegah. Imigrasi, Bea dan Cukai, semua harus ketat, disiplin, supaya tidak tertembus oleh seperti itu akhirnya melumpuhkan produksi dalam negeri. Itu yang keenam saudara-saudara.
Direktif yang ke tujuh, mari kita perkokoh sinergi dan kemitraan atau partnership di antara pemerintah, Bank Indonesia dengan jajaran perbankan, dan swasta atau dunia usaha. Saya meminta dengan sangat, cegah dan hilangkan mistrust, prejudice, curiga, pemerintah mencurigai dunia usaha, dunia usaha tidak percaya kepada pemerintah, dianggap BI tidak tepat kebijakannya, BI menganggap dunia usaha tidak benar. Itu harus kita hentikan. Cegah mistrust, prejudice. Semua berperan Saudara-saudara, semua penting, swasta dan bisnis, merekalah yang memberikan pajak, memberikan lapangan pekerjaan, bukan pemerintah. Pemerintah memerlukan penerimaan, revenue, untuk membiayai pembangunan. Bukan untuk apa-apa, kalau revenue terhenti, pajak tidak masuk, ya kita tidak bisa membangun, membiayai urusan pemerintahan, termasuk membangun negeri ini.
Bank Indonesia dan perbankan dengan kebijakan moneter, tentu berperan mendanai sektor riil dan mengelola inflasi. Saya hanya ingin menggambarkan semua penting, semua simpul harus berfungsi dengan benar. Dan kita merugi kalau terjadi mistrust, distrust, akhirnya tidak ke mana-mana. Opportunity lost. Kalau ada masalah di antara kita, mari kita pecahkan dengan baik, mari kita cegah tindakan yang unilateral, sepihak, sepanjang itu tidak berkaitan dengan pelanggaran hukum. Ya kalau pelanggaran hukum, ya hukum ditegakan. Tapi kalau sifatnya non hukum, bukan crimes, ada dispute, ada dispute settlement mechanism, mengapa tidak kita gunakan? Ini bangsa, bangsa sendiri, kita, kita sendiri, ekonomi, ekonomi kita sendiri, mengapa kita lantas tidak bisa duduk bersama untuk mengatasi masalah itu.
Ingat saudara, pengalaman pahit krisis 1998, tidak ada saling kepercayaan dulu. Saya ingat, tidak ada kebersamaan, strategi yang kita tempuh, strategi SDM --Selamatkan Diri Masing-masing. Kita ketawa, tapi itulah dulu. Ada lagi sikap mental, perusahaan boleh bangkrut, tetapi saya pribadi tetap jaya. Ada, mungkin di kalangan dunia usaha, di kalangan pemerintah, ada juga sikap mental, sambil ngurusi, cari rejeki, ya korupsi. Ada. Saya kira itu sisi gelap masa lalu yang mari sama-sama kita cegah untuk tidak terjadi lagi, jangan terjadi lagi, akan bright masa depan kita kalau kita bisa keluar dari seperti-seperti itu.
Yang kedelapan, ini penting, kita banyak merugi, kita banyak jalan di tempat akibat ini. Hentikan dan ubah sikap ego sektoral dan business as usual. Konflik yang tidak terselesaikan di antara kita, lembaga Pemerintah, lembaga negara, atau antara Pemerintah dan swasta, pertama-tama yang jelas memalukan, embarassing. Yang kedua, menghambat momentum, yang ketiga merusak kepercayaan. Ini bagaimana ini mau investasi di Indonesia, mau bisnis di sini, pecah kongsi semua. Saya tidak bisa menerima kalau sama sekali tidak ada solusi, tidak ada jalan keluar. Saya ingatkan kita ini betapapun penting dan kuatnya sebuah institusi tidak akan pernah bisa bekerja sendiri, siapapun termasuk saya Presiden, termasuk Pak Jusuf Kalla Wakil Presiden, termasuk semua. Kita memerlukan partnership, kita memerlukan kerjasama. Itu yang ke delapan, masih dua lagi.
Direktif yang ke sembilan adalah semua tahu tadi diangkat juga oleh Pak Hidayat, oleh Ibu Ani, Pak Budiono agak kurang hobi bicara politik, tahun 2008-2009 dikatakan adalah tahun politik dan tahun pemilu. Ada permintaan Bu Ani, janganlah isu ekonomi dipolitikkan. Ya mesti terjadi Bu Ani, we have to be more realistic, that’s politic. Tetapi yang penting, jangan kehilangan kejernihan berpikir kita. Mesti kita hadapi, nanti kita surprise dan tidak siap, dikiranya baik-baik saja. Mesti ada seperti itu. Harapan saya sebagai kepala negara, saudara-saudara, mari kita lakukan politik yang lebih non partisan, khusus mengatasi masalah-masalah ini, untuk kepentingan rakyat. Non partisan dalam arti, ya ada konsensus, ada kompromi, ada bagaimana baiknya untuk rakyat, baiknya untuk negara, baiknya untuk masa depan. Ya mari kita nomorduakan kepentingan kelompok, tapi tidak mungkin diabaikan. Saya berharap, pemerintah, Bank Indonesia, DPR, DPD, dunia usaha, dan pelaku lainnya, sama-sama kita melakukan peran yang positif dan konstruktif.
Last but not least yang nomor sepuluh, dan ini tidak kalah pentingnya karena memburuknya situasi 1998 dulu karena kepanikan, informasi yang tidak dimiliki oleh masyarakat luas, sehingga apa yang terjadi ya kepanikan. Oleh karena itu, mari kita lakukan komunikasi yang tepat, bijak kepada rakyat. Jujur, jangan beri angin surga.. oh semuanya akan baik, tenang-tenang saja. Don’t worry be happy, misalkan gitu. Itu tidak mendidik. Memang ada masalah, ada pengaruh dari krisis keuangan global ini, namun mari kita mulai dari diri kita dan semua tetap kita ajak berpikir positif dan tetap optimis. Cegah statement yang bukan kewenangannya, maupun yang tidak perlu, yang tidak punya kaitan dengan fiskal dan moneter.
Kita ngomong tiap hari bikin rusak nanti, ataupun kewenangannya tapi tidak perlu. Apa setiap masalah langsung disampaikan ke publik? karena bisa terjadi mis-persepsi. Tapi pada saatnya menjelaskan, jelaskan. Pada saatnya menyampaikan ke publik, sampaikan. Pada saatnya ada acara dengan media, dengan editor, lakukan. Dengan demikian informasi yang akurat yang benar itu bisa diterima oleh masyarakat kita. Di sini banyak pimpinan media massa yang hadir, saya hanya berharap karena peran pers dan media massa sangat penting, saya percayakan penuh bagaimana saudara-saudara bisa berperan pula terhadap keberhasilan upaya kita sebagai bangsa sebagai negara untuk mengatasi persoalan ini.
Itulah sepuluh direktif yang saya sampaikan dan tentu ini bukan pertemuan yang terakhir, tetapi saya berharap channel ini, forum seperti ini, dibuka di antara kita, yang kecil yang lebih efektif, yang kadang-kadang besar agar pikiran-pikiran yang luar biasa tadi, dari Kadin mewakili pikiran Saudara-saudara, pikiran dari Gubernur BI, policy-nya Pemerintah, policy-nya, itu juga betul-betul bisa disinergikan sehingga semuanya akan berhasil dengan baik. Di sini banyak ekonom, para pengamat, saya juga menitipkan sesuatu agar berperan secara konstruktif karena ini waktunya untuk kita joint hand, bersama-sama mengatasi masalah ini dengan sebaik-baiknya.
Itulah Saudara-saudara yang ingin saya sampaikan. Saya tahu Gubernur BI dan Menteri Keuangan akan tugas ke luar negeri, saya minta yang menjadi Ad Interim itu melakukan konsultasi dan pekerjaan bersama terus-menerus, jangan sampai ada yang vakum, jangan sampai ada respon yang terlambat. Dengan demikian, dengan antisipasi yang baik, kita selalu bisa mengambil keputusan dan selalu bisa menetapkan yang baik pula.
Itulah Bapak, Ibu, Saudara-saudara sekalian, terimakasih atas kehadirannya. Dan ini hari yang bersejarah untuk kebersamaan kita dicatat oleh sejarah pula sebagai sebuah upaya untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi kita dan mengatasi dampak dari krisis keuangan.
Terima kasih, selamat berjuang, Tuhan beserta kita.
Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Biro Naskah dan Penerjemahan,
Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan,
Sekretariat Negara RI