Pengarahan Presiden RI Rapat Kerja Pemerintah dengan Gubernur......, Jakarta, 8 April 2016

 
bagikan berita ke :

Jumat, 08 April 2016
Di baca 909 kali

PENGARAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RAPAT KERJA PEMERINTAH DENGAN GUBERNUR-WAKIL GUBERNUR, BUPATI- WAKIL BUPATI, DAN WALI KOTA-WAKIL WALI KOTA

SELURUH INDONESIA HASIL PILKADA SERENTAK

ISTANA NEGARA, JAKARTA

8 APRIL 2016




Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,

Selamat pagi,

Salam sejahtera bagi kita semuanya,

Om swastyastu,


Yang saya hormati Bapak Wakil Presiden serta para Menteri,

Yang saya hormati Bapak-Ibu, Saudara-saudara Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota yang hadir pada pagi hari ini,


Tadi sudah diberikan background tantangan dan kesulitan-kesulitan yang ada oleh Bapak Wakil Presiden.


Pada pagi ini saya ingin menyampaikan tiga hal yang mungkin sudah berulang-ulang kali saya sampaikan, yaitu yang pertama masalah persaingan dan kompetisi, yang kedua masalah deregulasi, dan yang ketiga masalah yang berkaitan dengan anggaran. Tiga-tiganya ini sangat penting untuk kita ketahui bersama agar kita mempunyai sebuah garis yang sama dalam mengelola pemerintahan ini dan konsolidasi yang baik antara pusat, provinsi, kabupaten, dan kota, dari pusat sampai ke daerah.


Saya kira kita semuanya tahu bahwa kondisi global sekarang ini memang pada posisi sangat pesimis, pada posisi pertumbuhan yang menurun, yang sulit. Saya berikan contoh.


Tahun kemarin—saya kira kita tahu semuanya—kita pontang-panting. Baru mengantisipasi adanya krisis Yunani, kita antisipasi, yang keluar adalah depresiasi yuan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang turun. Di situ juga kita siapkan antisipasinya, yang keluar lagi adalah kenaikan suku bunga the Fed Amerika.


Kondisi-kondisi seperti inilah yang semuanya kita harus tahu dan harus mengerti bahwa kondisi global memang berubah setiap detik, berubah setiap menit, berubah setiap hari, berubah setiap minggu, berubah setiap bulan.


Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang besar, sebagai kapal yang besar, kita semuanya harus betul-betul sadar bahwa sekarang kita sudah masuk pada integrasi antarwilayah, integrasi antarnegara yang, apabila sebuah negara itu guncang, kita juga akan terkena imbasnya; sebuah negara masuk angin, kita juga bisa kena imbasnya.


Kita tahu sudah masuk dalam dunia persaingan itu, dunia kompetisi itu. Sekarang kita sudah masuk ke Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), sudah. Sebentar lagi—ini sudah tidak bisa kita tolak—kita akan lakukan juga dengan EFTA, dengan Uni Eropa (EU). Nanti dengan TPP, bloknya Amerika. Nanti dengan RCEP, bloknya China.


Sudah enggak bisa ditolak. Begitu kita tolak, “Enggak, saya enggak mau gabung dengan TPP-nya Amerika,” produk kita ke sana dipajaki 15%, dipajaki 20%. Mau apa kita? Yang gabung diberi pajak 0%. Artinya barang-barang kita enggak akan bisa bersaing. Inilah kondisi-kondisi keterbukaan yang sudah tidak bisa lagi kita tolak-tolak.


Sebentar lagi juga ada keterbukaan di bidang perbankan internasional pada tahun 2017, 2018. Simpanan siapa pun yang ada di bank di seluruh dunia dibuka total meskipun ini kedahuluan oleh Panama Papers.


Tapi sebelum Panama pun, saya sudah punya satu bundel nama-nama. Bapak nyimpan di Swiss, saya tahu. Bapak nyimpan di Singapura, saya tahu. Bapak nyimpan di BGI, saya tahu.


Begitu sangat terbukanya dunia ini. Tapi nanti pada tahun 2017, 2018, dibuka total. Enggak ada yang bisa ditutup-tutupi. Inilah dunia keterbukaan yang mau tidak mau, siap tidak siap harus kita hadapi. Tapi kita harus mempersiapkan dan kita harus memperbaiki.


Kita ini, kalau bertemu dengan kepala-kepala negara ASEAN, kita harus kerja sama, kita harus bergandengan. Kalau foto-foto, ya gandeng-gandengan seperti ini.


Tapi sebetulnya, Bapak-Ibu, Saudara-saudara sekalian, kita dengan mereka adalah persaingan, bersaing. Mereka adalah kompetitor kita. Ini yang harus kita tahu. Dan kondisi-kondisi inilah yang ingin saya sampaikan.


Ini indeks daya saing global kita. Indonesia, kalau di ASEAN, pada angka, posisi keempat, di tengah. Di rasio, indeks kita 4,52. Kita kalah dengan Malaysia, kalah dengan Thailand. Apalagi kalau dibandingkan dengan Singapura, kalah, kalah kita.


Kemudian, yang berkaitan dengan kemudahan berusaha, ini daerah juga harus benahi total yang namanya kemudahan berusaha, ease of doing bussines. Kita berada pada posisi 109. Sebelumnya, 120. Sekarang, 109.


Saya udah beri target kepada menteri: 40. Pada ranking yang 40, saya udah beri target. Tahun depan, harus pada ranking 40. Bagaimana caranya? Itu menteri yang harus siapkan.


Daerah harus mendukung. Provinsi harus mendukung. Enggak bisa kita pada posisi 100, 100, 100 itu, di atas 100, ndak. Kapal kita ini kapal besar, bangsa besar.


Coba kita lihat. Ini kemudahan berusaha, Singapura nomor 1. Kita nomor 109. Betapa jauhnya kita. Malaysia dapat angka 18. Thailand 49. Sekali lagi saya ulang, Indonesia masih 109. Baru keluar baru saja. Sebelumnya, 120.


Apa yang harus kita lakukan dengan kondisi-kondisi seperti ini? Harus ada regulasi-regulasi yang memudahkan, regulasi-regulasi yang membuat kecepatan dalam orang untuk membuka usaha, utamanya UMKM kita. Usaha kecil, usaha mikro, usaha menengah harus dibuka.


Jangan ada, sekali lagi, jangan ada perda-perda yang menghambat. Kalau buat perda, buat perda yang bisa mendorong agar ada percepatan. Kalau buat perda, buat perda yang membuat orang mudah untuk membuka usaha, mudah untuk membuka investasi.


Sekali lagi, kita pada ranking 109. Jauh sekali. Kalau dengan Singapura, jauh sekali. Singapura nomor 1 di dunia. Malaysia tadi nomor berapa? 18. Jauh sekali kita ini.


Tapi saya meyakini, bisa kita. Saya udah sampaikan, “Tahun depan, 40 itu jangan ditawar,” kepada menteri. Enggak.


Tapi ini juga, ini juga tergantung daerah juga karena yang dicek itu bukan hanya pusat, melainkan daerah juga dicek, provinsi dicek. Kabupaten/kota nanti juga disurvei semuanya.


Semua mestinya harus standar, semuanya. Kita harus punya standar yang sama. Kalau SIUP satu jam jadi, ya di semua daerah bikin SIUP harus jadi satu jam, misalnya seperti itu.


Kita ini memang terjerat oleh aturan-aturan yang terlalu banyak. Terlalu banyak aturan di negara kita ini. Enggak yang namanya undang-undang, yang namanya perpres, yang namanya keppres, yang namanya PP, yang namanya permen, yang namanya perda, ada pergub, ada perwali, ada perbup (peraturan bupati) banyak sekali. 42.000 peraturan yang kita punyai, yang itu justru memperlambat kita memutuskan, memperlambat kita bertindak di lapangan, menjerat kita sendiri. Kita harus sadar. Itu menjerat kita sendiri.


Izin-izin juga terlalu banyak di kita. Saya berikan contoh satu, satu aja. Saya setiap datang ke provinsi, keluhannya selalu listrik byar-pet. Setelah saya cek, “Apa sih sebetulnya problemnya?” ternyata izin dan pembebasan lahan, izin dan pembebasan lahan.


Ada 59 izin listrik, 59 izin untuk membuat pembangkit listrik. Ini sudah kita potong menjadi 22. Kalau kita ngurus 59 izin itu, ada yang dua tahun, ada yang tiga tahun, ada yang empat tahun, ada yang enam tahun. Itu hanya ngurus izinnya saja. Bapak-Ibu bisa bayangkan, bagaimana kita enggak byar-pet? Investor yang antre banyak, tapi izinnya bertele-tele seperti itu.


Ini sudah kita potong menjadi 250 hari, menjadi 22 izin saja. Tapi buat saya, itu juga, kalau sudah urusan bulan, ini sudah terlalu lama. Inilah yang harus dilakukan.


Deregulasi-deregulasi di provinsi, di kabupaten, di kota juga harus sama. Harus melakukan deregulasi. Potong izin-izin yang kira-kira menyulitkan.


Saya ingin menghapuskan, menghilangkan izin-izin sebanyak-banyaknya. Saya berikan contoh: SIUP dan TDP. SIUP dan TDP ini satu lembar, satu lembar gini. Bedanya apa sih SIUP dan TDP? SIUP: Surat Izin Usaha Perdagangan. TDP: Tanda Daftar Perusahaan.


Saya sebetulnya mau hapus, “Udah hapus sajalah.” Tapi ternyata ada undang-undangnya, “Pak Presiden, ada undang-undangnya.” “Aduh, kalau ada undang-undangnya, enggak bisa kita. Ya udah, sekarang ada dua. Coba digabungkan jadi satu ajalah, satu lembar, SIUP dan TDP, supaya cepat.” Emang harus diakal-akalin seperti itu.


Tapi ternyata juga enggak bisa karena juga undang-undang. Harus sendiri. “Oke, kalau harus sendiri-sendiri, sekarang supaya cepat keluarkan aja nanti peraturan: SIUP dan TDP keluar pada detik yang sama. Jadi, kalau ada pengusaha datang minta SIUP dan TDP, diberikan bareng-bareng, ‘Nih.’”


Udah, memang harus seperti itu karena memang undang-undang. Suatu saat ya akan kita revisi undang-undang. Tapi menunggu itu, kita ditunggu oleh kompetisi tadi.


Ada yang namanya izin HO, izin gangguan. Ada lagi AMDAL. Coba, bedanya apa? AMDAL sama yang HO, yang diganggu itu apa sebetulnya?


Ini, hal-hal seperti ini memperumit. Banyak hal sebetulnya, yang itu sebetulnya merupakan syarat, tetapi dijadikan izin. Sebetulnya hanya syarat, tapi menjadi izin karena memang kita hobinya membuat aturan-aturan seperti itu.


Inilah tugas Bapak-Ibu, Saudara-saudara untuk memangkas, menyederhanakan, membuat simpel semuanya. Justru jangan sampai nanti malah membikin perda. Ada berapa yang bermasalah? 3.000 di Pak Menteri Dalam Negeri, 3.000 perda bermasalah.


Saya udah perintahkan, enggak usah dikaji-kaji. Hapus! Enggak bermasalah kok. ada perda retribusi, ada perda perizinan. Yang seperti itu yang sangat menyulitkan, sangat menyulitkan kita semuanya. Udah dihapuslah. Enggak usah dikaji-kaji lagi karena, kalau dikaji, itu sebulan hanya dapat 5 sampai 7 aja, dikaji-kaji. Coba, kalau hanya dapat 5, berarti berapa tahun kita akan selesaikan itu. Udah, dihapus gitu aja udah.


Semangatnya emang harus ke sana kalau kita ingin memenangkan pertarungan dalam persaingan dan kompetisi. Kalau ingin jadi pecundang, ingin kalah, ya sudah kita teruskan hal-hal yang meruwetkan seperti itu. Semangatnya ke sana.


Semuanya, izin-izin yang berkaitan dengan usaha kecil, usaha mikro, usaha menengah, investor dengan modal yang gede, saya kira semuanya harus kita diberikan ruang karena itulah yang membuka lapangan pekerjaan. Sangat menyulitkan kalau kita masih pegangannya 42.000 dan perda-perda yang sebanyak itu yang bermasalah.


Dan, dalam kompetisi, kita ini sering juga takut, kita ini ragu. Tapi memang dari angka-angka itu juga memberikan gambaran. Sebetulnya kita enggak perlu takut dengan kompetisi, kita tidak perlu ragu juga dengan yang namanya kompetisi dan persaingan. Kalau ada orang bertanya apakah kita siap, iya harus siap. Yang belum baik diperbaiki. Yang belum baik dibenahi.


Bapak-Ibu,

Saya berikan gambaran: BRI. Ingat BRI ya? Tahun ’70-’75—kalau Bapak-Ibu ingat—pegawainya pulang jam 1, jam 2 siang udah pulang. Kayak PNS kita saat itu juga jam 1, jam 2 pulang. Ingat, Bapak-Ibu, ya?


Begitu juga Bank BRI, juga sama. Saya ingat karena saat itu masih SMP sering, kalau pulang sekolah, disuruh orang tua ngambil uang—uang enggak banyak, jangan dipikir uang banyak—ngambil uang Rp 100.000, Rp 50.000, banknya sudah tutup. Pulang sekolah saya mau ngambil, banknya sudah tutup. Ingat, itu tahun ’70-;75.


Tapi begitu ada persaingan, ada faktor disaingkan, gambarannya seperti ini aja: dulu, sekarang. Coba, BRI sekarang, dibanding bank-bank swasta, keuntungannya sangat jauh, sistemnya jauh lebih baik. Keuntungan bank kemarin 24 triliun. Satu tahun, keuntungan BRI 24 triliun, terbesar dan terbaik. Artinya, ketika diberikan saingan, bukan kalah, melainkan memberikan semangat.


Mungkin kadang-kadang ragu mau masuk ke TPP, mau masuk ke FTA EU, mau masuk ke ASEAN, ragu-ragu terus. Yang penting dihitung: mana yang kurang, diperbaiki; mana yang kurang, dibenahi. Ternyata BRI, sebagai bank pemerintah, dengan swasta juga menang. Sistemnya sampai ke desa-desa. Sistem IT-nya juga sangat baik.


Kita ingat lagi: Pertamina. SPBU kita, tahun-tahun di bawah ‘80 coba: kumuh, enggak pernah dicat. Iya kan? Ingat kita.


Tetapi, begitu ada pesaing, ada kompetitor, jegrek. Ada Shell, ada Petronas, ada Total, malah jauh lebih baik dan benar-benar. Nyatanya, yang asing malah ada yang sudah tutup. Artinya kita bisa bersaing.


Tapi memang harus mengubah, harus berbenah. Begitu juga pemerintah kita sekarang ini. Pusat, provinsi, kabupaten/kota juga harus berubah kalau kita ingin memenangkan persaingan tadi.


Ingat, ranking kita tadi: 109. Belum indeks-indeks yang lainnya: Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Persepsi Korupsi, dan lain-lain.


Coba lihat Garuda juga. Garuda, tahun-tahun ‘80 ke bawah, enggak ada persaingan, enggak ada pesaing. Pelayanannya sangat tidak baik, terlambat terus.


Tetapi, begitu ada pesaing airlines yang swasta, kita lihat sekarang pada posisi 7 besar pelayanan terbaik di seluruh dunia. Garuda.


Jadi tergantung kita sebetulnya. Kita ini mau atau tidak mau, niat atau tidak niat memperbaiki sistem, mempercepat pelayanan, memperbaiki pelayanan.


Inilah perlunya deregulasi. Sekali lagi saya minta kepada Bapak-Ibu, Saudara-saudara Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota, Gubernur/Wakil Gubernur, semuanya, agar yang namanya deregulasi ini betul-betul dilihat, diperhatikan betul, dan disimpelkan dan disederhanakan.


Yang ketiga, saya ingin berbicara masalah anggaran. Tadi sudah disinggung oleh Bapak Wakil Presiden masalah anggaran. Anggaran APBN kita ini sudah meloncat 4 kali. Tetapi kenapa tidak bisa memperbesar kapasitas makro produksi negara? Dengan uang itu, kalau pola penganggarannya itu benar, mestinya kapasitas produksi makronya sudah kelihatan. Kapasitas modal itu juga bisa kelihatan lebih besar.


Tadi yang disampaikan oleh Pak Menteri, banyak anggaran-anggaran kita ini habis di belanja operasional. Yang pertama, banyak habis di belanja operasional.


Yang kedua, banyak habis di belanja-belanja rutin.


Yang ketiga, banyak habis di belanja-belanja barang. Banyak habisnya di situ.


Banyak habis di belanja-belanja modal juga, tapi yang tidak produktif. Saya berikan contoh: belanja operasional. Yang terlalu banyak apa? Perjalanan dinas, rapat-rapat, seminar-seminar. Kebanyakan.


Saya lihat di kementerian-kementerian bermiliar-miliar hanya untuk itu. Hati-hati. Di daerah juga. Lihat hal-hal yang berkaitan dengan itu, belanja operasional. Ini contoh saja dari 3 tadi: belanja untuk rapat-rapat, belanja untuk perjalanan dinas, belanja untuk seminar-seminar.


Yang kedua, belanja barang yang tidak prioritas. Tadi disampaikan oleh Pak Wapres. Kita ini, kalau mau beli mebel—melimpah ruah produk dalam negeri—eh malah beli yang dari Itali. Apanya sih yang mau dicari? Brand-nya? Branded-nya?


Janganlah. Beli produk-produk sendiri. Yang jauh lebih baik dari barang-barang itu banyak sekali. Kalau untuk mebel, tanya ke saya belinya di mana. Saya tunjukkan yang lebih baik dari Itali, dari yang buatan Perancis, dari yang buatan negara mana pun asal duitnya ada saja.


Tapi jangan pakai APBN, APBD kalau mau untuk pribadi, maksud saya. Kalau yang dari APBD, mebel itu ya sudahlah yang standar. Kita duduki juga sama empuknya kok. Kita juga tidak butuh yang wah-wah sekarang ini.


Belanja modal itu besar, harus tetap besar. Belanja pembangunan, belanja modal tetap besar.


Tapi ada belanja modal yang tidak perlu. Beli mobil termasuk di belanja modal. Kalau mobilnya masih bagus, ya kita pakai dululah. Mobilnya aja masih baik, ya kita pakai dululah. Jangan mentang-mentang bupati baru, wali kota baru, wakil bupati/wakil wali kota baru, gubernur baru, mobilnya juga baru. Ndak-lah, jangan.


Prioritaskan yang lain. Coba dilihat nanti komposisi APBD-nya seperti apa. Berapa persen belanja rutin? Berapa persen untuk belanja pembangunan? Berapa persen belanja operasional? Dilihat detil.


Dan itu yang memutuskan harusnya Bapak-Ibu, Saudara-saudara semuanya. Jangan berikan kepada kepala dinas-kepala dinas. Nanti yang terjadi adalah rutinitas. Yang terjadi adalah monoton.


Politik anggarannya itu Ibu dan Bapak, Saudara-saudara sekalian yang pegang. “Saya mau konsentrasi ke pendidikan.” Ya sudah konsentrasi ke pendidikan.


Jangan sampai anggaran itu dibagi rata, jangan. Jangan lagi money follows function. Misalnya, misalnya, ini punya APBD Rp 200 miliar misalnya, punya APBD Rp 200 miliar, misalnya untuk belanja pembangunan. Konsentrasikan saja ke 1, 2, 3 maksimal fokus, prioritas, udah. Rp 200 miliar misalnya. Sudah Rp 150 miliar untuk 1 program besar tapi jadi, tapi kelihatan.


Yang terjadi adalah—dari pengalaman saya—adalah dibagi-bagi menurut organisasinya. Rp 200 miliar misalnya, misalnya. Di Dinas PU kan ada, di bawahnya ada apa? Kepala Bidang. Nanti di bawahnya lagi ada Kepala Bagian atau Kepala Seksi, iya kan? Ini kan banyak. Biasanya itu langsung bagi Rp 200 miliar misalnya tadi, udah langsung bagi aja, 20, 20, 20, 20, iya adalah yang 25. Enggak keliatan nanti. Baunya aja enggak akan keliatan.


Nanti di Dinas Pendidikan juga sama, dibagi-bagi menurut seksi-seksi yang ada, dibagi-bagi menurut bagian-bagian yang ada, dibagi-bagi menurut. Enggak akan kelihatan.


Nanti di dinas yang lain lagi, Perhubungan, bagi-bagi menurut bagiannya, dibagi-bagi menurut Kepala Seksinya. Anggaran itu enggak akan kelihatan. Percaya saya.


Ada yang bertanya ke saya tadi, “Loh, Pak, terus seksi kita nanti kerjanya apa kalau enggak dapat program dan proyek? Nanti bagian saya nanti akan kerja apa?” “Loh, loh, loh, loh, Bapak-Ibu dan Saudara-saudara kan sudah digaji, ya sudah pelayanan. Nanti suatu saat, kalau prioritasnya menuju ke perhubungan, iya nanti gantian Perhubungan. Ini PU dulu misalnya. Mungkin tahun depan, ya prioritas perhubungan, ya Perhubungan.”


Beri langsung yang banyak biar kelihatan. Rakyat melihat. Jadi barang anggaran itu. APBD itu jadi betul-betul kelihatan betul.


Kalau mau ke pendidikan, ya sudah konsentrasi di pendidikan. Jangan semuanya diecer-ecer ke mana-mana. Enggak akan kelihatan. Percaya saya. Nanti 5 tahun Bapak-Ibu habis jabatan, enggak kelihatan, enggak akan kelihatan. Percaya saya.


Konsentrasi saja. Mau di mana? Perdagangan? Perbaiki semua pasar tradisional misalnya. Mau pendidikan? Mungkin 3 tahun. Tahun pertama, perbaiki fisiknya. Tahun kedua, urusan bukunya misalnya.


Akan kelihatan. Tapi kalau diecer-ecer, money follows function, enggak akan. Percaya.


Sekarang money follows program. Programnya apa, yang menentukan itu, itu politik anggarannya dipegang oleh pimpinan-pimpinan daerah.


Yang terakhir yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Saya titip. Pertumbuhan ekonomi daerah ini akan sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau pertumbuhan ekonomi daerah baik, baik, baik, baik, nanti nasional juga akan baik.


Dan APBD itu, realisasi serapan APBD itu memengaruhi perekonomian di daerah, memberikan trigger pergerakan perputaran uang yang ada di daerah. Artinya apa? Jangan memakai pola-pola lama. Kendalikan dinas-dinas, kepala dinas agar bulan-bulan awal tahun itu proyek, program itu udah dimulai, anggaran sudah keluar.


Begitu diketok, langsung aja lelang sehingga bulan Februari sudah mulai. Maksimum Maret, sudah mulai. Jangan sampai pola-pola lama, tradisi-tradisi lama ini kita terus-teruskan: September baru mulai, Oktober baru mulai, Agustus baru mulai.


Pas hujan datang, justru membangun. Bayangkan, pas hujan datang, Oktober hujan datang, malah bangun SD, malah bangun SMP coba. Semennya aja belum kering, sudah diberi atap. Ya ambruk. Banyak yang ambruk karena itu, kejar-kejaran waktu. Kenapa tidak dimulai Maret sehingga kualitasnya menjadi baik?


Membangun pelan, pelan, pelan. Membangun jembatan mulai Maret. Pas tiba waktunya nanti November, Desember, tinggal bayar. Kualitasnya pasti baik.


Ini yang kepala daerah yang baru, pimpinan daerah yang baru, ini harus mengerti. Jangan sampai terkena arus rutinitas birokrasi kita. Bapak-Ibu semuanya yang harus memengaruhi, menjadi berubah. Yang mengubah, yang me-reform itu Bapak-Ibu semuanya sehingga pertumbuhan ekonomi daerah akan menjadi baik kalau di awal-awal ini.


Ingat, kalau uang tidak keluar dari APBD, artinya tidak ada perputaran uang di daerah itu sehingga pertumbuhannya saya pastikan—kalau di awal tahun, pasti kita ini, udah hafal saya—hampir di semua daerah itu pasti rendah, dan nasionalnya juga ikut.


Sekarang saya cek. Setiap hari saya cek. Setiap minggu saya cek. Uang-uang APBD provinsi ini ngendon di bank berapa? Uang-uang APBD kabupaten ini ngendon di bank berapa? Uang-uang APBD kota ini ngendon di bank daerah berapa? Tahu semuanya saya.


Tadi pagi saya cek uang yang berada di bank-bank daerah milik APBD, sebanyak 183 triliun. Besar sekali, ini besar sekali. Coba itu kalau “hilang”, mutar di masyarakat, betapa cepatnya ekonomi kita.


Tahun kemarin sampai 282 triliun berhenti di bank sekian bulan. Setelah kita gedor-gedor, baru diputar. Karena apa? Itu tadi, memulai proyek di pertengahan tahun atau di hampir akhir tahun. Ini sudah tidak bisa diterus-teruskan hal-hal seperti ini.


Yang terakhir masalah inflasi. Saya titip, yang naik harga-harga bahan pokok itu dipantau, diawasi. Semua daerah harus punya TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah). Dicek, dicek, dicek, dicek. Distributor dicek, agen-agen dicek, baik yang berkaitan dengan beras, dengan cabe, dengan jagung, dengan semua yang berkaitan dengan bahan-bahan pokok kita. Cek semuanya sehingga inflasi kita nanti kita harapkan kayak yang tahun kemarin, di bawah 5.


Kemarin 3,3. Sebelumnya kita 8,3. Kemarin 3,35. Artinya apa? Kalau pertumbuhan ekonomi misalnya 5, tetapi inflasinya 8, artinya rakyat itu berat karena tekor 3%. Yang benar itu, pertumbuhan 5 misalnya, pertumbuhan ekonomi kita 5, inflasinya 3. Nah rakyat dapat keuntungannya 2% karena harga-harga berarti lebih murah dan stabil.


Tapi banyak yang enggak tahu, “Apa sih inflasi? Apa sih dampak dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi?” Itu kira-kira cara gampangnya.


Jadi kendalikan. Dua ini penting sekali, kunci supaya rakyat merasa mudah, merasa murah membeli barang. Caranya ya pertumbuhan ekonomi harus di atas inflasi. Kendalikan.


Kalau ada yang numpuk barang terlalu banyak—Tim Pengendali Inflasi Daerah kan ada Kejaksaan, dari Kepolisian, dari Pemda—ya sudah keluarkan barang itu. Tegur, “Jangan menumpuk bahan-bahan pokok. Keluarkan.” Kalau enggak mau, ya langsung tangkap aja.


Saya kira itu, Ibu dan Bapak, Saudara-saudara sekalian, seluruh Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota, yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.


Dan saya berharap kita semuanya, yang sudah dilantik maupun yang baru dilantik, menjadi sebuah tim yang solid bagi negara kita. Dan juga saya titip, Gubernur dan Wakil Gubernur,  Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota harus menjadi dwitunggal yang saling melengkapi, yang saling mengisi, yang saling memperkuat, bukan berantem.


Yang banyak: kalau awal-awal, mesra, biasa. Awal-awal, mesra. Awal-awal, bergandeng-gandengan. Nanti, kalau sudah pertengahan, nah itu berantem.


Tapi jangan. Saya titip, jangan. Bapak-Ibu, Saudara-saudara semuanya diharap, ditunggu oleh rakyat kita, ditunggu oleh masyarakat kita.


Berantem itu ya, bertarung itu ya 5 tahun sekali. Sudah, setelah itu jadi 1 lagi, bekerja. Kalau mau bertarung, 5 tahun lagi. Jangan bertaruuung terus. Enggak ada habisnya. Rakyat dapat apa nanti dari kita? Udah.


Dan juga yang dulu menjadi lawan politik di pilkada, rangkul, dirangkul. Jangan sampai yang dulu enggak dukung, misalnya ada kelompok guru, kelompok kepala sekolah enggak dukung, dipindah ke tempat yang terpencil. Ada yang seperti itu.


Dipikir saya enggak dengar. Saya itu tahu semuanya. Kan ada intelijen, ada Ka-BIN, Ka-BIN-Da, ada semuanya. Di daerah mana, saya hafal, ngerti, termasuk uang disimpan juga tahu. Hanya saja ada yang saya cari, ada yang saya panggil, saya tegur kalau udah keterlaluan, pasti.


Tapi ingat sekali lagi, sebagai pimpinan-pimpinan daerah, kita ini ditunggu oleh rakyat. Dinanti oleh rakyat kerja-kerja nyata kita.


Saya tutup. Terima kasih.             


Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

*****

Biro Pers, Media dan Informasi

Sekretariat Presiden