''Kita membutuhkan regulator yang tidak berpihak kepada kepentingan lembaga apapun dan dari manapun, tapi regulator yang hanya berkepentingan untuk memajukan industri ketenagalistrikan nasional dengan tidak mengabaikan kepentingan-kepentingan sosialnya. Itu hanya bisa bila regulator tersebut independen. Jadi, pemerintah harus bergerak cepat. Segera bentuk badan regulator independen,'' tambahnya.
Dikatakan Yusuf, jika mengacu pada Undang-undang No. 15 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2006 (Pasal 16 UU No 15 1985, Pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik. Pasal 17 UU No 15 Tahun 1985 Syarat-syarat penyediaan, pengusahaan, pemanfaatan, instalasi, dan standardisasi ketenagalistrikan diatur oleh Pemerintah.
''Menurut kami, peranan regulator yang hanya sebagai pengawas sebagaimana diatur dalam UU ini tidak cukup karena tidak menyentuh esensi persoalan-persoalan ketengalistrikan nasional. Bahkan, dalam PP No. 26 Tahun 2006, tidak disebutkan sama sekali peran regulator,'' kata Yusuf.
Seharusnya, peran regulator adalah penting, yang tidak hanya sekadar menjalankan fungsi pengawasan. Badan ini harus pula mengatur dan mengelola, sekaligus memberi sanksi terhadap pelaku-pelaku bisnis ketengalistrikan kalau terjadi pelanggaran.
''Suka atau tidak, dalam kondisi sekarang peran tersebut sulit dilaksanakan. Sebab sesuai dengan undang-undang yang berlaku, regulator adalah bagian dari proses bisnis. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kepentingan. Singkat kata, benturan kepentingan adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Seharusnya, regulator mampu memilah kepentingan-kepentingan yang ada, termasuk kepentingan bisnis dan kepentingan sosial. Listrik masih menyangkut fungsi PSO. Sekali lagi, listrik sangat menyangkut hajat hidup orang banyak,'' papar Yusuf. osa
Sumber:
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=309265&kat_id=4