Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, warga negara dipersilakan untuk menyatakan pendapat dan mengkritik jalannya pemerintahan demi kemajuan bangsa. Penegasan ini disampaikan langsung Presiden Joko Widodo ketika memberikan sambutan dalam acara Konvensi Nasional Galang Kemajuan Tahun 2018, di Bogor, Jawa barat, pada Sabtu, 7 April 2018.
Namun, dalam menyatakan pendapat, hendaknya harus dipahami terlebih dahulu apakah pendapat tersebut merupakan kritik membangun atau justru menjadi fitnah.
"Di negara kita yang berdemokrasi ini kita boleh mengkritik. Tidak apa. Tapi orang harus mengerti mana yang kritik mana yang mencemooh. Mana yang kritik, mana yang nyinyir. Mana yang kritik, mana yang fitnah. Beda itu," ujar Presiden Joko Widodo.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu pemerintah sempat mendapatkan kritik terkait dengan salah satu kebijakan pemerintah mengenai percepatan sertifikasi tanah milik masyarakat di seluruh Indonesia. Kritik tersebut bisa saja muncul lantaran kurangnya informasi mengenai kebijakan itu. Oleh karenanya, Kepala Negara memberikan penjelasan mengenai kebijakan yang menjadi salah satu bagian dari program reforma agraria yang digulirkan pemerintah.
"Kita ini dulu hanya bisa menyerahkan 400-600 ribu sertifikat per tahun. Padahal bidang tanah yang harus kita sertifikatkan seharusnya 126 juta sertifikat. Yang baru diberikan kepada rakyat sampai saat ini baru 52 juta. Apa artinya? Artinya kalau setiap tahun hanya 400-600 ribu kita butuh 130 tahun untuk semuanya rampung," ujar Presiden.
Dalam rilis Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin disebutkan bahwa kebijakan percepatan sertifikasi ini, sebagaimana namanya, tak lain untuk mempercepat warga negara pemilik tanah mendapatkan haknya yang berupa sertifikat yang diakui secara hukum. Untuk itu, sejumlah target telah ditetapkan pemerintah agar kebijakan tersebut dapat terlaksana dengan baik.
"Oleh sebab itu, saya perintahkan mulai tahun kemarin kepada Menteri BPN Pak Sofyan Djalil. Saya minta 2017 dari 500 ribu menjadi 5 juta sertifikat harus keluar dari Kantor BPN. Tahun ini 7 juta harus keluar dari kantor BPN," ucapnya.
Meski demikian, pemerintah menerima masukan-masukan yang diberikan untuk lebih menyempurnakan kebijakan itu. Karena memang saat pelaksanaan, bisa saja ditemui sejumlah kendala yang membuat kebijakan ini tidak berjalan dengan semestinya. Namun, masukan atau bahkan kritikan yang disampaikan hendaknya disertai dengan data yang valid dan mampu menawarkan solusi alternatif demi kemajuan bersama.
"Semuanya kalau mengkritik itu berbasis data dan bisa mencarikan solusi alternatif. Kalau tidak itu apa namanya," ujar Presiden. (Humas Kemensetneg)