Demikian diungkapkan Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Ahmad Mujahid Ramli di sela-sela rapat dengar pendapat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Andi Mattalatta dengan Komisi III DPR di Jakarta, Senin.
"Yang menjadi salah satu syarat yang diprioritaskan adalah UU yang di-judicial review oleh MK dan harus segera diperbaiki," kata Ramli. RUU yang diprioritaskan prolegnas adalah yang sudah ada naskah akademis dan diharmonisasi, baik oleh Dephuk dan HAM maupun Badan Legislatif DPR.
Menurut Ramli, beberapa UU yang diprioritaskan, antara lain UU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena hanya diberi waktu tiga tahun oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ada juga yang di-judicial review MK, misalnya pasal penghinaan terhadap presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Itu menjadi prioritas karena terjadi kekosongan hukum untuk melindungi martabat seorang presiden. Seharusnya diupayakan KUHP untuk segera dibahas. Masalahnya, KUHP pasalnya sangat banyak, yaitu sekitar 700 pasal. Ini perlu kajian yang mendalam," ujar Ramli.
Ramli mengatakan, sebelum menjadi UU, saat masih RUU, setiap aturan itu perlu mendapat audit publik. Publik boleh menilai dan memberikan masukan.
"UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan mengharuskan semua RUU transparan dan dibuka ke masyarakat. Karena itu, pada tahap itu harus disosialisasikan. Namun, anggaran untuk diseminasi kurang memadai," kata Ramli.
Ramli mengatakan, juga ada beberapa RUU yang merupakan sisa dari Prolegnas 2007, seperti RUU Cyber Crime.
Andi Mattalatta dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR mengatakan perlu ada politik hukum nasional sehingga ada arah dalam pembuatan produk hukum di Indonesia. "Selain itu, kita tidak perlu berdebat panjang jika politik hukum nasional sudah jelas," ujarnya. Sejumlah anggota DPR pun mendukung pendapat itu.
Sumber: http://www.kompas.com/ (2 Oktober 2007)