RI Siapkan Protokol Krisis

 
bagikan berita ke :

Sabtu, 05 April 2008
Di baca 1782 kali


”Itu (protokol krisis) sedang digarap.Tujuannya untuk mengatur mekanisme dan pembagian tugas dalam situasi misalnya ada krisis. Itu kan suasananya lain dengan kalau normal. Krisis itu harus serbacepat,” ujar Menko Perekonomian Boediono di Jakarta kemarin.

Dia mengatakan, belajar dari pengalaman krisis ekonomi 1997–1998, program restrukturisasi perbankan yang dilakukan waktu itu, saat ini menjadi persoalan hukum bagi pejabat pemerintah yang mengambil keputusan. Padahal, lanjutnya, melihat kondisi ekonomi pada 1997–1998,Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dibutuhkan.

”Konkretnya adalah semacam aturan landasan hukum untuk mengatur kalau seperti 1997/1998.Kalau seperti itu, siapa yang bertanggung jawab apa,supaya semuanya jelas,tidak lalu saling menyalahkan,” katanya. Boediono menargetkan pembahasan RUU tersebut bisa diserahkan kepada DPR tahun ini.

Menurutnya, krisis ekonomi membutuhkan tindakan cepat sehingga sulit mengikuti prosedur biasa seperti penggunaan uang negara harus berdasarkan pembahasan dengan DPR pada penyusunan APBN.

”Di Amerika Serikat (AS) ini baru. Seperti Anda ketahui, Bear Stearns (bank investasi di AS) itu karena bangkrut, pengaruhnya luar biasa ke perusahaan lain. Melihat itu kemudian The Fed memberi pinjaman seperti BLBI yang jumlahnya USD30 miliar dan diputuskan pada weekend. Secepat itu, jadi bayangkan kalau tidak ada payung hukumnya. Siapa yang berani,”ujar Boediono.

Dia menambahkan, pemerintah dan BI terus mewaspadai perkembangan gejolak perekonomian global. Kendati demikian, dia meyakinkan bahwa pengelolaan ekonomi makro moneter cukup aman.

”Ini memang belum tahu sampai di mana akhir dari gonjang-ganjing ini.Tapi kita tidak ingin tempat kita untuk bekerja dan untuk mendapatkan nafkah itu hancur karena salah satu atau beberapa dari kita lebih mementingkan kepentingan sendiri pada saat krisis itu daripada kepentingan bersama,” ujar Boediono.

Dalam Negeri Aman

Sementara itu, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah mengatakan, perbankan tidak akan mengalami kesulitan akibat krisis global dalam waktu enam bulan ke depan. Meski demikian,pemerintah dan BI tetap mengawasi secara ketat berbagai perkembangan yang terjadi.

”Ada yang perlu kita cermati dengan sebaik-baiknya, penurunan harga saham misalnya atau penurunan harga surat utang negara (SUN). Itu juga adalah sesuatu yang barangkali nantinya berdampak pada perbankan,”ujarnya. Selain itu,kata Burhanuddin, yang perlu diperhatikan adalah pelemahan nilai tukar rupiah yang kemungkinan akan mendorong peningkatan kredit bermasalah (NPL) kredit rupiah.

Menurutnya, berdasarkan hasil uji stress testing yang dilakukan BI, perbankan nasional masih memiliki pengamanan yang cukup tinggi, baik dari permodalan maupun likuiditas, apabila terjadi kondisi terburuk. ”Memang saya mengatakan sangat jauh (skenario terburuk terjadi), dengan asumsi-asumsi yang sangat berat sekali, sekalipun kita masih cukup bertahan,”ujarnya.

Untuk memitigasi risiko, lanjut Burhanuddin,perbankan dan BI secara berkelanjutan melakukan pertemuan-pertemuan dengan pemerintah. Di bidang moneter,BI memandang bahwa pengelolaan ekspektasi inflasi ke depan tidak dapat seluruhnya dibebankan kepada suku bunga acuan BI Rate. Sementara itu untuk cadangan devisa, kata Burhanuddin, saat ini masih cukup comfortable pada kisaran USD59 miliar.

”Di pasar keuangan dan perbankan saya kira langkah-langkah antisipatif yang dilakukan pemerintah dengan menjamin tersedianya likuiditas untuk mencegah liquidity crunch serta upaya-upaya untuk memitigasi dan mengurangi tekanan dari yang ada sekarang ini,”jelasnya.

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta kalangan perbankan dapat mengelola ekonomi negara secara bersamasama, terkait adanya tekanan gejolak perekonomian global. Atas kondisi tersebut, Presiden SBY juga meminta agar komunikasi perbankan dengan pemerintah,Menteri Keuangan, dan para menteri terkait serta Gubernur BI dapat berjalan dengan baik.

”Jangan berjalan sendiri-sendiri, jangan ‘masing-masing’ sehingga kalau ada apa-apa bisa kita carikan solusinya. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” ujar Presiden SBY dalam sambutannya saat jamuan makan siang bersama dengan kalangan perbankan di Istana Merdeka Jakarta kemarin.

Pada pertemuan dengan perbankan tersebut, Presiden SBY didampingi Menko Polhukam Widodo AS,Menko Perekonomian Boediono,Mensesneg Hatta Rajasa,Menkeu Sri Mulyani Indrawati,Sekretaris Kabinet (Seskab) Sudi Silalah, dan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah.

Sementara itu dari kalangan perbankan yang hadir antara lain Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono, Dirut BRI Sofyan Basyir, dan Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo. Menurut Presiden, kesejahteraan rakyat hanya bisa dibangun dengan ekonomi yang adil.Untuk itu,Presiden mengajak para pelaku ekonomi di bidang perbankan dapat tetap tenang dalam mengatasi dan menghadapi gejolak ekonomi global.

”Meskipun kita masih bisa mengelola semua persoalan,karena situasi di tingkat global ini belum rampung, belum berakhir, banyak prediksi, banyak yang kita baca tidak bisa underestimated, maka tidak boleh tidak mengantisipasi,” paparnya. Dalam kesempatan itu, Presiden juga meminta agar perbankan dapat menggerakkan ekonomi di sektor riil denganmemberikanpinjamanpinjaman yang tepat.

”Titipan saya, sebagaimana yang kami kerjakan hampir setiap hari, bulan-bulan terakhir ini, adalah bagaimana melindungi dan membantu yang lemah. Ada tanggung jawab moral kita untuk membantu rakyat manakala ada tekanan yang di luar kemampuannya,” ungkap Presiden. Bila masyarakat resah,menurut Presiden, akan timbul dampak sosial yang akan berimbas pada iklim domestik, termasuk gangguan terhadap dunia usaha.Pemerintah dan DPR,lanjut Presiden,sedang melakukan upaya bersama untuk memastikan APBN tetap kredibel dan berkelanjutan.

”Oleh karena itu,percayakan pada pemerintah dan DPR untuk mengelola APBN ini.Harapan saya, market memahami betul, publik memahami betul, sehingga kita menjadi rasional, menjadi jernih,”tandasnya. Sebelumnya di Kantor Kepresidenan Jakarta, Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, pemerintah pada prinsipnya memang masih mengalami masalah untuk menutup defisit pada APBN 2008.

”Tidak begitu menggembirakan pasar SUN sekarang.Tapi kita tetap konsisten untuk mencari pendanaan,” paparnya. Sementara itu, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menuturkan, respons pemerintah terhadap gejolak ekonomi global berdampak positif terhadap pasar. ”Pasar memang sensitif terhadap informasi yang berubah-ubah dan tidak pasti,’ tuturnya.

Yudhi mencontohkan, simpang siur tentang perkembangan asumsi ekonomi makro dalam pembahasan RAPBN Perubahan 2008 menjadi masukan penting bagi pelaku pasar.Ketetapan angka subsidi bahan bakar minyak dan pembiayaan defisit menjadi angka krusial yang bisa mengubah prilaku pasar. ”Untuk itu, pejabat perlu lebih terbuka dan transparan,”paparYudhi.
 
 
 
 
 
 
Sumber:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/ri-siapkan-protokol-krisis.html

Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?
0           0           0           0           0