di Djakarta Theater, Kota Administrasi Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Om swastiastu,
Namo buddhaya,
Salam kebajikan.
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,
Apa kabar semuanya?
Apa kabar semuanya?
Apa kabar semuanya?
Apa kabar semuanya?
Sudah makan pagi? Sama, saya juga belum.
Sudah siap semuanya? Pagi hari ini saya mau bagi-bagi, tapi bukan bagi-bagi sepeda, juga bukan bagi-bagi tiket Coldplay. Nanti ada yang bisik-bisik, “Pak, tiketnya, Pak”. Ndak, ini adalah hal yang sangat spesial, lebih spesial lagi dan apa itu yang ingin saya bagi? Saya ingin berbagi visi, berbagi mimpi besar, berbagi cita-cita besar bangsa ini.
Tadi dalam perjalanan saya dari Istana ke tempat ini, saya membayangkan akan jadi apa, akan menjadi seperti apa Indonesia ini di 100 tahun kemerdekaannya, yaitu tahun 2045. Kemudian, saya mem-flashback gedung ini Djakarta Theater di sekitar tahun 1970-an, ini adalah tempat yang paling megah di Jakarta, saat itu tahun 1970. Dan tahun itu, tahun 1970-an saya belum menginjakkan kaki saya di Jakarta, 1970 belum pernah ke Jakarta saya. Masih di solo, masih di bantaran sungai rumah saya, habis kena gusur. Iya benar, tahun-tahun 1970 dan masih ndeso banget.
Tapi di tahun 2023 ini, saya berdiri di sini sebagai Presiden Republik Indonesia. Artinya apa? Dalam 50 tahun perubahan signifikan itu sangat bisa terjadi jika kita berani, jika kita mau, dan jika kita punya nyali, jika kita punya nyali. Bertekad, berusaha keras, bekerja keras untuk berani melakukan lompatan. Inilah yang kita perlukan.
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,
[Tahun] 2030-an kita akan mengalami puncak bonus demografi 68,3 (persen) total penduduk Indonesia berusia produktif, yang ini terjadi hanya satu kali dalam peradaban sebuah negara. Bonus demografi itu hanya terjadi satu kali dalam peradaban sebuah negara. Ini bisa menjadi peluang, tapi ini juga bisa menjadi sebuah bencana kalau kita tidak bisa mengelolanya.
Saya lihat, saya baca di berita, ini di negara yang lain, saking sulitnya mencari kerja, lulusan S2 yang seharusnya bisa menjadi guru, saat ini menjadi tukang sapu. S2. Di sebuah negara di Afrika di 2015 juga mendapatkan bonus demografi, tapi dalam tujuh tahun justru yang terjadi pengangguran melonjak menjadi 33,6 persen, saya tidak usah sebut negaranya mana tapi saya yakin Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara tahu. Dan, kita tidak ingin terjadi seperti itu.
Oleh sebab itu, kita harus bekerja keras, sekali lagi, kita harus bekerja keras memanfaatkan peluang ini. Kita harus punya perencanaan taktis, bukan perencanaan, tapi perencanaan taktis. Visinya juga visi taktis, punya strategi juga yang taktis, karena kita berkompetisi dengan negara lain. Punya strategi besar, tapi strategi taktis. Itu yang dulu-dulu kita enggak memiliki. Tapi sekarang saya tanya ke Menteri BPN/Bappenas, sudah lebih taktis dan lebih detail.
Sekali lagi, karena kita berhadapan dengan kompetisi dengan negara-negara lain. Enggak bisa lagi kita kayak dulu-dulu memakai istilah-istilah yang absurd. Pengembangan, apa itu pengembangan. Penguatan, apa itu penguatan. Pemberdayaan, harus to the point, apanya. Harus taktis, apanya. Untuk membawa kapal besar Indonesia menggapai cita-cita Indonesia Emas 2045. Jadi rencana taktis, visi taktis, strategi besar tapi strategi yang taktis, kemudian berani mengeksekusinya.
Sekali lagi, untuk membawa kapal besar bangsa Indonesia menggapai cita-cita Indonesia Emas 2045, menjadi lima besar ekonomi dunia. Peluangnya ada, hitung-hitungannya saya sudah dengar semuanya. Dari Bappenas saya sudah dengar kalkulasinya, dari McKinsey saya sudah dengar hitungannya, dari IMF saya sudah dengar hitungannya, dari Bank dunia (World Bank) juga saya dengar hitung-hitungannya, hampir mirip-mirip.
Tetapi tantangannya itu juga tidak mudah. Kita perkirakan itu GNI per kapita di tahun ini, kita sudah mencapai angka 5.000 berapa, Bu Menteri Keuangan? 5.000 lebih sedikit, 5.030 US Dollar di tahun 2023. Perkiraan kita di tahun Indonesia Emas 2045 itu berada di angka kira-kira 23.000 sampai 30.300 US Dollar per kapita. Itu lompatannya…
Tingkat kemiskinan sekarang ini meskipun sudah single digit, yaitu di angka 9,57 persen, tapi masih tetap angka itu kita harus sampaikan, masih tinggi. Dan, di tahun 2045 diperkirakan di 0,5 sampai 0,8 persen. Tapi bukan hal yang mudah, bukan hal yang gampang.
Menurut saya, ada tiga hal pokok penting yang menjadi acuan, sebagai acuan. Yang pertama untuk menggapai itu, yang pertama, ini penting stabilitas bangsa ini harus terjaga. Stabilitas bangsa ini harus terjaga. Tidak ada satu negara pun yang berhasil mencapai sebuah kemakmuran saat kondisinya tidak stabil, enggak ada. Tunjukkan negara mana? Saat negaranya terpecah, enggak akan yang namanya mencapai kemakmuran. Negara itu berkonflik, enggak akan tercapai yang namanya itu kemakmuran. Kisruh terus, enggak akan yang namanya akan mencapai sebuah kemakmuran. Sekali lagi, stabilitas.
Yang kedua, harus ada keberlanjutan dan kesinambungan, harus. Kalau sudah kepemimpinan satu, kedua, ketiga, sudah sampai ke SMA, mestinya kepemimpinan yang keempat itu diteruskan untuk masuk ke universitas. Jangan balik lagi ke SD lagi. Setuju? Kepemimpinan itu ibarat tongkat estafet. Sekali lagi, kepemimpinan itu ibarat tongkat estafet, bukan meteran pom bensin. Kalau meteran pom bensin itu, “Pak, dimulai dari nol ya” sama ditunjukkan ini. Apakah kita mau seperti itu? Ndak kan. Masa kayak meteran pom bensin. Mestinya kalau sudah dari TK, SD, SMP, ini ya kepemimpinan berikut masuk ke SMA, universitas. Nanti kepemimpinan berikut masuk ke S2, S3, mestinya seperti itu. Tidak maju mundur poco poco, ndak.
Dan, pembangunan Indonesia Sentris, ini penting. Hilirisasi industri, sangat penting. Inilah nanti yang akan melompatkan kita. Kalau hilirisasi ini berhasil, kita akan melompat. Membangun, misalnya urusan hilirisasi mineral, membangun ekosistem EV battery. Bagaimana yang dulu kita ekspor hanya mentahan, nikel ekspor hanya mentahan, bisa jadi cathode, bisa jadi prekursor, bisa jadi lithium battery, bagaimana mencapai ekosistem besarnya ini. Ini yang tidak mudah, perlu kerja detail, perlu dicek terus di lapangan, itu pun bisa meleset, apalagi tidak.
Perkebunan, hasil-hasil perkebunan jangan diekspor mentahan-mentahan saja. Crude palm oil (CPO), kenapa enggak dibuat barang setengah jadi dan jadi, bisa sabun, bisa kosmetik, dan lain-lainnya. Rumput laut, kita punya potensi yang sangat besar sekali, tapi jangan diekspor mentahan, mentahan, mentahan. Sekarang, rumput laut itu bisa dijadikan biofuel. Saya baru lihat, kaget juga saya lihat di Jerman. Artinya, potensi ini besar, tetapi tantangannya juga besar.
Kemudian yang kedua, IKN Nusantara, Ibu Kota Nusantara. Banyak yang bertanya ke saya, “Untuk apa sih, Pak?” Perlu saya sampaikan 56 persen penduduk Indonesia itu ada di Jawa dan yang terpadat itu di Jakarta, 56 persen penduduk kita ada di Jawa berarti 149 juta dari 17 ribu pulau. Itu 149 juta itu ada di Pulau Jawa, itu perlu pemerataan. GDP ekonomi kita 58 persen itu juga ada di Jawa, yang 17 ribu pulau yang lainnya diberi bagian apa? Beban Jakarta itu sudah sangat terlalu padat sekali, sebagai kota pendidikan, sebagai kota pariwisata, sebagai kota bisnis, sebagai kota ekonomi, sebagai kota pemerintahan. Macet semua kita sekarang ini di mana-mana.
Oleh sebab itu, beban harus dikurangi, pemerataan harus dilakukan. Tidak dalam jangka setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lima tahun yang akan datang, tetapi kita harus melihat visi yang jauh ke depan. Oleh sebab itu, hilirisasi, IKN Nusantara ini harus diperkuat, harus dilanjutkan, harus ditingkatkan.
Kemudian, yang ketiga adalah SDM, sumber daya manusia. Ini kekuatan besar kita, jangan tapi juga jangan hanya menang dari segi jumlah, tetapi juga harus dari segi kualitas SDM-nya, baik secara fisik, skill, karakter produktif, dan karakter disiplin. Ini yang harus kita benahi total, termasuk penguasaan iptek. Korea Selatan sebagai contoh, ini dalam delapan tahun mampu keluar dari middle income trap/jebakan negara berpendapatan menengah. Angkanya di tahun 1987, GDP mereka masih di angka 3.500 di tahun 1987, 3.500. Kemudian GDP di tahun 1995, delapan tahun setelah itu melompat menjadi 11.800. Lompatan seperti inilah yang perlu kita tiru, perlu kita contoh. Karena apa? Karena kualitas SDM-nya yang fokus pada teknologi dan produktivitas.
Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian,
Indonesia Emas tidak bisa hadir otomatis, tapi sekali lagi, butuh direncanakan dengan baik, butuh fokus yang sama, butuh panduan, butuh haluan, sehingga saya harap RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) yang diluncurkan ini dapat menjadi pedoman kita bersama. Apa sih pedoman kita? Ada di situ. Dan, terlepas dari itu semua, bagaimanapun baiknya sebuah perencanaan, bagaimanapun baiknya sebuah perencanaan, akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemampuan eksekusi yang baik, enggak ada artinya.
Oleh sebab itu, untuk mencapai Indonesia Emas 2045 dibutuhkan, sangat dibutuhkan smart execution, dan dibutuhkan smart leadership oleh strong leadership yang berani dan pandai mencari solusi dan yang punya nyali. Tapi, jangan bicara pilpres di forum ini, nanti di forum yang lain saja.
Saya rasa, itu yang ingin saya sampaikan. Dan, dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim pada pagi hari ini secara resmi saya luncurkan Rancangan RPJPN Tahun 2025-2045.
Terima kasih,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.