di Istana Negara, Provinsi DKI Jakarta, 2 Desember 2022
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya.
Bapak-Ibu yang saya hormati, utamanya para CEO yang pagi hari ini hadir.
Saya tidak ingin berbicara mengenai problem dunia, karena nanti ada yang menyampaikan, Presiden itu menakut-nakuti saja setiap sambutan. Oleh sebab itu, saya ingin menyampaikan optimisme yang kita hadapi ke depan.
Kenapa kita harus optimis? Berkali-kali saya sampaikan, kita ini memiliki potensi besar, memiliki kekuatan besar tapi sering kita lupakan. Kita memiliki sumber daya alam (SDA), kita memiliki SDM yang nanti akan muncul bonus demografi 2030 diperkirakan berapa, 201 juta tenaga produktif kita. Kemudian juga, kita memiliki pasar yang besar, tidak hanya negara kita, negara kita sebagai fondasi tapi ASEAN 600 juta. Inilah kekuatan yang sering tidak kita sadari dan harus saya ingatkan terus, termasuk posisi kita di jalur perdagangan dunia. Kekuatan inilah yang harus kita ingat-ingat terus dalam rangka membangun sebuah strategi besar, bisnis negara, strategi besar ekonomi negara, agar kita bisa mencapai visi yang kita inginkan.
Memang sudah lama kita menyatakan ekonomi Indonesia ini terbuka, iya. Keterbukaan ekonomi, iya. Tapi, jangan keliru mengartikan keterbukaan ekonomi. Ada kesalahan sama di Amerika Latin, mereka juga membuka ekonominya dan tahun ‘50-an, tahun ‘60-an, negara-negara di sana sudah mencapai pada angka negara berkembang, negara berpendapatan menengah. Tapi apa yang terjadi kalau kita lihat secara detail? Saya enggak menyebut negaranya, sensitif. Apa yang terjadi? Sudah lebih dari 50, 60, 70 tahun negara mereka berkembang terus, bukan berkembang terus, tapi menjadi negara berkembang terus. Menjadi negara berkembang terus, saya ikuti ini ada apa, ada problem apa di sini. Problemnya, mengartikan keterbukaan itu membuka seluas-luasnya untuk investor. Ini benar, ini betul tapi hati-hati.
Beda yang saya lihat di Taiwan dan Korea, ini yang harus betul-betul desain ini secara konsisten harus kita lakukan terus. Yaitu, satu, membuat negara lain bergantung kepada kita. Sebetulnya ini sudah beberapa kali saya cek, siapa sih yang tergantung kepada kita, ternyata banyak sekali. Begitu batu bara kita stop dua minggu saja, yang telepon ke saya banyak sekali kepala negara, perdana menteri, presiden. Oh ini tergantung, tergantung, tergantung, tergantung, tergantung,kok banyak sekali? Saya kaget juga, urusan batu bara.
Begitu juga minyak CPO (crude palm oil) begitu kita stop, ya karena saya harus stop, banyak pertanyaan dari luar, dari IMF, dari Bank Dunia, “Kenapa stop?” Ya, karena di dalam negerinya hilang barangnya. Saya harus utamakan rakyat saya dulu, saya sampaikan, enggak bisa saya berikan ke kamu kemudian kita kelabakan enggak punya minyak, enggak bisa dong. Enggak bisa saya, pasti saya stop. Banyak yang menyampaikan itu keliru, ya terserah, enggak apa-apa, pendapat orang berbeda-beda. Saya, rakyat saya, saya utamakan. Dan, ternyata sampai sekarang stabilitas harga minyak goreng kan juga bisa kita lakukan tanpa harus cap. Bisa, saya cek kemarin di dua pasar baru sehari dua hari kemarin, masih di Rp14.000 dan sebagian di bawah Rp14.000.
Kembali lagi ke keterbukaan. Jadi kita tetap membuka ekonomi kita, keterbukaan ekonomi. Tetapi sekali lagi, harus kita bisa mendesain negara lain tergantung pada kita, harus. Jangan sampai kita ini hanya menjadi cabang. Ini yang saya lihat kekeliruan di Amerika Latin, hanya menjadi cabang. Banyak investor masuk, tetapi hanya menjadi cabang. Ekonominya tumbuh, tapi hanya menjadi cabang. Dan, negara-negara itu saya lihat juga tidak membuat produk-produk yang negara lain bergantung, sehingga ini tidak masuk ke global supply chain.
Saya berikan contoh saja, Taiwan. Kenapa sih Taiwan begitu bisa meloncat? Ini hanya satu contoh saja, mereka membuat chip. Fokus, strategis, dan kompetitif hanya di situ. Dan, semua tergantung pada produk ini. Hanya satu produk, belum produk-produk yang lain.
Kemudian Korea juga sama. Saya, kenapa nih ini melejit, ini kenapa? Saya lihat terus, saya lihat yang membuat mereka melejit salah satunya, ini hanya salah satu, membuat komponen-komponen digital sehingga perusahaan-perusahaan besar di Amerika semuanya tergantung pada dia, butuh dia. Saya tanya, saya sering tanya, “Kenapa sih Korea melakukan itu?” Saya tanya langsung ke presidennya saat itu, “Kenapa?”
Seperti negara-negara lain, senangnya mengikuti jejaknya barat. Kalau kita mengikuti, ya kita selalu di belakangnya terus. Kalau kita naik tangganya mengikuti, ya kita akan di bawahnya dia terus. Padahal kita memiliki kekuatan besar tadi yang saya sampaikan, enggak bisa. Apalagi berangkatnya saja paling belakang, mengikuti, ya di belakang terus. Ingat ini, mereka enggak mau itu. Selalu kalau pas ngomong-ngomong berdua itu, selalu hal-hal seperti itu saya tanyakan. Kenapa? Dan, enggak akan bisa mendahului sampai kapan pun.
Oleh sebab itu, kita desain. Ini hanya satu yang saya sampaikan tapi nanti industri kesehatan juga, industri-industri bidang yang lain juga, bagaimana membangun sebuah ekosistem besar sehingga negara lain tergantung pada kita. Karena kita memiliki nikel, memiliki tembaga, memiliki bauksit, memiliki tin (timah), memiliki dan potensi kita ini gede sekali. Mau kita lanjutkan ekspor bahan mentah?
Hati-hati, dulu zaman VOC, zaman kompeni itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi ekspor paksa. Ekspor paksa, kita dipaksa untuk ekspor. Loh, ini barang kita kok. Memang, sudah saya sampaikan kemarin kita kalah. Tapi apa kita langsung pengin oh berhenti saja, ndak. Saya sampaikan kepada menteri, “Banding, urusan nikel.”
Karena ini ceritanya belum rampung kalau kita berhenti. Ekosistem besar yang kita impikan ini enggak akan muncul, seperti chip, komponen digital tadi. Ekosistem besar. Karena sekali lagi, nikel itu kita nomor, reserve kita nomor satu, timah nomor dua, bauksit nomor enam, tembaga nomor tujuh dunia, punya semuanya.
Membangun ekosistem EV battery, itu kita hanya kurang litium. Enggak punya. Saya kemarin sudah sampaikan ke Prime Minister Albanese, “Australia punya litium, kita boleh beli dong dari Australia.” Terbuka, silakan. Tapi, ternyata dari kita sudah ada yang punya tambang di sana. Ini strategis, benar melakukan intervensi seperti itu, sehingga ekosistem besar yang ingin kita bangun jadi.
Grafit juga sama, sintetisnya bisa kita produksi sendiri sekarang. Artinya, ini sudah jadi. Yang paling sulit adalah mengintegrasikan, karena ini ada di tempat-tempat yang berbeda. Ada tembaga di Papua, ada tembaga di Sumbawa, ada nikel di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi yang lain, ada bauksit di Kalimantan Barat dan di Kepri, mengintegrasikan ini sebuah barang yang tidak gampang sehingga jadi sebuah ekosistem itu. Inilah yang terus saya mati-matian ini harus jadi karena inilah yang akan melompatkan kita, meloncati leap frog menuju ke peradaban yang lain. Saya mati-matian untuk ini.
Begitu ini jadi, saya sampaikan kepada Menko Marinves, kepada Menteri investasi, tidak usah kemana-mana me-marketing-i masalah investasi. Mereka yang akan datang ke kita, percaya saya. Mereka yang akan datang ke kita untuk mencari, untuk beli EV battery kita.
Sehingga saya sampaikan, kita ini terbuka. Silakan datang, partneran dengan private sector, partneran dengan BUMN sehingga jangan sampai kita ini ditinggal. Ini kuncinya di situ tadi, di Amerika Latin mereka membuka investor sendirian, bertahun-tahun menikmati teknologi enggak ada transfernya, sehingga tidak ada ketergantungan itu. Inilah yang ingin kita bangun hanya satu ekosistem dulu, belum nanti ekosistem yang berikut-berikutnya. Kalau ini jadi, percaya saya, perkiraan saya 2026-2027 kita sudah kelihatan, lompatan ini akan kelihatan. Akan berbondong-bondong masuk industri karena industri otomotif ke depan, baik itu sepeda motor, baik itu mobil listrik, sepeda motor listrik, mobil listrik itu akan menggantikan mungkin lebih dari 50 persen dari demand, dari pasar yang ada. Inilah yang harus kita tangkap.
Begitu ini jadi, saya kemarin hitung-hitungan. Saya hitung berapa sih, 60 persen mobil listrik, kendaraan listrik, akan tergantung kepada EV battery kita, 60 persen dari pangsa pasar yang ada di dunia. Inilah kekuatan besar kita nanti seperti tadi komponen digital, seperti tadi chip. Silakan Bapak-Ibu yang memiliki kekuatan untuk masuk ke sana, sehingga nanti ada transfer teknologinya, ada transfer of knowledge-nya, dapat kita. Ini kan kita baru saja urusan, jangan sekali lagi urusan kecil-kecil, proyek kecil-kecil. Iya proyeknya gede, tapi buat saya kecil cara berpikir seperti itu. Lapor ke saya, “Pak, sekarang.”
Dulu ekspor nikel mentah USD1,1 billion (miliar), 4-5 tahun yang lalu, sekarang sudah USD20,8 billion (miliar). Ya, itu bagus. Tapi bukan itu tujuan kita, belum. Itu bukan, itu baru step pertama, bukan tujuan utama kita, bukan di situ. Tujuan utama kita adalah membangun sistem, membangun ekosistem besar.
Kalau ini jadi, kita bisa mengintegrasikan ini, bukan hanya urusan mobil listrik, bukan urusan EV saja, bukan urusan sepeda motor listrik saja yang akan tergantung. Nanti yang namanya mobil, ya sasisnya kita sekarang masih beli misalnya. Setelah ini jadi, semuanya dari dalam semuanya. Pesawat, bodi semuanya beli juga dari kita sendiri. Sehingga akan datang itu, perkiraan saya, akan datang itu industri-industri yang berkaitan dengan tadi saya sampaikan industri otomotif, industri pesawat, karena memang bahan-bahannya ada di kita.
Oleh sebab itu, saya juga senang bahwa 30 bulan terakhir ini kita selalu surplus neraca perdagangan kita. Belum pernah dalam sejarah kita ini surplus perdagangan. Neraca perdagangan kita surplus, itu belum pernah. Tapi 30 bulan berturut-turut ini selalu terus surplus terus, surplus terus. Bahkan, angkanya ini untuk Januari dan Oktober sudah berada di angka yang tidak kecil.
Ini yang menyebabkan kita itu di dalam kesulitan ekonomi dunia, global ekonomi yang sulit, kita itu orang kalau enggak lihat secara detail, ini apa toh sebetulnya Indonesia? Angka-angkanya ada semuanya kok, kenapa kita bisa sehat? Karena angka-angkanya ada semuanya, bisa dibaca dari angka-angka. Jadi kalau Bapak-Ibu semuanya ada yang masih pesimis, kebangetan, kebangetan.
Ya kalau nanti ekosistem besar tadi jadi, pindah ke membangun ekosistem besar yang lainnya. Kalau ini jadi, lompatan Ibu Menteri Keuangan nanti dilihat, lompatan mengenai pajak, entah pajak, entah royalti, entah kalau kita ikut di dalam dividen, entah bea ekspor, PNBP, pasti 2026-2027 pasti akan melompat sangat tinggi sekali. Sekarang saja sudah mulai kelihatan, ini baru mulai. Ibu Menteri Keuangan ini senengnya beliau ini urusan pajak, jadi saya sampaikan di sini. Dan, Bapak-Ibu semuanya adalah yang gede-gede, yang memiliki kontribusi terhadap pajak, terhadap income, terhadap pendapatan negara kita.
Jadi kita lihat 2014 di industri logam itu hanya Rp9,8 triliun meloncat sudah Rp37 triliun, ini urusan pajak, penerimaan pajak. Nasional 2014, 985, sekarang sudah di 1.448, naiknya 50 persen. Tapi ini sekali lagi, ini baru mulai. Ini belum, belum akhir sebuah cerita, belum. Baru mulai. Saya sampaikan kalau ekosistem besar nanti jadi, lompatannya akan kelihatan, lompatannya akan kelihatan.
Dan kalau sudah penerimaan pajaknya itu tambah, artinya apa? Anggaran untuk Dana Desa bisa ditambah, artinya apa? Masyarakat desa juga menikmati dari ekosistem yang kita bangun ini, bukan berhenti di situ saja, jangan keliru. Karena Dana Desa yang telah kita gelontorkan selama enam tahun sudah Rp468 triliun, artinya peredaran uang yang ada di desa-desa kita, 74.800 desa yang kita miliki, menjadi semakin berputar, berputar, berputar akan semakin banyak. Dan, itu mau tidak mau akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita yang ada di desa. Inilah saya kira, yang namanya keadilan. Bapak-Ibu semuanya bayar pajak dan pajak itu dialirkan lagi ke desa, dialirkan lagi kepada masyarakat-masyarakat yang rentan lewat bantuan sosial. Dari mana itu? Ya tadi dari pajak, dari PNPB, dari royalti, dari dividen.
Sekali lagi, kita tidak perlu kecil hati, tidak perlu takut urusan kalah digugat EU. Kita kalah kemudian kita mundur, ndak, karena nanti ada babak kedua lagi yang kita ingin lakukan. Karena apa pun yang namanya negara maju, itu juga ingin mempertahankan dirinya tetap menjadi negara maju, itu pasti. Dan juga, mereka itu tidak akan rela juga bahwa negara berkembang ini ada yang maju menjadi negara maju, juga banyak yang enggak rela. Dan, itu ya manusiawi, enggak perlu kita sakit hati, ndak. Tetap kita berusaha agar bagaimana visi kita, agar bisa menjadi negara maju.
Jadi sekali lagi, kita semuanya, saya sudah menerima rekomendasi untuk situasi yang sekarang tidak mudah. Tetapi sekali lagi, kita harus semuanya harus tetap optimis meskipun harus penuh dengan kewaspadaan, penuh dengan kehati-hatian. Saya pun menyampaikan kepada para menteri dalam membuat kebijakan agar super hati-hati, prudent. Jangan sampai sekecil apa pun salah karena keadaannya bukan keadaan yang normal, tapi keadaan yang tidak normal sekarang ini.
Saya rasa itu yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini, terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
[Penayangan Video tentang Ibu Kota Nusantara]
Saya tambah, saya tambahi sedikit mengenai Ibu Kota Nusantara. Sebetulnya di bulan Oktober kemarin saya ingin mengundang 30, 30, 30 yang saya pandang memiliki kekuatan untuk ikut mendukung Ibu Kota Nusantara ini. Tetapi saya kaget, jajak pasar pertama itu sudah over subscribe itu sampai 25 kali. Jadi, otoritas IKN juga kaget. Sehingga yang kawasan inti itu langsung sudah habis, sehingga ini baru menyiapkan lagi yang kawasan berikutnya. Jadi, undangan itu saya batalkan. Kalau ini nanti sudah jadi, baru nanti Bapak-Ibu akan saya undang lagi untuk ikut mendukung. Karena memang Ibu Kota Nusantara ini saya ingin fokus kepada investasi, bukan tergantung kepada APBN.
Dan, perlu juga saya sampaikan, negara sebesar ini jangan kita pesimis dong. Bangun kurang lebih kalau sekarang di dolar hanya USD29 billion (miliar), masa kita grogi? Kira-kira kan kalau dirupiahkan Rp460triliun. Kita kemarin biayai COVID-19 itu sampai Rp1.700 triliun juga enggak kerasa. Ini kadang-kadang kita cara berpikirnya enggak ngerti kadang-kadang, kita itu diajak untuk selalu pesimis. Ndak, saya tarik untuk saya ajak Bapak-Ibu semuanya dan seluruh rakyat untuk optimis, untuk optimis, karena modal kita di situ dan kita memiliki potensi itu.
Terima kasih.