di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semuanya,
Shalom,
Om swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan
Yang saya hormati Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Bapak Airlangga Hartarto;
Yang saya hormati Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani;
Yang saya hormati Presiden Direktur UOB Bapak Hendra Gunawan, beserta seluruh jajaran komisioner dan direksi UOB, serta seluruh manajemen;
Bapak-Ibu tamu undangan yang berbahagia.
Sudah sering berkali-kali saya sampaikan, dunia sekarang ini berada pada ketidakpastian yang tinggi, semua negara berada pada posisi sulit, kesulitan, dan juga ekonomi yang sulit diprediksi, sulit dikalkulasi. Arahnya seperti apa? Pemulihannya akan seperti apa? Satu masalah muncul belum selesai, muncul masalah yang lain, dan efek domino ini semua menyampaikan sulit dihitung.
Saya bertemu di G7; Kanselir Olaf Scholz, Presiden Macron, Perdana Menteri Italia yang lalu Mario Draghi, ketemu Presiden EU [European Union] Ursula, tapi tidak di dalam forum normalnya, di forum formalnya, tapi saat makan malam. Dari situlah, saya bisa menyimpulkan bahwa semuanya sulit. Dilanjutkan dengan bertemu dengan Presiden Korea, Presiden Cina, Perdana Menteri Jepang, ditambah lagi kepastian itu memang sulit.
Lebih sulit lagi saat bertemu dengan Presiden Zelensky dan Presiden Putin, 1,5 jam saya diskusi dengan Presiden Zelensky dan Presiden Putin 2,5 jam. Kesimpulannya sama, perang tidak akan berhenti besok, bulan depan atau tahun depan. Artinya, enggak jelas.
Sehingga yang kita perlukan, negara kita memerlukan sebuah endurance yang panjang. Saya selalu sampaikan kepada Ibu Menteri Keuangan, “Bu, kalau punya uang kita di APBN kita dieman-eman.” Itu bahasa Inggris loh, dieman-eman. Dieman-eman, dijaga, hati-hati mengeluarkannya, harus produktif, harus memunculkan return yang jelas. Karena kita tahu sekali lagi, hampir semua negara tumbuh melemah, terkontraksi ekonominya. Tiap hari yang kita dengar selalu krisis energi, minyak, gas, hampir semua negara. Krisis finansial, pergerakan currency/nilai tukar yang melompat-lompat.
Baru saja sehari-dua hari ini karena APBN di UK [United Kingdom], berimbas kepada semua negara. Kita tahu kalau dilihat angkanya, kita ini masih baik nilai tukar kita, memang melemah -7. Tapi bandingkan dengan negara-negara lain, Jepang berapa minus 25, RRT minus 13, Filipina minus 15, dan lain-lain. Ini yang harus kita syukuri dan kita memang masih perlu kerja keras dalam jangka panjang.
Krisis pangan, kita tahu sekarang ini hati-hati, 345 juta orang di 82 negara menderita kekurangan pangan akut. Bapak-Ibu masih bisa setiap hari ke restoran. Dan 19.700 orang meninggal setiap hari karena kelaparan. Kita semuanya masih alhamdulillah, kita patut bersyukur, pangan kita juga masih cukup memberikan kita makan setiap hari.
Di Agustus yang lalu, kita mendapatkan pengakuan dari International Rice Research Institute (IRRI) bahwa sejak 2019 kita telah swasembada beras dan sistem ketahanan pangan kita dinilai baik. Ini yang terus kita jaga, syukur-syukur kita bisa kelebihan produksi yang banyak. Kenapa kita sekarang ingin membangun food estate-food estate? Supaya ada kelebihan produksi, selain menjaga ketahanan pangan kita, kita juga bisa membantu negara lain dalam hal urusan pangan, kita ekspor.
Yang kedua, negara kita Indonesia, kalau saya melihat pemulihan ekonominya masih relatif, relatif masih kuat. Coba kita lihat satu-satu. Ini tadi saya baru saja pagi tadi mendapatkan laporan, saya tiap pagi itu selalu mendapatkan laporan angka-angka. Sarapan pagi enggak pernah, angka-angka sarapan setiap pagi. Selalu.
Kita lihat realisasi pendapatan negara mencapai 1.764, ini tumbuh 49 persen year on year (yoy). Kemudian, ini yang para pembayar pajak, saya ingin mengucapkan terima kasih karena penerimaan-penerimaan pajak sekarang mencapai Rp1.171 triliun, tumbuh 58 persen, tumbuh 58 persen. Artinya, pembayar pajak masih ada dan justru tumbuh 58 persen. Penerimaan bea dan cukai Rp206 triliun ini tumbuh 30,5 persen. Tumbuhnya sangat melompat.
Kemudian, realisasi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) itu Rp386 triliun, ini tumbuh 38,9 persen. Ini angka-angka yang saya terima, baru tadi pagi. Nanti tolong ditanyakan sama Ibu Menteri Keuangan jelasnya, siapa ini yang bayar pajak. Bea cukai ini, siapa yang bayar? Penerimaan negara bukan pajak itu, siapa yang bayar? Artinya, masyarakat masih konsisten dan memiliki kemampuan dalam hal tadi yang saya sampaikan.
Juga optimisme konsumen, ini masih pada posisi tinggi menurut saya. Karena Indeks Kepercayaan Konsumen berada di angka 124,7 yang bulan Juli hanya 123, artinya di situ ada optimisme. Kemudian juga, ini yang berkaitan dengan perbankan. Kredit tumbuh 10,7 persen, ini juga menurut saya, cukup tinggi. Neraca dagang kita juga surplus 28 bulan berturut-turut. Yang pada bulan kemarin, neraca kita surplus 5,7 miliar dolar AS. Itu gede banget loh angka ini surplusnya. PMI manufaktur, ini kita di angka di atas global 51,7.
Jadi kalau saya disuruh memperkirakan, kalau kuartal kedua kemarin kita bisa tumbuh 5,44 persen, coba dicari negara G20 yang tumbuh di atas 5. Kita ini tertinggi loh di G20. Saya hanya ingin menumbuhkan optimisme, jangan pesimis. Memang yang kita hadapi ini bukan barang gampang, bukan barang yang mudah, tetapi kita tetap harus optimis. Kuartal kedua 5,44 persen, kuartal ketiga perkiraan saya… Enggak tahu nanti. Tanyakan juga Ibu Menteri Keuangan, mungkin bisa berbeda dengan saya. Saya juga punya kalkulator sendiri, Ibu Menteri juga punya kalkulator sendir, Pak Menko Ekonomi juga punya kalkulator sendiri. Perkiraan saya, ekonomi akan tumbuh di kuartal ketiga ini 5,4 sampai 6 persen.
Mestinya, saya ini pegang angka, saya bertanya ke menteri, saya cek di lapangan juga, menurut saya akan tumbuh di atas yang kuartal kedua. Ini kan sudah habis bulan September. Karena saya kemarin baru saja dari Maluku Utara. Dari Maluku Utara, saya cek berapa pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara? 27 persen. Dari mana ini? Saya cek. Kalau sudah seperti itu saya cek di BI, saya cek di Pemerintah Daerah. Bisa angka 27 persen ini dari mana? Saya awal enggak percaya. Setelah saya cek detail, oh benar, dulu ekspornya nikel hanya raw material, hanya mentahan, sekarang sudah ada industri smelter di sana. Inilah kenapa berkali-kali saya sampaikan hilirisasi, hilirisasi, ya karena itu.
Dan yang ketiga, kita ini terus, meskipun dalam keadaan sulit, tadi Pak Hendra sudah menyampaikan, kita tetap konsisten membenahi hal-hal yang fundamental. Infrastruktur, terus, karena di situlah fondasi kita dalam jangka menengah dan panjang bisa kita perbaiki karena ini menyangkut nanti daya saing, competitiveness. Enggak akan bisa kita bersaing dengan negara lain, kalau konektivitas/connectivity tidak kita miliki dengan baik. Jalan, airport, pelabuhan, pembangkit listrik itu kunci, kunci dasar kalau kita ingin bersaing dengan negara lain. Kalau itu kita tidak memiliki, kalau stok infrastruktur kita rendah, mana bisa kita bersaing dengan negara-negara lain.
Pertama, infrastruktur. Yang kedua, tadi sudah saya sampaikan, hilirisasi. Jangan sampai kita berpuluh-puluh tahun hanya menjual bahan mentah saja, komoditas mentah saja. Ini stop, tapi satu-satu, enggak barengan dan terus kita paksa. Nikel dulu kita stop, rame. Orang datang ke saya, saya ini kan bisa ketemu dengan siapa saja, saya terbuka. Semua orang menyampaikan, “Pak, hati-hati, Pak. Ini nanti ekspor kita bisa anjlok karena Bapak menghentikan nikel.”
Nikel setiap tahun pada saat ekspor kita mentah, kira-kira empat tahun yang lalu dan sebelumnya hanya 1,1 miliar dolar AS, artinya ekspor kita setahun hanya Rp15 triliun. Begitu kita hentikan, coba cek tahun 2021, 20,9 miliar dolar AS. Meloncat dari 1,1 [miliar dolar AS] ke 20,9 [miliar dolar AS]. Dari kira-kira Rp15 triliun melompat ke Rp360 triliun. Baru nikel, nanti kita stop lagi timah, kta stop lagi tembaga, kita stop lagi bahan-bahan mentah yang kita ekspor mentahan.
Saya kemarin juga cek di Buton. Kenapa sih kita ini masih impor aspal? Data yang saya terima kira-kira 5 juta ton per tahun. Kita punya aspal kok. Saja cek ke lapangan, ternyata enggak ada industrinya di situ, baru satu yang produksinya hanya 100 ribu ton per tahun. Kita impor malahan, punya raw material, malah impor. Ini apa-apaan ini? Kesalahan-kesalahan seperti ini harus dihentikan. Industrialisasi, hilirisasi itu peluang.
Kalau Bapak-Ibu mendengar seperti ini, “Oh, peluang. Wah, investasi industri aspal.” Itu baru kita baru berbicara kebutuhan dalam negeri lho, kalau ekspor tambah ekspor, gede banget. Deposit aspal kita itu ada 662 juta ton yang dibiarkan, malah kita impor. Kesalahn-kelasahan seperti ini harus berhenti.
Kemudian hal yang fundamental yang lainnya, ketahanan pangan, ketahanan energi ini terus harus diperbaiki. Kita telah memiliki, misalnya ketahanan energi B30, nanti tingkatkan menjadi B40 sehingga kita betul-betul kuat dalam hal ketahanan energi. Ketahanan pangan juga tadi sudah saya sampaikan.
Yang keempat, sekarang ini semua negara sedang berkonsentrasi memusatkan dirinya pada yang namanya inflasi. Ini menjadi momok seluruh negara sekarang ini. Takut semuanya dengan barang yang namanya inflasi, kenaikan barang dan jasa ini menjadi ketakutan yang luar biasa. Angka-angkanya coba kita lihat, inflasi kita kemarin masih di angka 4,6 persen saya lihat, yang lain-lain coba dibandingkan. Kenapa bisa kita jaga seperti ini? Karena menurut saya antara otoritas pemegang fiskal, APBN, yaitu Ibu Menteri Keuangan dengan bank sentral yaitu BI, itu berjalannya beriringan, rukun, sinkron.
Coba bandingkan dengan negara yang lain, otoritas moneter dan otoritas fiskal. Bank sentralnya naikin bunga, menteri keuangannya menaikkan defisit. Menaikkan defisit itu artinya apa? Kan menggrojogan uang lebih banyak ke pasar, artinya ya menaikkan inflasi. Yang satu mengerem inflasi, yang satu menggrojogan inflasi. Yang di sini yang beda.
Di situ tadi saya bilang, karena BI dan Kementerian Keuangan berjalan beriringan, rukun, sinkron, konsolidatif. APBN-nya konsolidatif, APBN-nya menyehatkan, berani memutuskan. Banyak yang menyarankan, “Pak Presiden, kita harus untuk menumbuhkan ekonomi, kita minta ke DPR agar fiskal kita bisa diberikan kelonggaran lebih dari 3 persen lagi seperti krisis.”
Saya diskusikan ke Ibu Menteri Keuangan, beliau menyampaikan alasan banyak. Ya, kita putuskan tetap di bawah 3 persen saja, yang penting APBN kita harus sehat. Ini kunci. Dan bank sentral saya melihat hati-hati, prudent menyesuaikan situasi, tetapi juga konsisten juga kepada pelaku-pelaku industri. Yang paling penting adalah bisa menjaga stabilitas.
Terakhir, saya selalu saya sampaikan kepada Ibu Menteri, “Bu Menteri, kita ini memiliki amunisi. Saya minta betul-betul dijaga hati-hati, bijaksana betul dalam menggunakan setiap rupiah yang kita miliki, tidak jor-joran, dan betul-betul harus dijaga.”
Tidak boleh kita hanya berpikir uang itu untuk hari ini atau tahun ini. Tahun depan seperti apa? Karena semua pengamat internasional menyampaikan bahwa tahun depan itu akan lebih gelap. Tapi kalau kita punya persiapan amunisi. ini akan berbeda, sehingga betul-betul APBN kita APBN yang berkelanjutan.
Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini. Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.