Sambutan Presiden RI - Pembukaan KP3MN Tahun 2016, Jakarta, 22 Februari 2016

 
bagikan berita ke :

Senin, 22 Februari 2016
Di baca 859 kali

SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEMBUKAAN KONSOLIDASI PERENCANAAN DAN

PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL NASIONAL (KP3MN) TAHUN 2016,

PELUNCURAN KEMUDAHAN INVESTASI LANGSUNG KONSTRUKSI,

SERTA PENINGKATAN LAYANAN IZIN INVESTASI TIGA JAM

UNTUK BIDANG INFRASTRUKTUR

ISTANA NEGARA, JAKARTA

22 FEBRUARI 2016

 

 

 

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,

Selamat siang,

Salam sejahtera bagi kita semua,

 

Bapak-Ibu dan Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

 

Tadi sudah ditandatangani. Semuanya sudah tanda tangan, dari Menteri sudah, Jaksa Agung sudah, Kapolri sudah, Gubernur sudah, Bupati/Walikota sudah, Kapolda sudah.

 

Apa yang kurang? Saya hanya ingin melihat pelaksanaannya. Pelaksanaan, ini yang sering kita kedodoran di situ. Kalau tanda tangan seperti tadi, banyak. Tapi, kalau sudah implementasi, sudah pelaksanaan, sekali lagi ini yang harus terus kita dorong.

 

Kenapa saya cek sampai urusan yang kecil-kecil, saya kontrol untuk hal-hal yang kecil-kecil? Karena saya ingin memastikan bahwa yang ditandatangani itu berjalan, tidak hanya tekan-teken, tekan-teken. Ndak, ndak mau saya.

 

Sekali lagi, kita sudah masuk pada era kompetisi, sudah masuk pada era persaingan, sudah masuk sejak Januari yang lalu. Sudah tidak bisa kita main-main lagi. Eranya sudah era persaingan antarnegara.

 

Saya sering sampaikan, kalau dalam KTT ASEAN ya kan, kita kan dengan kepala negara/kepala pemerintahan bergandengan seperti ini, kerja sama. Itu gambaran orang. Tapi saya memandang bahwa apa pun mereka adalah kompetitor kita, pesaing kita. Itu harus dipahami. Kalau mereka bisa cepat, kita harus lebih cepat lagi. Kalau tidak, ditinggal.

 

Kuncinya ada di Bapak-Ibu dan Saudara-saudara semuanya, terutama yang berada di daerah. BKPMD, pelayanan-pelayanan di situ harus mulai dirombak total. Kalau dulu di BKPM mengurus satu izin bisa enam bulan, bisa tiga bulan, bisa ada yang setahun, kenapa sekarang dalam tiga jam dapat delapan izin, dan itu ternyata kita bisa? Hanya masalah niat, hanya masalah kemauan. Enggak ada yang lain.

 

Saya minta di seluruh daerah juga sama, BKPMD. Jangan sampai ada yang orang sudah masuk, kemudian meninggalkan gara-gara masalah izin. Itu memalukan. Ndak boleh seperti itu.

 

Sekali lagi, ini masalah persaingan. Kita sudah masuk ke Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kita ini dalam proses hitung-hitungan, kalkulasi, masuk ndak ke TPP (Trans Pacific Partnership), bloknya Amerika. Masih hitung-hitungan lagi juga dengan free trade agreement-nya Uni Eropa (EU). Kita masuk ke sana atau tidak, masih dalam hitung-hitungan. Masuk ndak kita dalam RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), masuk ndak kita ke sana.

 

Hitung-hitungan karena apa? Kita ini sebetulnya siap atau tidak, kita sebetulnya punya keuntungan atau tidak kalau masuk. Semuanya harus kita hitung detail.

 

Tetapi, Bapak-Ibu sekalian, Saudara-saudara sekalian—perlu saya sampaikan—mau tidak mau kita harus masuk. Hanya kapannya itu yang segera, besok, atau bulan depan, atau tahun depan, hanya menentukan itu saja.

 

Enggak bisa. Begitu kita enggak masuk pada blok-blok perdagangan itu, produksi dari sini diberi pajak 15%, dikenain pajak 20%. Mau apa kita? Mau apa? Pasti kalah bersaing dengan negara lain.

 

Ini era keterbukaan. Kalau saya memandang, ini bukan liberalisasi, bukan. Ini keterbukaan yang sudah enggak bisa kita cegah lagi. Apa mau kita bilang, “Tidak mau Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ndak, ndak, ndak, saya ndak mau. Indonesia ndak mau. Silakan.” Ndak bisa lagi.

 

Percaya. Kalau kita enggak mau mengubah, ya sudah tergilas oleh zaman yang memang sudah begitu sangat cepatnya sekarang ini. Semuanya berlomba-lomba menarik investasi. Semuanya berlomba-lomba menarik arus modal masuk. Semuanya berlomba-lomba menarik arus uang masuk ke sebuah negara karena dengan itulah, semakin banyak uang beredar, semakin banyak investasi masuk, itulah yang akan memberikan peluang-peluang, lapangan pekerjaan, kesejahteraan, dan yang lain-lainnya.

 

Kita sekarang ini hanya fokus pada dua hal: satu, infrastruktur. Itu basic yang tidak bisa tidak harus dibangun. Entah yang namanya jalan tol, entah yang jalur kereta api, entah yang namanya pelabuhan, entah yang namanya pembangkit listrik. Sudah, sehingga saya kejar-kejar terus karena memang ini adalah, sekali lagi, fondasinya, basic-nya ada di situ. Percuma kita memberikan izin cepat, tiga jam, tapi jalan menuju lokasi enggak ada. Mau apa? Percuma kita beri izin tiga jam kalau pelabuhan di sebuah provinsi enggak ada, atau ada tapi tidak siap untuk kapal-kapal dengan besaran tertentu.

 

Sekali lagi, kita kejar-kejaran. Dan saya melihat masa transisi 2015-2030 ini adalah masa, masa, masa, masa kritis, masa kritis dalam 15 tahun ke depan. Begitu kita tidak memenangkan pertarungan, saya enggak tahu. Tapi begitu kita memenangkan pertarungan, kita bisa tinggal landas.

 

Ada di sini kuncinya. Dan itu kuncinya ada di Bapak-Ibu semuanya, Saudara-saudara semuanya, bukan di siapa-siapa.

 

Sampai ngurus yang namanya—ada yang dari Lampung? Enggak ada—jalan tol saja, jalan tol saja, saya ke sana sudah lima kali. Presiden apa itu? Yang normal itu, groundbreaking, sudah, ya kan? Ditunggu kapan selesainya. Kalau saya, tidak, ndak. Saya ingin itu dipercepat. Saya akan cek, saya akan cek, saya akan cek lagi, saya akan cek lagi, terus.

 

Enggak ada jalan yang lain ya karena kita memang sudah dikejar waktu. Enggak ada waktu lagi.

 

Apa pun, dwelling time juga sama. Presiden ngurus-ngurus pelabuhan karena di situ kunci. Ada Rp 740 triliun kita hilang gara-gara ketidakefisienan perkara itu. Saya datangi, pasti ada persoalan besarnya. Sebelumnya berapa? Enam-koma hari. Sekarang sudah berapa, Pak Menko? Bulan Januari yang lalu, sudah 4,7. Sekarang—Pak Menko sampaikan—sudah di bawah tiga hari, dan itu kita sudah mirip-mirip Singapura dan Malaysia.

 

Kalau kita tidak kejar itu, ya sudah ditinggal karena cost mahal, biaya mahal, logistic cost mahal, transportation cost mahal. Mau apa kita? Bagaimana produk kita bisa bersaing? Enggak bisa.

 

Ya sudah, Presiden sampai ngurus-ngurus ke pelabuhan. Enggak ada, di dunia enggak ada. Tapi ya sudah, saya akan urus sebelum betul-betul dwelling time itu betul-betul pada posisi di mana kita bisa bersaing.

 

Dan saya senang sekarang, Pak Menko, Menteri, semuanya kejar-kejaran untuk melakukan terobosan-terobosan itu.

 

Enggak ada cara lain. Enggak ada jalan yang lain kecuali itu kalau kita mau memenangkan persaingan.

 

Saya titip, investasi di daerah, kalau ada masalah—jelas tadi tanda tangan, kapolda sudah tanda tangan—ada masalah, hal yang berkaitan dengan misalnya keamanan, pembebasan lahan yang memerlukan hadirnya kepolisian, ya harus hadir agar cepat prosesnya.

 

Sekali lagi, kita sudah masuk ke era persaingan. Prosedur-prosedur yang menghambat, sudah. Di pusat sudah, daerah saya kira juga harus sama seperti itu. Izin-izin yang masih lama-lama, sudahlah. Ada beberapa saya lihat daerah yang juga sudah cepat, tapi banyak yang masih belum, banyak yang masih belum. Masih pola-pola lama, yang dipakai.

 

Saya mau cek satu per satu. Akan saya kontrol satu per satu. Mana yang masih lama, mana yang menghambat, mana yang tukang palak, mana yang tukang hambat, akan saya cari semuanya.

 

Sudah enggak ada waktu, enggak ada waktu. Kalau ada tukang palak, laporkan kapolda. Enggak ada jalan yang lain.

 

Kemudian juga, target indikator kemudahan berusaha (ease of doing business). Peringkat  kita tahun lalu masih 109. Sebelumnya 120. Tahun kemarin 109. Malaysia sudah ranking 18, kita masih 109. Malu ndak? Kalau saya, malu banget. Thailand 49, ranking 49. Kita masih, saya ulang, 109, supaya ingat semuanya. Saya ulang lagi, 109. Malu ndak? Malu.

 

Oleh sebab itu, saya berikan target ke seluruh kementerian dan Kepala BKPM. Saya ingin 40 angkanya, meloncat. Kalau naiknya hanya dari 120 menjadi 109, hanya 10, 10, berapa puluh tahun kita akan capai? Ayo coba bayangkan. Mau kita capai berapa puluh tahun? Sudah, yang lain sudah tinggal landas. Ndak. Saya mau 40 tahun ini.

 

Caranya ya bagi kerja: daerah apa, pusat apa, kementerian ini apa. Sudah, sudah.

 

Akan saya cek satu per satu, mana yang masih lelet, mana yang belum bergerak. Gampang kalau saya. Kalau menterinya lelet, ya ganti. Sayangnya, sayangnya, sayangnya saya enggak bisa ganti gubernur, enggak bisa ganti bupati, enggak bisa ganti wali kota.

 

Enggak ada yang lain sudah. Kalau kita tidak masuk ke pertarungan itu dan memenangkannya, sudah, kasihan rakyat. Yang menderita nanti rakyat.

 

Malaysia ranking 18, Singapura ranking ke-1.

 

Dulu banyak orang yang tidak membayangkan bahwa tiga jam bisa diberikan izin dari BKPM, tapi ternyata kita ini bisa—saya ke BKPM dua kali—bisa.

 

Tapi saya cek, saya cek terus lewat pengusaha, “Benar enggak sih masih ada hambatan? Di mana sih?” Jangan dipikir saya enggak ke sana, saya enggak ngecek. Saya cek. Saya pastikan. Nanti setelah rampung di Jakarta, saya akan masuk ke daerah-daerah, mana yang menghambat, daerah mana yang masih tidak cepat.

 

Tadi informasi dari BKPM jelas: bahwa investasi di luar Jawa naik lebih dari dua kali, lebih dari dua kali naiknya. Ini kesempatan.

 

Tapi peluang ini nanti, kalau enggak betul-betul dimanfaatkan, kita manfaatkan, lepas. Sulit sekali membangun lagi image, membangun lagi persepsi bahwa kita adalah negara yang ramah investasi, daerah yang ramah investasi.

 

Izin-izin yang lain juga berada di BKPMD, benar? Izin prinsip ada yang di pusat, ada yang di BKPMD sehingga kecepatan daerah itu juga sangat menentukan. Banyak izin-izin itu berada di daerah. Saya tahu ada beberapa daerah yang sangat reformis sekali, tapi lebih banyak daerah yang masih belum bergerak.

 

Fungsi-fungsi deregulasi sekarang ini sangat diperlukan. Yang pertama tadi saya sampaikan, infrastruktur—ini basic—yang kedua, deregulasi. Tidak hanya di pusat, tapi di daerah juga lakukan itu.

 

Jangan membuat peraturan, menambahi peraturan. Justru mengurangi peraturan-peraturan sehingga kita lincah, sehingga kita cepat mengantisipasi perubahan global. Saya sudah perintahkan ke Menko Perekonomian. Ada berapa? 42 ribu, 42 ribu aturan, regulasi kita yang menghambat kita sendiri. Ada perda, 3 ribu perda yang sudah masuk di Kementerian Dalam Negeri, yang juga entah perda pungutan dan perda-perda yang lainnya.

 

Sudahlah, enggak usah pakai kaji-mengkaji. Hapus. Ya bagaimana kalau kita setiap hari mengkaji, mengkaji. Kalau mengaji, baik. Kalau mengkaji, mengkaji, paling sebulan dapat sepuluh. Berapa puluh tahun kita akan selesai? Jangan membuat banyak aturan yang menyulitkan diri kita sendiri.

 

Sudahlah, saya mau target. Ini sebentar lagi, nanti mau rapat. Saya mau beri target. Nanti April, harus berapa ribu perda hilang, berapa peraturan tadi, regulasi hilang sudah.

 

Enggak bisa tidak. Sekali lagi, perubahan itu sudah di depan mata. Kompetisi itu sudah di depan mata kita. Persaingan sudah di depan mata kita. Sekali lagi, antarnegara.

 

Inilah kondisi-kondisi yang kita hadapi, dan saya harapkan Bapak-Ibu dan Saudara-saudara semuanya betul-betul memahami betapa pentingnya hal-hal tadi yang saya sampaikan. Kesadaran kita bersama untuk memperbaiki, membenahi itu ditunggu oleh rakyat. Jangan sampai ada keluhan lagi, izin sampai empat tahun, sampai enam tahun.

 

Nyatanya ada, saya ngomong. Mengurus izin pembangkit listrik sampai empat tahun, enam tahun. Siapa mau bikin listrik kalau izinnya saja sampai empat tahun, enam tahun. Orangnya datang sendiri ke saya, ngomong, “Ini, Pak, sudah empat tahun”, “Presiden, ini sudah enam tahun.” Siapa yang mau?

 

Kalau saya ke daerah, ke provinsi, ke kabupaten, ke kota, keluhannya listrik, listrik mati, listrik mati, byar-pet. Ya jelas. Urus izin saja masih lama. Itu belum bangunnya.

 

Bangun itu paling tidak tiga tahun, empat tahun, lima tahun. Kalau gas, cepat. Kalau batu bara, agak lama. Geotermal agak cepat.

 

Kalau listrik mati semua, gimana? Ngurus izinnya saja empat sampai tahun seperti itu. Siapa yang kuat? Kalau saya, enggak kuat ngurus izin, “Ah sudahlah, enggak usah bikin-bikin pembangkit listrik kalau ngurus izin seperti itu.”

 

Dan saya selalu akan mendengarkan ini, mana keluhan, mana komplain dari dunia usaha, dari KADIN, dari HIPMI. Semuanya saya dengar. Dari APINDO atau dari asosiasi-asosiasi yang lain, saya dengar terus karena dari situ kita bisa membenahi.

 

Saya kira itu sedikit yang bisa saya sampaikan pada siang hari ini. Akhir kata, dengan ini resmi saya membuka Konsolidasi Perencanaan dan Pelaksanaan Penanaman Modal Nasional (KP3MN) Tahun 2016, dan sekaligus meluncurkan Kemudahan Investasi Langsung Konstruksi serta Peningkatan Layanan Izin Investasi 3 Jam untuk Bidang Infrastruktur. Terima kasih.

 

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

*****

Biro Pers, Media dan Informasi

Sekretariat Presiden