Sambutan Presiden RI - Peresmian Bandara Internasional Juwata, Tarakan, 23 Maret 2016

 
bagikan berita ke :

Rabu, 23 Maret 2016
Di baca 868 kali

SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERESMIAN BANDARA INTERNASIONAL JUWATA

TARAKAN, KALIMANTAN UTARA

23 MARET 2016

 

 

 

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,

Selamat sore,

Salam sejahtera bagi kita semuanya,

 

Yang saya hormati Pimpinan MPR RI dan Anggota Pimpinan Komisi DPR RI,

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja,

Gubernur Kalimantan Utara beserta Wali Kota dan Bupati yang hadir,

Seluruh jajaran TNI/Polri,

Bapak-Ibu Tokoh Masyarakat,

Hadirin yang berbahagia,

 

Tadi sudah diterangkan banyak oleh Bapak Gubernur dan oleh Bapak Menteri mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bandara, konektivitas, dan yang lain-lainnya. Saya hanya ingin bercerita sedikit mengenai problem negara, mengenai kompetisi antarnegara di dalam ekonomi global sekarang ini.

 

Tahun yang lalu, saya bertemu—ini untuk inspirasi—saya bertemu dengan pimpinan negara dan pemerintahan di Uni Emirat Arab. Kita tahu bahwa Dubai maupun Abu Dhabi itu meloncatnya sangat pesat sekali, meloncat pesat sekali, dari yang dulunya hanya padang pasir kemudian meloncat kota itu menjadi melebihi kota-kota besar di dunia.

 

Saya tanya kepada syekhnya, “Syekh, ceritanya seperti apa?” Beliau bercerita, “Tahun ‘70-an, kami dari Dubai ke Abu Dhabi itu masih naik unta, tahun ‘70-an. Tahun ‘75-an, kami dari Dubai ke Abu Dhabi itu masih naik truk.” Ingat, kita tahun ‘60 sudah naik Holden dan naik Impala, benar ndak? Kita ini sudah maju pada saat itu. Mereka tahun ‘70 masih naik onta, tahun ‘75-an masih naik truk.

 

Kenapa mereka bisa meloncat seperti itu, meloncat betul-betul meloncat? Pendapatan per kapitanya sangat tinggi. Kemudian kotanya mungkin melebihi Manhattan, New York, dan lain-lain karena memang sangat modern. Apa jawabannya? Keterbukaan dan kompetisi, menyederhanakan regulasi, dan infrastruktur. Jawabannya itu.

 

Syekh menyampaikan, “Tahun ‘70-an, rakyat saya dulu makan saja sulit. Tetapi, karena memang kami terbuka, pimpinan negara dan pemerintahan kami menyampaikan, ‘Kita harus berkompetisi,’ sehingga datang orang luar masuk ke sini.”

 

Pertanyaan saya ke beliau, ke syekhnya, “Apakah tidak takut bersaing?” Tidak, ternyata tidak. Jawabnya, “Tidak.”

 

Orang luar datang, mereka memengaruhi masyarakat Uni Emirat Arab sehingga orang-orang di Uni Emirat Arab bersekolah ke perguruan tinggi, ke yang lebih tinggi lagi.

 

Akhirnya apa yang kita lihat sekarang karena keterbukaan itu? Penduduk yang asli Uni Emirat Arab dan yang dari luar itu sejajar, tetapi sejajar sejahteranya. Gajinya juga sejajar, mirip-mirip. Naiknya, kalau dulu naik unta, naik truk, sekarang mereka menyampaikan, “Sekarang di sini rata-rata naik Mercy, naik BMW.”

 

Ini hanya untuk sebuah penglihatan fisik kita saja. Sangat cepat sekali. Dulunya untuk menjadi manajer saja, orang kita sulit. Sekarang juga sama-sama. Yang luar manajer, kita juga bisa menjadi manajer. Inilah artinya menyikapi kompetisi itu dengan sebuah keterbukaan, menyikapi kompetisi dengan memperbaiki diri sendiri, bukan ketakutan dan bukan dengan kekhawatiran.

 

Saya hanya titip ke Pak Gubernur sebagai provinsi yang baru: berani terbuka, berani berkompetisi. Tetapi ingat di sisi pemerintahan, deregulasi itu harus dilakukan.

 

Saya cerita sedikit ini mengenai negara kita. Terlalu banyak aturan dan terlalu banyak regulasi. Ada 42.000 aturan, dan sekarang ini ada di Kementerian Dalam Negeri 3.000 perda yang ada masalah. Dan saya sudah perintahkan kepada menteri, “Sudah, hapuskan semua 3.000 itu. Tidak usah pakai kaji-kajian.” Agar apa? Agar sederhana.

 

Negara kita ini negara besar, bangsa besar sehingga perlu kelincahan dalam memutuskan, perlu kelincahan dalam bertindak. Jangan sampai perubahan global yang tiap detik berubah, tiap menit berubah, tiap hari berubah, tiap bulan berubah-ubah, kita tidak bisa mengantisipasi cepat. Karena apa? Terlalu banyak aturan yang menjerat kita sendiri, 42.000. Bayangkan. Saya sudah perintahkan untuk segera itu diputus, dipotong separuh.

 

Tadi sudah disinggung oleh Pak Gubernur, juga masalah yang berkaitan dengan izin-izin. Jangan terlalu banyak yang namanya izin-izin. Tapi yang penting, controlling-nya ada. Pemerintah itu mengontrol bahwa izin yang diberikan itu dilaksanakan di lapangan.

 

Jangan, kalau sudah punya kertas, sekarang ini izin apa? Coba kita cek. IMB saya punya, megang IMB 1.000 m2. Saya membangun 2.000, didiamkan saja. “Saya sudah punya izin kok.” Kan gitu, formalitas. Ini yang tidak boleh.

 

Beberapa izin kemarin mulai kita lihat dan segera akan diputuskan, misalnya SIUP dan TDP. Bedanya apa sih? SIUP itu apa? Surat Izin Usaha Perdagangan. TDP: Tanda Daftar Perusahaan. Bedanya apa sih itu? Hanya beda nama dikit-dikit saja.

 

Tapi ternyata di undang-undang-nya ada. Aduh, kalau itu sudah amanat undang-undang, ya sudah. Berarti undang-undang-nya direvisi atau diubah. Kalau tidak—saya sampaikan kemarin—sudah digabung sajalah antara SIUP dan TDP itu. Jadikan satu lembar saja. Tidak usah kita ngurus SIUP, besok lagi ngurus TDP. Aduh, ini menjadi ribet kalau orang mau berusaha.

 

Yang kedua—tadi sudah disinggung juga—HO, izin HO, atau izin gangguan dan amdal. Kenapa harus ada amdal, harus ada HO? HO itu kan bahasa Belanda itu, benar ndak? Ada yang tahu HO itu apa? Bahasa Belanda itu. Kok masih kita pakai sampai sekarang?

 

Sudahlah, ini salah satu harus hilang. Izin gangguan dan amdal itu sudahlah disamain gitu saja sudah. Ribet-ribet amat kita ini. Ada izin ini, izin ini, izin ini, izin ini merepotkan, sangat merepotkan.

 

Semakin simpel, semakin baik. Semakin sederhana, semakin baik. Semakin cepat izin itu dikeluarkan, akan semakin baik memperbaiki ekonomi rakyat, memperbaiki ekonomi dunia usaha. Ini yang diperlukan. Kecepatan seperti itu yang diperlukan negara kalau ingin kita memenangkan kompetisi, memenangkan persaingan.

 

Ini saya titip, Pak Gub. Dan mungkin di sini ada kepala-kepala dinas. Mungkin di sini juga ada Ketua DPRD dan Anggota DPRD. Tidak usahlah banyak, terlalu banyak perda-perda. Perda itu sedikit saja. Satu atau dua setahun enggak apa-apa tapi kualitasnya yang baik, memberikan dorongan ekonomi, memberikan dorongan kesejahteraan kepada masyarakat. Yang banyak itu perda kan, perda retribusi, perda izin apa. Aduh, merepotkan kita itu.

 

Buat masyarakat itu tergerak untuk berusaha, tergerak untuk mengeluarkan modalnya, membuat investasi, dan lain-lain. Jangan membuat perda-perda yang justru menghambat. Ini mumpung masih provinsi baru. Kalau kebanyakan aturan, kebanyakan perda, pelaksananya yang pusing. Ini coba dinas-dinas ini.

 

Sekarang ini banyak kepala dinas, banyak menteri, banyak dirjen, banyak direktur-direktur di kementerian yang terjerat urusan korupsi. Mungkin separuh. Itu karena masalah aturan yang tumpang tindih dan terlalu banyak. Bener ndak? Saya dari bawah. Saya ngikuti. Jadi tahu aja.

 

Semakin banyak aturan, pelaksana di eksekutif semakin pusing. Iya kalau tidak ada perubahan-perubahan global. Coba, tahun kemarin kita ada krisis Yunani. Kita antisipasi. Belum rampung, sudah muncul depresiasi yuan. Ini belum diantisipasi, sudah muncul lagi kenaikan suku bunga The Fed.

 

Krisis-krisis seperti itu yang harus bisa diputuskan dalam waktu yang cepat. Ya, kalau aturannya tidak memperbolehkan memutuskan, kita harus revisi undang-undang. Coba, berapa bulan? Inilah yang saya maksudkan dengan deregulasi, menyederhanakan, mempercepat.

 

Kemudian yang terakhir mengenai infrastruktur. Kenapa itu harus dibangun, baik yang namanya pelabuhan, baik yang namanya airport, baik yang namanya jalan tol, baik yang namanya jalur kereta api, baik yang namanya tol laut? Kenapa itu harus dibangun?

 

Pertama, kita ingin mempersatukan provinsi yang paling barat sampai provinsi yang paling timur, kabupaten yang paling barat sampai kabupaten dan kota paling timur. Konektivitas ini akan mempersatukan rakyat, mempersatukan masyarakat.

 

Orang Aceh mau terbang ke Raja Ampat bisa. Orang Lhokseumawe mau terbang langsung ke Wamena bisa. Dari Tarakan langsung terbang ke Aceh juga bisa. Dari Tarakan mau terbang ke Wamena juga bisa. Ini mempersatukan kita, yang pertama.

 

Yang kedua—agar Bapak-Ibu dan Saudara tahu—biaya logistik kita itu mahal sekali. Biaya transportasi kita, Indonesia, itu mahal sekali, 2 sampai 2,5 kali lipat kalau dibandingkan dengan negara tetangga kita, Malaysia maupun Singapura. Sehingga apa? Harga-harga produk kita, harga-harga barang kita menjadi mahal semuanya.

 

Oleh sebab itu, kita harus mempercepat pembangunan infrastruktur, mengejar ketertinggalan kita di bidang infrastruktur. Ini basic sekali, ini fondasi. Kalau ini tidak dipercepat, ya kita akan ditinggal oleh kompetisi itu. Kalau ini tidak dikerjakan siang-malam, ya kita akan ditinggal oleh persaingan itu.

 

Saya sudah perintahkan kepada Menteri PU—ini yang banyak berhubungan dengan infrastruktur—Menteri Perhubungan, “Kejar sudah. Kerja jangan 1 shift, tapi kerja 3 shift.”

 

Tadi di bandara di Pontianak, saya cek tadi juga ada pembangunan terminal baru. Saya tanya—yang mengerjakan Hutama Karya—“Berapa jam kerja?” “Dua shift, Pak.” “Tidak boleh dua shift, tapi tiga shift.” Saya bilang, “Tiga shift biar kita cepat. Nanti pindah ke tempat lain, pindah ke tempat lain.”

 

Saya cek mendadak di Tol Sumatera juga. Saya cek. Saya senangnya kan cek langsung, cek langsung. Coba bayangkan. Saya cek jalan tol di Sumatera itu.

 

Biasanya kalau kita kan yang namanya Presiden sudah groundbreaking, setelah itu sudah, iya kan? Saya sudah ke sana itu berapa kali, Pak Menteri PU? Saya sampai enggak ingat. Saya tanya dulu supaya enggak keliru. Enam kali saya cek.

 

Memang setiap proyek yang besar-besar pasti akan saya cek, akan saya cek, akan saya cek, akan saya cek lagi, akan cek lagi, cek lagi agar cepat. Ini memberikan semangat. Kualitasnya baik, kecepatan selesainya juga bisa cepat karena, kalau saya cek enam kali, menterinya pasti 12 kali. Kalau menterinya 12 kali, dirjennya pasti 24 kali. Pasti itu. Mesti seperti itu.

 

Juga controlling-nya akan bagus. Kualitasnya akan baik. Yang bekerja juga merasa diawasi, merasa dikejar untuk cepat selesai.  

 

Kita sudah tertinggal. Kalau tidak dikejar seperti itu, berat karena itu kunci, sehingga anggarannya juga dilipatkan. Di PU dan Perhubungan, itu mungkin anggarannya sudah naik  berapa? 76 persen, 76 persen naik.

 

Tapi ini, sekali lagi, ini kepentingan kita dalam jangka menengah dan jangka panjang. Dan salah satunya sekarang di Bandara Juwata di Tarakan ini. Ini akan menjadi bandara yang menghubungkan, meng-connect-kan antarprovinsi-provinsi, kota dengan kota, dan—tadi sudah disampaikan oleh Menteri Perhubungan—akan menjadi bandara di sebelah utara yang nanti menghubungkan dengan mungkin Filipina, dengan Brunei, dengan Malaysia, dan yang lain-lainnya karena memang memungkinkan.

 

Tadi sudah mau ditambah lagi runway-nya menjadi 2.500, diperpanjang lagi. Mungkin tahun ini, Pak Menteri? Tahun ini, tahun ini. Jadi tidak usah menunggu tahun depan, tapi tahun ini.

 

Kemudian tadi, Pak Gubernur, tadi kan banyak sekali permintaan tapi sudah dicatat oleh Mensesneg, Pak Menteri. Banyak sekali. Alasannya: anak bungsu. Bukan hanya anak bungsu, anak sulung mintanya juga banyak yang lain.

 

Tapi memang di Kalimantan Utara ini memang sangat perlu. Saya tadi setuju mengenai kekurangan untuk pegawainya ya. Mungkin anggaran untuk kantor-kantornya ya. Sudah, nanti biar dicatat Pak Mensesneg, dan nanti bisa dikerjakan oleh PU maupun oleh kementerian yang lain.

 

Tetapi sekali lagi, ini adalah provinsi baru. Tolong perencanaan, masterplan kota, provinsi itu betul-betul disiapkan betul sehingga memulai dengan perencanaan yang baik. Itu akan memudahkan kita dalam bekerja. Mumpung belum telanjur tata kotanya, rencana tata ruangnya.

 

Sudah telanjur didahului oleh masyarakat, kita baru perencanaan. Jadi ya sudah kesulitan. Dan itu terjadi di Jakarta. Yang terpaksa sudah di situ 50 tahun, 40 tahun harus dipindahkan ke tempat yang lain. Itu biayanya lipat-lipat-lipat-lipat. Sebelum telanjur, saya kira akan lebih baiknya kalau perencanaan itu betul-betul disiapkan dengan baik.

 

Demikian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan mengucap ‘Bismillahirrahmanirrahim’, saya nyatakan terminal penumpang baru Bandar Udara Juwata, Tarakan resmi dioperasikan. Terima kasih.

 

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

*****

Biro Pers, Media dan Informasi

Sekretariat Presiden