SAMBUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA
PERINGATAN HARI LINGKUNGAN HIDUP
PADA TANGGAL 8 JUNI 2010
DI ISTANA NEGARA, JAKARTA
Â
Â
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Â
Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Â
Salam sejahtera untuk kita semua,
Â
Yang saya hormati Saudara Ketua Mahkamah Agung, para mantan Menteri dan para Menteri serta anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, pimpinan Dewan Pertimbangan Presiden, hadir Bapak Sarwono Kusuma Atmaja, Bapak Juwono Sudarsono, Bapak Nabil Makarim, dan juga Pak Emil Salim. Beliau pendahulu kita dalam memajukan upaya untuk pelestarian alam di negeri kita.
Â
Yang Mulia para Duta Besar Negara Sahabat dan pimpinan Organisasi Internasional, para Gubernur, Bupati, dan Walikota, para pimpinan LSM-LSM lingkungan, para penerima penghargaan dan para pejuang lingkungan yang saya cintai dan saya muliakan,
Â
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Â
Saya mengajak Saudara semua untuk sekali lagi, memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan ridho-Nya kita masih diberi kesempatan untuk ikut menjaga kelestarian alam di mana kita hidup ini, menuju masa depan Indonesia yang sejahtera lahir dan batin.
Â
Saya akan mengawali sambutan pada hari yang bersejarah dan hari yang penting ini, dengan menyampaikan selamat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak, Ibu, Saudara penerima penghargaan, baik penghargaan Kalpataru, Adipura, Adiwiyata maupun pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang mencatat prestasi yang tinggi dan patut dicontoh oleh para pejabat dan komunitas lain di negeri ini. Saudara-saudara sesungguhnya adalah pahlawan pejuang dan juga pencinta lingkungan yang sejati. Pertahankan dan tingkatkan terus prestasi yang Saudara-saudara raih.
Â
Hadirin sekalian,
Â
Saya ingin memulai dengan berbagi cerita dari tanah air, tentu cerita yang berkaitan dengan lingkungan hidup kita. Cerita pertama adalah sebagaimana Saudara ketahui, kemarin saya bersama Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan Gubernur DKI Jakarta meninjau yang disebut dengan kawasan rehabilitasi hutan bakau di kompleks Taman Wisata Alam Angke, Kapuk. Saya datang, melihat langsung menggunakan perahu karet menyusuri kawasan hutan bakau yang dulu pernah rusak berat, kemudian beberapa tahun terakhir ini kita lakukan rehabilitasi. Saya melihat rehabilitasi itu telah menunjukkan hasil yang nyata, meskipun belum rampung.
Â
Mengapa saya katakan nyata? Saya melihat burung-burung berterbangan, ikan berloncat-loncatan, airnya relatif bersih dan tidak bau. Mulai tumbuh, kalau tumbuh baik, hutan mangrove atau hutan bakau itu tingginya bisa 7 sampai 10 meter, dan itu bisa menahan 50% dari gelombang tsunami, manakala gelombangnya memiliki ketinggian 3 meter. Dan tentu menghidupkan kembali, memulihkan kembali ekosistem, baik flora maupun fauna.
Â
Saya masih melihat hasil rehabilitasi yang dulunya telah tumbuh, ditebangi oleh mereka-mereka yang tidak bertanggung jawab. Alhamdulilah, gerakan penebangan itu tidak ada lagi. Dan saya berpesan kepada Gubernur DKI Jakarta, jangan ada yang rajin menanam, tapi juga ada yang mudah menebang untuk kepentingan-kepentingan yang sempit.
Â
Mengapa saya memberikan contoh dan cerita saya mulai dari persoalan hutan bakau? Di Indonesia, ada hampir 80 juta hektar hutan bakau di seluruh Indonesia, kebanyakan di Sumatera, di Jawa dan di tempat-tempat yang lain. Mengapa hutan bakau kita begitu banyak? Karena Indonesia adalah pantai terpanjang di dunia, memiliki garis pantai yang sangat panjang. Good news-nya adalah dalam proses pengembangan pertambakan dan usaha-usaha lain, atau kelalaian dari kita, selama belasan atau puluhan tahun telah terjadi kerusakan pada hutan bakau itu di banyak tempat di Indonesia.
Â
Oleh karena itu, saya mengajak, sebagai awal dari sambutan saya ini, mari kita rehabilitasi dan kita bangun kembali hutan bakau di seluruh Indonesia agar ekosistem pulih dan kemudian tentu biodiversity keanekaragaman hayati juga bisa kita jaga. Itu cerita yang pertama.
Â
Cerita yang kedua, saya pernah berkunjung ke Tawangmangu, Karang Anyar, Jawa Tenga, Cipanas dan Cianjur. Yang saya lihat adalah semacam taman herbalia. Satu kawasan, tidak luas memang, yang bisa menampilkan puluhan tumbuh-tumbuhan yang bisa menjadi herbal atau obat-obatan. Dan konon di Indonesia ribuan tempat itu, yang tentunya merupakan kekayaan, anugerah dari Allah SWT, yang harus kita jaga untuk kepentingan kemanusiaan kita. Bagus, rawat dengan bagus. Saya ingin yang tidak di dua tempat itu, di tempat lain makin kita pelihara, makin kita kembangkan, kita daya gunakan untuk kepentingan kita, yaitu yang disebut dengan biodiversity, khususnya tumbuh-tumbuhan yang berpotensi menjadi herbal.
Â
Dari dua cerita ini Saudara-saudara, maka tepat kalau UNEP, satu lembaga penting dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan tema dari Peringatan Hari Lingkungan Sedunia ini adalah, disampaikan oleh Profesor Gusti Hatta tadi, Many Species, One Planet, One Future atau keanekaragaman hayati, masa depan bumi kita. UNEP juga telah menetapkan tahun 2010 ini sebagai international year of biodiversity. Biodiversity is life. Biodiversity is our life. Keanekagaraman hayati adalah kehidupan, dan keanekaragaman hayati adalah kehidupan kita.
Â
Dari pengantar ini, saya ingin menyampaikan mengapa tema dan tekad untuk menjaga keanekaragaman hayati itu penting bagi Indonesia, penting bagi kita dan tentunya juga penting bagi dunia. Saya ingin mengulangi lagi, negara kita memiliki geografi yang khas, yang unik. Kita kaya dengan biodiversity dan kita juga memiliki kekayaan alam, pantai terpanjang di dunia, hutan terluas ketiga di dunia, kaya dengan flora, fauna, dan plasma nutfah.
Â
Kita memiliki 500 jenis mamalia atau 12% dari yang dimiliki oleh dunia. 500 jenis reptil atau 7% yang dimiliki oleh dunia. 1.500 jenis burung atau 17% dari yang dimiliki oleh dunia. 38.000 jenis tumbuhan, 1.260 jenis tumbuhan medis yang saya katakan herbal tadi. 700 jenis rumput laut, 450 jenis karang batu, dan 2.000 jenis ikan. Mari kita bayangkan betapa Tuhan Yang Maha Kuasa menganugerahi Indonesia dengan biodiversity seperti itu, yang sulit dicarikan bandingannya di negara-negara lain.
Â
Oleh karena itu, kewajiban moral kita, tugas kemanusiaan kita adalah menjaga kelestariannya dan manakala itu kita daya gunakan untuk kesejahteraan rakyat, maka mestilah mempertahankan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan yang baik yaitu sustainable development, pembangunan berkelanjutan. Bukan hanya untuk generasi kita, tapi untuk anak cucu kita di waktu yang akan datang. Green development, pembangunan yang ramah lingkungan dengan tetap melakukan konservasi dan proteksi untuk spesies dan kawasan-kawasan tertentu. Itu tugas dan kewajiban kita, dari anugerah Tuhan yang melimpah dari segi biodiversity tadi.
Â
Saudara-saudara,
Â
Saya ingin mengingatkan, kita memiliki dua undang-undang yang harus kita jalankan. Undang-undang pertama adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994, ratifikasi dari UN Conventions, yaitu United Nation Convention on Biological Diversity, sudah menjadi undang-undang kita. Undang-undang yang kedua, yang terbit tahun lalu, saya tanda tangani tahun lalu, yaitu Nomor 32 Tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Mari kita jalankan benar-benar kedua undang-undang ini.
Â
Hadirin yang saya hormati,
Â
Para pejuang dan pecinta lingkungan yang saya cintai,
Â
Saya ingin berbagi lagi satu cerita. Cerita lain dari negeri kita, dari tanah air kita. Tahun 2006-2007, saya meninjau di banyak daerah yang mengalami musibah banjir dan tanah longsor, di antaranya ke Jember, Jawa Timur. Saya masuk ke dalam, melihat perkampungan yang habis diterjang banjir bandang. Saya masuk lagi ke dalam, saya tercengang, shock dan prihatin melihat dua, tiga bukit di hulu sungai itu dalam keadaan gundul, rusak berat. Ya tidak aneh, kalau hujan lebat datang berhari-hari terjadi banjir bandang dan tanah longsor. Itu salah satu potret di negeri kita, salah satu.
Â
Lima setengah tahun ini, saya sering terbang berkunjung ke provinsi, kabupaten, dan kota, baik menggunakan pesawat sayap tetap maupun helikopter. Saya lihat dari mata saya sendiri pemandangan di bawah. Ada tiga macam pemandangan yang saya lihat. Pertama, cukup banyak hutan yang masih terawat dengan baik, hijau, tumbuh-tumbuhannya rapat, kanopinya sambung-menyambung. Alhamdulillah, good news. Tapi juga ada hutan-hutan yang rusak yang saya lihat, bad news.
Â
Kemudian masih ada tanah terlantar, barangkali dulu, entah sekian puluh tahun lalu digunakan untuk pertanian atau kawasan HPH yang dalam keadaan terlantar, underutilized, tidak terpelihara, yang mestinya bisa dihutankan kembali atau didayagunakan untuk sumber-sumber pertanian dengan mengaplikasikan best practices untuk menjaga lingkungan kita.
Â
Tiga potret itulah yang saya dapatkan. Saya kira Saudara juga sama kalau terbang di atas wilayah Indonesia. Oleh karena itu, melihat potret itu, melihat realitas itu, kebijakan Pemerintah Indonesia, kebijakan kita semua ke depan, lebih meningkatkan pelestarian dan pengelolaan alam. Nomor satu, kita cegah penggundulan-penggundulan hutan yang tidak bertanggung jawab, jangan terjadi lagi. Cegah deforestasi. Kita cegah kebakaran hutan.
Â
Alhamdulillah, tiga setengah tahun terakhir sudah menurun tajam kasus-kasus kebakaran hutan, baik di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalteng, dan Kaltim. Mari kita jaga kondisi seperti ini. Mari kita perangi illegal logging. Tidak ada kompromi dengan para penggundul hutan untuk kepentingan ekonomi yang selfish. Kepolisian, penegak hukum, Gubernur, Bupati, Walikota tidak boleh lunak terhadap para pelaku illegal logging untuk masa depan kita, untuk cucu kita.
Â
Terhadap hutan-hutan yang rusak mari kita lakukan reforestasi, penghutanan kembali, dan lakukan konservasi. Lakukan management terhadap lahan-lahan gambut atau peat land. Karena kalau rusak, itu sumber dari emisi gas rumah kaca. Saya lihat banyak lahan gambut di Sumatera, di Kalimantan, dan tempat lain. Para Bupati, Gubernur harus mempunyai kepemimpinan dan kepedulian untuk memastikan lahan gambut tidak rusak, tidak dijamah oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Â
Hadirin yang saya cintai,
Â
Hutan hujan tropis adalah paru-paru dunia, kita tahu semua. Kalau kita lihat globe, sepanjang khatulistiwa itu ada tiga kawasan yang menjadi paru-paru dunia. Kawasan pertama adalah Indonesia, pusatnya di Borneo, dulu Kalimantan. Yang kedua, di Amazon, Brazil, dan sekitarnya. Yang ketiga di Kongo, basin, negara Kongo dan sekitarnya. Itu paru-paru dunia.
Â
Manusia sejagad menginginkan paru-parunya sehat, ketika udara di bumi sudah mulai tidak sehat, karena pencemaran, sebagian mulai dari revolusi industri. Dulu berpuluh-puluh tahun jadilah atmosfer bumi, udara tempat kita hidup ini tidak sehat, maka diharapkan paru-parunya jangan ikut tidak sehat. Untuk itu, kewajiban ada dua, kewajiban yang punya paru-paru itu, Indonesia dan sekitarnya, katakanlah ya Malaysia, Brunei mestinya, Brazil dan sekitarnya Amazon, Kongo dan sekitarnya menjaga kelestariannya. Usaha kehutanan boleh dilakukan, tetapi tidak boleh merusak sifatnya.
Â
Kita telah menetapkan 26% pengurangan emisi pada tahun 2020, ten years from now. Sepuluh tahun dari sekarang. Demi sehatnya paru-paru kita. Apakah hanya dibebankan kepada negara yang punya paru-paru dunia? Tidak, tidak boleh. Ini para Duta Besar juga hadir di sini. Dunia juga punya kewajiban. Negara-negara maju, negara-negara yang punya resources, apakah uang, teknologi dan pengalaman-pengalaman wajib hukumnya untuk dikontribusikan, sharing dalam upaya dan pendanaan. Mengapa? Ya karena ikut menikmati sehatnya paru-paru dunia ini.
Â
Ada Copenhagen Accord yang baru dihasilkan tahun lalu di Kopenhagen, Denmark, ketika dilaksanakan Konferensi PBB tentang perubahan iklim. Ada chapter dalam Copenhagen Accord yang mengatur pemeliharan hutan. Chapter itu Indonesia ikut menyumbang. Saya sendiri yang menyampaikan rumusan chapter Copenhagen Accord itu, yang tadinya berat sebelah. Isinya hanya kewajiban negara yang punya hujan tropis untuk jangan ini, jangan itu, harus ini, harus itu.
Â
Saya katakan unfair. Mesti ada klausul atau pasal ketika negara berkembang yang biasanya sumber dayanya pas-pasan, anggaran kita juga untuk lingkungan hidup, untuk pendidikan, untuk kesehatan, mengurangi kemiskinan, tentunya tidak bisa habis untuk memelihara paru-paru itu. Maka dalam Copenhagen Accord, bagi negara hujan tropis yang memelihara itu mendapatkan bantuan atau kontribusi dari dunia, dari negara maju.
Â
Dan saya ingatkan di banyak kesempatan, itu bukan charity, itu bukan belas kasihan, itu bukan donasi, tapi sebagai manifestasi dari tanggung jawab bersama negara-negara sedunia. Tidak boleh dianggap itu, wah ini saya kasih charity. Tanggung jawab bersama, kewajiban bersama. Oleh Karena Itu, international cooperation dalam konteks itu, sesungguhnya implementasi dari common but differentiated responsibilities dan respective capabilities. Adil, fair, semua ikut bertanggung jawab.
Â
Dalam konteks ini, saya lanjutkan, Indonesia di samping menjalankan aksi nasional, kita juga menjalankan kerja sama internasional, baik bilateral maupun multilateral. Contoh, 10 hari yang lalu, pemerintah Indonesia dan pemerintah Norwegia baru menandatangani kerja sama dalam konteks REDD+ untuk pengelolaan hutan lestari yang memang cocok dan pas dengan kebijakan kita sendiri, dengan program kita sendiri. Kalau semuanya berjalan baik akan ada dana hibah, bukan pinjaman, bukan hutang, hibah, mencapai US$ 1 milyar dalam waktu 5 tahun dan seterusnya. Yang diukur adalah performance based contribution.
Â
Dalam kerja sama ini, kita melibatkan semua pihak, para Bupati, para Walikota pasti, komunitas lokal, pemuka adat, LSM atau NGO, semua ada di situ. Karena ini bukan hanya kerja pemerintah, tapi urusan bumi kita. Dan insya Allah, dalam waktu dekat di waktu mendatang ada lagi kerja sama seperti itu dengan negara-negara sahabat yang lain. Kerja sama yang adil, kerja sama yang baik. Meskipun saya katakan, ada atau tidak ada kontribusi dunia, Indonesia bertanggung jawab, kita akan mengeluarkan anggaran kita. Kita melakukan upaya sekuat tenaga untuk memelihara lingkungan kita.
Â
Multilateral, contohnya di Oslo kemarin, saya bersama Perdana Menteri Norwegia sebagai pimpinan bersama, Co-chairman dalam pertemuan international itu, ada yang namanya partnership antara negara maju dan negara berkembang, utamanya negara pemilik hutan hujan tropis. Kira-kira akan ada dana US$ 4.5 milyar untuk digunakan dalam kerja sama ini.
Â
Di samping itu, ada F-11, yang saya sebutkan tadi negara-negara di tiga paru-paru dunia tadi. Indonesia berinisiatif dan tahun 2007, saya memimpin summit di New York, 11 negara di Afrika, Amerika Latin, dan Indonesia, sekarang tambah 3 lagi, 14 negara. Ini satu community yang ingin berbagi, bekerja sama dalam pemeliharaan hutan yang baik, yang lestari, sekaligus dalam kerja sama dengan negara maju, agar kontribusi pendanaan itu fair dan tidak salah alamat.
Â
Terhadap ini semua Saudara-saudara, saya ingin menggunakan kesempatan untuk memberikan, menyampaikan instruksi kepada jajaran pemerintah, baik pusat maupun daerah, saya minta mari sekarang dan ke depan kita lebih serius di dalam menjaga lingkungan kita. Ajak dan libatkan perguruan-perguruan tinggi, ajak dan libatkan LSM. LSM itu bukan lawan, tapi kawan. LSM itu sparring partner. Kalau kita lalai, ya mereka mengkritik, ya harus kita terima. Dengan harapan, kalau pemerintahnya benar, provinsinya, kabupaten, kotanya benar, ya berikan apresiasi, jangan dianggap salah terus. Ini yang harus kita bangun, sehingga betul-betul menjadi sparring partner begitu.
Â
Libatkan masyarakat adat, libatkan komunitas lokal. Kalau ada pembiayaan nanti, pastikan komunitas lokal, komunitas adat mendapatkan sesuatu, sehingga tidak perlu ikut-ikutan menebang hutan, tidak perlu ikut-ikutan membakar hutan, karena there is something yang dia terima dalam kerja sama ini. Itulah paket yang realistik. Tanpa itu, ya tidak mungkin. Harus ada alternatif untuk kehidupan masyarakat lokal di situ, yang halal, yang tidak merusak lingkungan, sehingga dia menjadi pelaku dari kerja sama ini.
Â
Kepada pemerintah pusat dan daerah, para bupati hadir, meskipun lebih banyak yang tidak hadir, hati-hati dalam memberikan ijin. Hati-hati, jangan mau pilkada, ijin sana, ijin sini, nanti di kelak kemudian hari dosanya besar sekali. Kalau memberikan ijin sesuai peruntukannya. Kalau hutan harus dilindungi, jangan diganggu. Kalau hutan itu memang bisa diusahakan, silakan, tanah-tanah terlantar daripada rusak untuk kelapa sawit, ya guna silakan, tidak ada yang melarang. Tidak boleh dong Indonesia, jangan sentuh hutannya, jangan sentuh tambangnya. Jangan ini, jangan itu, lantas makan apa rakyat kita. Banyak yang masih miskin.
Â
Negara maju income per capita-nya 30.000, 40.000, 50.000 dolar Amerika Serikat. Income per capita kita belum mencapai 4.000. Masih harus keras mengurangi kemiskinan. Tetapi meskipun itu harus kita lakukan, tidak harus merusak lingkungan. Kita bisa menjalankan dua-duanya be good to achieve twin objectives, tujuan kembar, kesejahteraan rakyat, lestarinya lingkungan. Jadi benar-benar sesuai peruntukannya.
Â
Yang mesti diproteksi, jangan disentuh. Kita punya target. Menhut, Menteri Lingkungan, 43,8 juta hektar hutan alam primer, don't touch, jangan disentuh, karena yang lain bisa didayagunakan. Kita akan rehabilitasi 40 juta hektar hutan gundul, yang kalau terbang helikopter di atas botak-botak itu, botak sana, botak sini, hutan gundul. Bikin tidak gundul. Tentu tidak bisa tahun depan, 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, 15 tahun lagi, anak cucu kita sudah kembali melihat tidak ada lagi hutan-hutan gundul yang terbengkelai dan tidak dikelola.
Â
Kita akan menggunakan dan sudah kita susun MRV, monitoring, reporting, and verification system. Dengan IT, jangan bohong. Kalau Pak Bupati tidak jujur pada saya, "Pak, sudah selesai rapat semua, itu dengan cepat goggles dan lain-lain, mana botak begini."
Â
Itu UKP4, Pak Kuntoro setiap saat, Pak Kuntoro coba dipotret misalkan mana, misalkan Lampung, ke potret itu, mana hutan bakau yang rusak gara-gara pertambakan dulu, Depasena, Bratasena, yang lain-lain, meskipun sudah direhabilitasi sebagian, kelihatan itu dan tempat-tempat yang lain juga, dipotret itu. Jangankan itu, wong yang namanya misalkan PNPM, telah dibangun tempat saluran air bersih di kecamatan X, ada tiga gedung seluas satu lapangan bola dipotret masih kosong, kelihatan sekarang ini. Hati-hati, jangan sampai ada surat cinta dari saya nanti, mana nol gitu. Jadi itu MRV yang harus kita jalankan.
Â
Kemudian gerakan nasional tanam dan pelihara pohon, mari terus kita lakukan. Saya senang di daerah-daerah sudah kesadaran untuk menanam pohon. One person one tree, leading to, menuju nantinya insya Allah 1 milyar pohon setiap tahunnya, menuju ke situ. Tapi kita mulai dulu dari one person, bukan hanya one man, nanti one woman-nya enggak ikut. One person, one tree. Kita akan galakan itu.
Â
Saudara-saudara,
Â
Bagian akhir dari sambutan saya, lantas negara kita ke depan mau seperti apa.
Â
Saudara-saudara,
Â
Ini Hari Lingkungan Hidup, kita patut untuk berefleksi, untuk evaluasi dan sambil melihat ke depan, membayangkan Indonesia 20 tahun dari sekarang, 30 tahun dari sekarang, seperti apa. Indonesia ke depan haruslah menjadi green Indonesia, green development, green economy, green lifestyle, green culture. Negara dengan kehidupan manusianya, yang betul-betul ramah lingkungan, peduli pada lingkungan, bersama-sama secara nyata memelihara lingkungan. Itulah masa depan kita, masa depan Indonesia di abad 21 ini. Untuk menuju ke situ, tidak jatuh dari langit, tetapi ada 3 pilar, yang mari sama-sama kita perkokoh pilar ini.
Â
Pilar pertama adalah kebijakan, our policies yang tepat. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota harus berangkat dari policy yang ramah lingkungan, pilar pertama.
Â
Pilar kedua, ada teknologi, ada ilmu pengetahuan. Mari kita kontribusikan technology, science, agar bisa mengatasi masalah-masalah lingkungan.
Â
Pilar ketiga, yang tidak kalah pentingnya, tugas para pemimpin. Saya titip para bupati, walikota yang setiap hari bisa ketemu rakyat, ajaklah untuk membangun budaya dan gaya hidup yang ramah lingkungan. Orang-seorang, rumah tangga demi rumah tangga, desa demi desa, kecamatan demi kecamatan. Kalau pak bupati, pak walikota berhasil 5 tahun lagi, 10 tahun, 15 tahun, there will be a new culture di negeri kita, budaya, lifestyle yang betul-betul environmentally friendly. Dan di situlah tanda-tanda kita akan menjadi green Indonesia di waktu yang akan datang.
Â
Saya ingin memberikan contoh, sekaligus ajakan bagi para pemimpin, LSM, pers. Pers ada di sini. Pers tolong bantu juga untuk menyukseskan misi ini. Serukan kepada masyarakat, ajak masyarakat untuk menghentikan kebiasaan menebang dan membakar. Ini saya kalau keliling Jakarta, kalau ada pohon tumbang, karena angin itu rasanya tangan kita seperti ikut patah. Saya telpon Pak Gubernur, mulai Pak Sutiyoso sampai Pak Foke. "Pak, itu di dekat Cawang, ada 5 pohon yang tumbang, roboh gitu, ikut seperti patah tangan kita."
Â
Tolong para pemimpin, bupati, walikota juga memiliki seperti itu. Tiba-tiba enggak ada alasan, tebang, enggak alasan, bakar. Ajak, serukan, ajak, serukan pula masyarakat tidak membuang sampah begitu saja, macet selokan. Hujan dikit, terjadi banjir, padahal enggak ada aliran dari hulu, karena drainage system yang rusak. Membuang sampah pada tempatnya. Kepada perusahaan tidak membuang limbah pada tempatnya.
Â
Ketika saya berkunjung ke daerah-daerah, di kota-kota, dan pastilah kota itu tidak dapat Adipura mestinya, tidak boleh kalau yang saya kunjungi dapat Adipura. Saya masih melihat di kabupaten beberapa di Indonesia ini, bagian kota di sudut-sudut, ada aliran air yang kotor dan bau, smell bad.externalities ke dalam ekonomi yang merugikan masyarakat sekitar. Tapi kalau ada pabrik yang bikin wangi, itu positif externalities, bersyukur masyarakat ikut wangi. Atau pabrik kue, paling tidak merasakan bau kue yang enak itu, itu positive externalities. Tapi bagaimana, saya telpon Pak Fauzi Bowo, itu truk sampah lewat Cikeas itu netes baunya 2 jam enggak hilang. Itu negatif externalities, kita bisa menuntut. Itu masyarakat bisa menuntut ganti rugi, namanya itu
Â
Pojok-pojok kota, pojok-pojok daerah, lagi-lagi pasti bukan penerima Adipura. Ada yang belum bersih, air tergenang, rumput tinggi, bagaimana tidak mudah malaria, demam berdarah, dan penyakit-penyakit menular. Itu potret. Saya senang, meskipun tadi berdiri 1 jam lebih ngasih piala, karena dari 500 kabupaten, 1/5 sudah dapat. Dari ribuan kota, mungkin 10% sudah dapat. Meskipun bisa 3 jam saya tidak apa apa, kalau kota-kota itu makin bersih.
Â
Saya punya catatan penerima Adipura di saku saya. Jangan sampai saya keliling, yang saya gini-gini tadi, tapi di kotanya airnya baunya, hitam, kemudian sampah di mana-mana. Cabut lagi harusnya, enggak bisa itu. Kita bisa ketawa di sini. Tapi masyarakat penghuni kota, daerah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan hidup dalam lingkungan itu akan terganggu kesehatan dan mudah sekali dapat wabah.
Â
Kemarin saya terbang dari Bengkulu ke Jakarta, setelah membuka MTQ. Saya membaca Majalah Newsweek yang terbit minggu ini, 7 Juni. Di situ ada artikel berjudul A Disaster In The Making, yang ditulis oleh penulis wanita yang namanya Rana Foroohar. Tesisnya adalah setelah saya baca artikel pendek itu, kalau negara hanya mengejar economic growth setinggi-tingginya, 7%, 8%, 9%, 10% 11%, setinggi-tingginya, tapi lalai pada lingkungan, menurut penulis itu, sepertinya ekonomi tumbuh tinggi, kemiskinan akan turun. Tetapi kalau careless terhadap lingkungan, menurut studi 22% GDP-nya, pendapatan domestik bruto nantinya akan habis untuk mengatasi akibat lingkungannya yang rusak, manusia yang tidak sehat, penyakit menjalar, rusak ekosisem, dan seterusnya. Sepertinya senang, tapi in the long run, itu 22% of its GDP, itu akan habis untuk membiayai akibat lingkungan yang rusak.
Â
Oleh karena itu, jangan kita mengejar pertumbuhaan setinggi-tingginya. Ya cukuplah 7%, insyaBudget kita harus semakin cukup anggaran untuk lingkungan, harus makin memadai, jangan sampai teriak-teriak anggarannya tidak ada, harus ada yang memadai. Allah, nanti pada saatnya. Tetapi tetap memelihara lingkungan dengan baik. Mari kita kelola anggarannya, baik pusat maupun daerah dengan baik. Harapan kita, Menteri Kehutanan, ini Menko Perekonomian, Menteri Keuangan enggak ada yah, Pak Hatta. Anggaran lingkungan hidup makin bagus, GDP kita makin bagus.
Â
Para gubernur, para bupati, walikota mendapatkan dana alokasi khusus lingkungan hidup, ada. Gunakan sebaik-baiknya, insya Allah bisa kita tingkatkan nanti jumlahnya.
Â
Menteri Kehutanan, perkuat polisi hutan, perkuat kalau jumlahnya sangat minim bagaimana mungkin satu polisi ngawasi berapa hektar itu? Satu polisi ngawasi 30.000 hektar. Ini sama dengan, kalau dia punya karpet terbang tidak apa-apa. Penguatan dalam arti jumlahnya yang rasional, ketrampilannya yang rasional, sarana mobilitasnya yang rasional, mentalnya yang rasional, bukan ikut-ikutan kongkalikong, ikut-ikutan nebang-nebang pohon, nanti pagar makan tanaman di situ. Jadi tolong dengan kenaikan anggaran, perkuat itu polisi hutan.
Â
Itu kebijakan kita menuju green Indonesia. Mungkin generasi saya atau yang lebih senior dibandingkan saya tidak menikmati green Indonesia, tapi anak cucu kita insya Allah akan melihat dan menikmati green Indonesia yang kita cita-citakan bersama.
Â
Akhirnya sebagai penutup, mari kita ubah dan bangun Indonesia sekali lagi menjadi green Indonesia. Saya tahu banyak tantangan, tidak mudah. Saya tidak boleh memberikan angin surga akan mudah-mudah saja, tidak, banyak permasalahan, sebagaimana layaknya persoalan dihadapi oleh negara berkembang. Tetapi kalau kita gigih dan konsisten, suatu saat akan kita wujudkan. Semua bertanggung jawab, pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan-perusahaan, LSM, masyarakat luas, pers dan sebagainya.
Â
Dalam kampanye pemilu, Pilpres dan pilkada yang akan datang, saya sebagai rakyat akan menyaksikan nanti, para kandidat harus punya visi, misi, dan rencana aksi untuk pemeliharaan lingkungan. Pers angkatlah. Jadi kalau ada kampanye pilkada sudah mulai beberapa saat yang lalu akan terus terjadi di seluruh Indonesia. Tanyakanlah, entah calon bupati, calon walikota, calon gubernur, "Bagaimana visi bapak terhadap lingkungan, apa yang akan bapak lakukan untuk bikin baik lingkungan di kabupaten X atau di provinsi A?" Misalnya seperti itu. Dan masyarakat saya himbau perhatikanlah apa yang akan dilaksanakan manakala beliau terpilih menjadi bupati, walikota ataupun gubernur dalam lingkungan itu.
Â
Terakhir, ke depan akan banyak kerja sama internasional. Insya Allah, mari kita sambut dengan baik, tidak perlu kecil hati, karena konsepnya konsep sharing and caring. Sharing and caring, bukan negara maju ngasih cuma-cuma, belas kasihan, charity kepada negara berkembang, tapi tanggung jawab bersama. Negara berkembang serius, negara maju juga berkontribusi, saya kira akan jadi. Ada atau tidak ada bantuan internasional, ada atau tidak ada, Indonesia harus tetap menjalankan aksi-aksi nasionalnya. Harus, karena sekali lagi, semuanya adalah untuk negeri kita sendiri, anak cucu kita sendiri dan tentunya untuk bumi kita.
Â
Itulah yang dapat saya sampaikan. Sekali lagi, selamat kepada para pejabat yang berprestasi, selamat kepada penerima penghargaan, yang bapak laksanakan, Bapak, ibu laksanakan, penerima kalpataru, ya ini semua. Demikian juga para pejabat negara, gubernur, bupati, dan walikota, prestasi itu untuk kita semua. Mari kita mohon kepada Allah SWT untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan jalan yang terang bagi bangsa kita mencapai tujuan yang luhur dan mulia itu. Sekian.
Â
Wassalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Biro Naskah dan Penerjemahan,
Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan,
Sekretariat Negara RI