Sambutan Presiden RI pada Silaturahmi dengan Para Ulama Mursyid Thariqoh, Semarang, 09-6-09
Â
SAMBUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA
SILATURAHMI DENGAN PARA ULAMA MURSYID THARIQOH
SEMARANG, 9 JUNI 2009
Bismilahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh,
Yang saya hormati Saudara Menteri Agama Republik Indonesia dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu,
Saudara Gubernur Jawa Tengah dan para Pimpinan dan Pejabat-pejabat negara yang bertugas di Jawa Tengah, baik dari unsur eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun TNI dan Polri,
Yang sama-sama kita muliakan Bapak Almukaram Habib Muhammad Lutfi Ali Bin Yahya,
Yang saya cintai dan saya muliakan para Ulama, para Pimpinan Pondok Pesantren, para Kyai,
Hadirin sekalian yang saya muliakan,
Pada kesempatan yang baik dan insya Allah penuh berkah, ini marilah sekali lagi kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena kepada kita masih diberikan nikmat kesempatan, nikmat kekuatan, dan semoga nikmat kesehatan, untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, perjuangan kita, serta tugas dan pengabdian kita bersama kepada umat, kepada masyarakat, serta kepada bangsa dan negara tercinta.
Kita juga patut bersyukur ke hadirat Allah SWT pagi hari ini dapat bersama-sama bersilaturahim menyatukan wajah dengan wajah kita, hati dengan hati kita, pikiran dengan pikiran kita untuk kebaikan bangsa dan negara di masa depan berkaitan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke-101 tahun 2009 ini.
Marilah pula hadirin sekalian yang saya muliakan,
Salawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikut-pengikut Rasulullah sampai akhir zaman.
Hadirin yang saya muliakan,
Memperingati Hari Kebangkitan Nasional selalu menyadarkan kita bahwa kita sebagai bangsa mestilah senantiasa bersyukur, sekaligus mengingatkan kita untuk selalu sabar, tegar dan tidak pernah berhenti berikhtiar untuk membangun hari esok yang lebih baik. Saya kira ini amanah untuk kita semua. Sering dikatakan bahwa ulama adalah tiangnya umat dan umaro tiangnya negara. Padahal umat, rakyat, negara pada hakikatnya satu, oleh karena itu ulama dan umaro memegang amanah, tanggung jawab, dan mengemban misi yang sangat mulia namun tidak ringan untuk membawa kemajuan umat kita, rakyat kita, serta bangsa dan negara kita.
Oleh karena itu saya sungguh bersyukur, Habib Lutfi, bahwa ada satu prakarsa yang luar biasa seperti ini, para ulama, para kyai bersatu dalam tekad dan komitmen bagaimana terus berkontribusi memberikan sumbangsihnya yang tentu sangat penting untuk membangun kehidupan bangsa dan negara ini agar Indonesia yang kita cintai bersama, dengan ridho Allah SWT, akan menjadi semakin aman, semakin adil dan semakin sejahtera. Tahun lalu, ketika kita memperingati satu abad, 100 tahun Kebangkitan Nasional, dalam sebuah pidato yang saya tujukan kepada seluruh rakyat Indonesia dan bahkan didengar oleh bangsa-bangsa di dunia, saya katakan waktu itu, saya laporkan sekaligus ke hadapan para ulama pada kesempatan yang baik hari ini, dan ini terus saya ucapkan barangkali sudah puluhan kali. Intinya insya Allah dengan ridho Allah SWT, dengan persatuan, kebersamaan dan kerja keras kita, Indonesia di abad 21 ini bisa menjadi bangsa yang maju, bangsa yang bermartabat dan bangsa yang sejahtera. Tapi ada syaratnya tidak bisa datang begitu saja datang dari langit. Katakanlah karena para ulama menasihati saya bahwa kalau bangsa Indonesia ingin maju ya berikhtiar dan bekerja keras. Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, kita ketahui bersama-sama telah memberikan satu tuntunan yang sangat jelas bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib sebuah kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah dirinya, mengubah masa depannya kearah yang lebih baik. Hakekatnya demikian.
Dalam kaitan itulah atas nasehat para ulama sekalian, saya mengajak rakyat Indonesia untuk betul-betul berbuat yang terbaik, bekerja sekuat tenaga untuk mencapai tujuan yang mulia itu. Syaratnya adalah pertama, kemandirian kita sebagai bangsa harus terus ditingkatkan. Syarat kedua, daya saing kita sebagai bangsa juga harus terus diperkuat. Dan yang ketiga yang sangat-sangat penting peradaban kita, haruslah makin mulia dan makin unggul. Nah yang ketiga inilah yang saya mohonkan para ulama bersama-sama umaro dan kita semua bergandengan tangan melakukan sesuatu untuk membangun peradaban bangsa yang mulia dan unggul tersebut.
Mari kita lihat satu persatu para ulama. Berkaitan dengan kemandirian bangsa, di tengah-tengah arus globalisasi, di tengah-tengah persaingan bangsa-bangsa di dunia, kita memang harus menjadi bangsa yang makin mandiri, menjadi bangsa yang tidak boleh bergantung pada bangsa lain. Menjadi bangsa yang tidak boleh didikte oleh negara-negara lain. Memang, dalam era globalisasi ini kerja sama antar bangsa menjadi sebuah keniscayaan tetapi kerja sama itu harus adil, kerja sama itu mendatangkan manfaat yang dirasakan oleh rakyat, oleh kita semua.
Kemandirian yang saya maksud adalah mari kita mengembangkan, membangun, mendayagunakan yang kita miliki sendiri sebagai anugerah dari Allah SWT sebaik-baiknya agar kita, sekali lagi, tidak perlu tergantung pada bantuan dari bangsa lain. Saya ingin memberikan contoh yang gamblang apa yang kita lakukan terutama hampir 5 tahun terakhir ini. Pangan, penduduk dunia sekarang berjumlah 6,6 milyar manusia dan masih akan bertambah buminya tidak akan bertambah. Sementara 6,6 milyar itu terus memiliki kebutuhan yang makin meningkat dari segi pangan, air, energi dan sebagainya.
Oleh karena itu tahun lalu, setahun sebelumnya, dunia mengalami krisis pangan. Negara-negara sahabat di Afrika dan di tempat yang lain mengalami kesulitan hidup yang luar biasa. Alhamdulillah meskipun kita juga kena imbasnya, kena dampaknya, tetapi berkat kebersamaan kita, kerja keras kita, kita bisa mengatasi permasalahan itu. Justru kita tertantang sebagai bangsa bagaimana kita bisa lebih meningkatkan swasembada dan ketahanan pangan itu. Atas kerja keras semuanya itulah Alhamdulillah tahun lalu kita sudah berswasembada beras, tahun ini lebih atau surplus beras termasuk swasembada jagung dan swasembada gula untuk konsumsi. Sementara kedelai dan daging sapi masih kita usahakan tahun-tahun mendatang bisa berswasembada, yang lainnya sudah aman.
Kalau bangsa Indonesia yang berjumlah 230 juta makin aman dari kebutuhan pangannya maka kita makin mandiri tidak perlu harus mengimpor bahan-bahan pangan itu dari negara-negara lain.
Contoh yang lain. Sebelas tahun yang lalu kita mengalami krisis, ekonomi kita jatuh, kehidupan kita susah, waktu itu kita terjerat dalam hutang IMF. Karena kita berhutang pada IMF ada sekelompok negara yang mengatur perekonomian kita merencanakannya harus begini, mengelolanya harus begitu dan sebagainya. Bertekad kita Alhamdulillah kita bisa melunasi hutang IMF itu 4 tahun lebih cepat sejak tahun 2006 dan kemudian forum CGI yang mendikte kita mengelola perekonomian telah kita bubarkan. Dengan demikian sejak itu kita merencanakan mengelola perekonomian kita tanpa harus dikontrol, didikte oleh IMF dan negara-negara yang lain, ini contoh yang kedua.
Contoh yang ketiga, kemandirian di bidang politik. Kita menjalankan politik bebas aktif, begitu tausiah para pendiri negara, para pendiri republik tidak boleh, kita dilarang menjalin persahabatan dengan negara-negara sahabat oleh karena itu Alhamdulillah sekarang kita menjalin persahabatan dengan semua bangsa sepanjang bangsa itu menghormati Indonesia, berbuat baik kepada negara kita.
Hubungan kita dengan saudara-saudara kita di Timur Tengah baik, di Afrika baik, di Asia baik dan sebagainya. Kita terus berjuang misalnya untuk kemerdekaan bangsa Palestina dengan diplomasi, dengan politik luar negeri yang sangat aktif. Kita bisa menjalankan misi seperti itu karena kita punya kemandirian di bidang politik. Dulu, pernah kita kena  embargo, kena sanksi di bidang militer sejak tahun 1991 ditambah lagi sejak tahun 1999, Alhamdulillah berkat tekad kita, kerja sama kita embargo, dan sanksi militer itu telah dicabut dan kita sejak tahun 2005 tidak dibayang-bayangi oleh sanksi atau embargo dunia seperti itu, lebih mandiri lagi.
Kita pernah berselisih dengan Timor Timur. Para ulama masih ingat, dunia ingin mengatur bagaimana menyelesaikan Indonesia Timor Timur termasuk dianggap pelanggaran HAM yang harus dituntaskan. Kita bertekad, saya dengan keras menulis surat kepada Sekjen PBB menyampaikan biarlah bangsa kami sendiri yang menyelesaikan dengan bangsa Timor Leste, tidak perlu ada Mahkamah Internasional ini, itu karena kita bisa menyelesaikan dengan baik. Alhamdulillah masalah itu sudah selesai tahun lalu dan tidak lagi kita dihantui oleh tekanan-tekanan dunia karena urusan pelanggaran HAM Indonesia dan Timor Leste. Itu contoh lain bagaimana kita ingin mandiri. Satu lagi industri pertahanan, industri militer kita tidak baik kalau kita semuanya serba membeli dari negara lain. Kehormatan kita tidak terjaga, harga diri kita tentu runtuh. Kita bertekad mengembangkan industri pertahanan kita secara bertahap makin kuat, makin bisa menghasilkan produk-produk dalam negeri.
Dengan demikian kalau ada apa-apa jangan seperti dulu kita membeli pesawat terbang, membeli tank, membeli senjata dari luar negeri tiba-tiba pada saatnya tidak bisa digunakan karena kita kena embargo, kita kena sanksi, berarti kita tidak mandiri. Insya Allah makin ke depan apa yang kita lakukan di negeri ini para ulama, politik, ekonomi, pertahanan, budaya dan semuanya menunjukkan bangsa yang lebih mandiri di tengah pergaulan global.
Itu pilar pertama untuk menjadi negara maju bermartabat dan sejahtera sesuai dengan semangat Kebangkitan Nasional. Yang kedua adalah daya saing. Daya saing ini dibandingkan Indonesia dengan negara lain seperti apa, rendah atau agak tinggi atau tinggi dan seterusnya. Demikian juga daya saing dalam arti keunggulan sebagai bangsa, pengetahuannya, pendidikannya, teknologinya dan sebagainya.
Alhamdulillah daya saing kita dengan ukuran dari lembaga-lembaga dunia dengan index daya saing tahun demi tahun terus meningkat. Baru saja disebutkan juga peningkatan yang tajam oleh lembaga internasional menyangkut daya saing kita. Oleh karena itu dengan 20% anggaran pendidikan yang telah kita dapatkan kita semua ingin pendidikan kita sebagai sumber kemajuan bangsa, sumber daya saing, produktivitas. Keunggulan bangsa harus dapat kita gunakan sebaik-baiknya baik untuk pendidikan umum maupun pendidikan keagamaan termasuk pondok-pondok pesantren.
Ini tekad kita untuk meningkatkan daya saing tetapi tentu tidak sekali jadi. Negara lain itu ratusan tahun sejak merdeka sampai menjadi bangsa yang berdaya saing tinggi. Kita merdeka belum seratus tahun tapi Alhamdulillah sudah seperi ini. Oleh karena itu kita syukuri tapi jangan merasa puas dulu masih banyak yang harus kita lakukan ke depan agar daya saing itu terus meningkat, terus meningkat, terus meningkat sehingga insya Allah daya saing kita betul-betul tinggi, itu yang kedua.
Nah, yang ketiga atau yang terakhir inilah yang sangat penting peradaban bangsa. Banyak definisi tentang peradaban. Apa gerangan yang disebut peradaban? Dalam bahasa Inggris disebut civilization. Yang paling mudah untuk mengetahui difinisi atau pengertian peradaban itu, seperti apa sih masyarakat yang tidak beradab? Seperti apakah bangsa yang tidak beradab, mengapa harus beradab? memiliki peradaban yang tinggi. Ya jelas sebuah masyarakat, komunitas, bangsa tidak beradab kalau akhlaknya tidak baik, karakternya tidak baik, wataknya tidak baik, budipekertinya tidak baik, perilakunya tidak baik, tutur katanya tidak baik, tidak beradab dia. Islam kaya dengan hal-hal yang serba baik, akhlak, budipekerti, perilaku, nilai. Jadi sebetulnya gudangnya, sumurnya peradaban yang mulia, dari Islam sendiri sudah sangat luar biasa. Mengapa tidak kita jadikan bangunan dari peradaban bangsa yang kokoh. Saya katakan bangsa yang beradab, bangsa yang baik adalah wataknya dulu, akhlaknya dulu, kepribadiannya, perilakunya, tutur katanya, cara melihat saudaranya yang lain, satu akhlakul kharimah.
Mari, saya mengharapkan betul para ulama terus mengajarkan pada umat, menasehati saya, para umaroh dan yang sedang mengemban amanah bagaimana memiliki watak, perilaku, karakter yang baik sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Sudah ada semua pada beliau, tinggal bagaimana kita belajar meskipun sangat jauh kita dibandingkan Rasulullah, tetapi kalau kita terus belajar, belajar, belajar saya kira akan berubah.
Yang kedua, bangsa yang dinamakan beradab adalah bangsa yang menyelesaikan masalah baik-baik, tidak mudah melakukan kekerasan, peperangan, tindakan-tindakan yang bisa menimbulkan ketakutan, kecemasan, keporakporandaan, beradab dia, civilazed. Jadi kalau kita terus mengajak, menyuburkan iklim di negeri ini untuk apapun masalah yang muncul kita selesaikan secara baik, secara damai, peaceful, Islam menaburkan salam kedamaian, persaudaraan, keadilan, toleransi. Mengapa, tidak kita jadikan sebagai tiang yang lain dari juga peradaban kita.
Jadi itu juga sangat penting para ulama, untuk, mari kita bangun seperti itu, karena semuanya sudah ada tinggal kita ajak yang lain kalau perlu mengajak pada bangsa dunia, bangsa yang lain. Saya sudah bertemu Obama Presiden Amerika Serikat, baik bertelepon maupun ketemu langsung, saya sudah ketemu dengan para pemimpin dunia Barat. Mengapa kita menggunakan hot power, mudah sekali melaksanakan perang, mudah sekali embargo, mudah sekali memberikan sanksi. Megapa tidak gunakan soft power, kekuatan yang persuasif, kekuatan yang baik menyelesaikan masalah dengan damai.
Saya katakan berkali-kali di PBB, di forum manapun, karena itulah nilai Islami, itulah nilai kita sebetulnya yang sejati menyelesaikan masalah baik-baik tanpa dengan mudah sekali melancarkan perang dan sebagainya. Mari kita introspeksi di negeri ini untuk betul-betul menyelesaikan permasalahan seperti itu.
Kita bisa mengatakan, bisa mengabarkan pada dunia, Islam membawa rahmat bagi semesta alam. Dengan cara itu saya yakin bisa kita menjadikan itu solusi bagi perdamaian dunia, bagi seluruh bangsa-bangsa dan dimulai dari negeri kita sendiri. Itu termasuk tiang peradaban. Peradaban yang lain adalah bagaimana sebagai bangsa yang besar kita menghormati perbedaan, kemajemukan. Soal akidah tidak ada kompromi, saya kira para ulama memberikan tausiah, memberikan nasehat, memberikan pandangan-pandangan itu kepada kami semua. Tetapi tentu sebagai bangsa yang majemuk kita menghormati saudara-saudara kita yang lain, apapun agamanya, apapun etnisnya, apapun sukunya, apapun daerahnya, apapun organisasi ke-Islam-an nya, apapun partai politiknya kalau perlu, saling hormat, menghormati. Kenapa harus hantam- menghantam, serang menyerang dan sebagainya.
Yang saya maksudkan organisasi kemasyarakatan, organisasi ke-Islam-an harus lurus bersumber pada Al Quran dan Al hadis tentunya seperti itu. Kalau menyimpang tentunya tidak bisa lantas kita anggap baik-baik saja, mesti diselesaikan secara baik kembalikan pada tuntunan yang sudah ada Al Quran dan Sunnah.
Saya hanya ingin mengajak peradaban bangsa yang mulia inilah yang akhirnya membuat perjalanan negeri ini makin berjalan ke arah yang benar. Kalau peradabannya baik, insya Allah para ulama, para Kyai selamat negara kita, makin maju negara kita, menghadapi krisis. Dunia sekarang sedang ada krisis perekonomian global, krisis keuangan, tahun lalu krisis energi, krisis pangan akan masih banyak krisis-krisis iklim pemanasan global dan sebagainya. Tapi, kalau peradaban kita mulia, peradaban kita unggul, kita menang di negeri sendiri dan kita menang pada pergaulan internasional.
Itulah ruh dari semangat Kebangkitan Nasional, itulah misi besar, tugas besar, agenda besar kita semua yang mesti di jalankan bersama-sama tidak cukup hanya seorang Presiden, hanya Menteri, hanya Gubernur, Bupati, Walikota tetapi juga kepeloporan kepemimpinan para ulama, kelibatan semua pihak untuk mencapai pada hal-hal seperti itu.
Dan yang terakhir, masih berkaitan dengan peradaban sekarang ini kita berada dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Saya mengajak selaku Kepala Negara marilah proses demokrasi kita jalankan dengan baik, tidak baik fitnah memfitnah, tidak baik serang menyerang, tidak baik hujat menghujat. Kita harus saling menghormati satu sama lain. Saya menghormati Pak Jusuf kalla, Pak Wiranto, saya menghormati Ibu Megawati, Pak Prabowo, saya menghormati siapapun dengan pilihannya masing-masing, silahkan, monggo, monggo, silahkan ya. Tidak boleh kita lantas memutus silaturahim, Islam melarang. Pemilihan umum itu sebentar lagi selesai, apakah kita harus berjarak, bermusuhan selamanya, 5 tahun kita tidak bersatu, tidak rukun, lantas dapat apa negara? lantas dapat apa masyarakat? tidak baik. Dalam pemilu ya kompetisi sehat, ksatria, beretika, berbudaya selebihnya serahkan pada Allah SWT dan rakyat yang memberikan pilihannya nanti.
Kalau itu yang kita jalankan insya Allah pemilu kita akan makin baik, kehidupan demokrasi berakhlak, ingat kebebasan tidak boleh sebebas-bebasnya harus ada akhlaknya, ada budipekertinya, ada tanggung jawabnya, itu bertentangan dengan nilai-nilai agama, Islam pun tidak bisa membebarkan freedom demokrasi kebebasan tanpa batas, menganggu yang lain, tidak boleh. Mesti ada tenggang rasanya, ada tanggung jawabnya, ada manfaatnya, ada akhlaknya dan sebagainya.
Itulah para ulama yang ingin saya sampaikan. Sekali lagi marilah kita lanjutkan kebersamaan membangun bangsa sesuai dengan tema besar memperingati 101, Kebangkitan Nasional kita. kepada para ulama teruslah membimbing umat, membimbing kami semua para umaroh agar kami bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Sampaikan salam saya kepada keluarga, kepada para santri, kepada saudara-saudara kita, semuanya, agar sekali lagi yang saya ceritakan tadi kemandirian, daya saing dan peradan bangsa, bisa kita bangun bersama-sama.
Sekianlah, semoga Allah SWT mendengarkan niat baik kita, meridhoi cita-cita kita, memberikan jalan bagi pencapaian tujuan yang mulia itu.
Sekian.
Wassalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.
Biro Naskah dan Penerjemahan
Deputi Menseneg Bidang Dukungan Kebijakan
Sekretariat Negara RI