SAMBUTAN PRESIDEN RI, PROGRAM PENDIDIKAN REGULER ANGKATAN KE-42 LEMHANNAS TAHUN 2008, 2-12-2008
SAMBUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA
PROGRAM PENDIDIKAN REGULER ANGKATAN KE-42
LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008
DI ISTANA NEGARA, JAKARTA
PADA TANGGAL 2 DESEMBER 2008Â Â
Bismillaahirrahmaanirrahiim,Â
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Â
Selamat sore,Â
Salam sejahtera untuk kita semua,Â
Para Menteri Koordinator dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Panglima TNI, Kapolri, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pertahanan dan Keamanan, Saudara Gubernur Lemhanas, para Widyaiswara, para Pejabat Senior Lemhanas, para Peserta PPRA ke-42 yang saya banggakan.Â
Marilah sekali lagi, pada kesempatan yang baik dan insya Allah penuh berkah ini, kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kepada kita masih diberi kesempatan, kekuatan, dan kesehatan untuk melanjutkan karya, tugas, dan pengabdian kita kepada masyarakat, bangsa, dan negara tercinta. Kita juga bersyukur hari ini dapat bersama-sama berkumpul di Istana Negara ini untuk pertama, mendengarkan presentasi dari peserta PPRA atas seminar yang telah dilaksanakan yang mengangkat tema Sistem Kepemimpinan Nasional, atau Upaya Meningkatkan Kualitas Sistem Kepemimpinan Nasional, tentunya untuk dapat menjadi bagian dari penyelenggaraan kehidupan bernegara, bukan hanya penyelenggaraan pemerintahan saja, yang lebih baik tentunya.
Saya memberikan penghargaan kepada Lemhanas, kepada peserta PPRA, dan kepada Brigadir Jenderal TNI Murdoko dan Saudara Gustav Simbolon tadi yang telah mewakili para peserta yang lain dalam mempresentasikan pokok-pokok pikiran dari hasil seminar yang telah dilakukan, dan juga tentunya kita bisa berinteraksi pada sore hari ini, langsung ataupun tidak langsung. Saya yakin para Menteri, Panglima TNI, Kapolri, Staf Khusus, bahkan Pak T.B. Silalahi sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, ikut menyimak apa yang disampaikan tadi, dan saya tugasi sekaligus karena ada sarannya tadi, saran dari Lemhanas, saran dari peserta, Indonesian National Leadership Index, itu bisa dikomunikasikan ke publik, begitu, tolong dipelajari, lakukan proses interaksi dengan Lemhanas, Lemhanas dengan peserta. Untuk nanti ditarik kesimpulan-kesimpulan apakah pikiran yang baik itu perlu disosialisasikan secara formal atau menjadi bagian dari proses pengembangan demokrasi dan sistem politik di negeri kita, termasuk dalam penyiapan dan pengembangan calon-calon pemimpin di negeri ini. Â
Saya mengangkat, yang dimaksudkan dengan pemimpin-pemimpin nasional itu, ya pemimpin di berbagai bidang kehidupan bernegara, yang semuanya mengemban peran dan fungsi untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara itu. Jadi tentu mencakup dimensi dan aspek yang luas. Silahkan nanti dikaji dengan baik, sebab tujuan yang baik, lantas pilihan metodologinya keliru, bisa juga tidak membawa kebaikan. Mungkin bisa menimbulkan salah persepsi dari publik. Ini... apa ya... seperti itu..pengindeksan, bahasa Indonesianya apa? kalau indeks? Pengindeksan atau pengindekan? Dibahasa Indonesiakan indek atau indeks? Silakan dialih bahasa, saya bukan ahli bahasa, yang pas seperti apa. Sehingga, sekali lagi, niat yang baik, tujuan yang baik, itu membawa kebaikan, begitulah dalam kehidupan yang nyata di dunia ini termasuk di negeri kita. Silahkan nanti para Menteri, Gubernur Lemhanas, direspon, dikaji dengan seksama.Â
Saudara-saudara,Â
Yang ingin saya sampaikan ini ada 2 hal. Pertama, saya ingin merespon secara singkat, karena diminta tadi oleh Brigjen Murdoko, apa yang perlu saya berikan respon dan tanggapan dan masukan. Dan kemudian, karena Pak Muladi juga menyinggung tadi, saya baru saja mengemban tugas di berbagai forum internasional, mungkin ada baiknya kalau saya memberikan oleh-oleh sedikit perkembangan perekonomian global dewasa ini, termasuk krisis keuangan dan resesi ekonomi yang barangkali juga Lemhanas turut berpikir bagaimana kita sebagai sebuah bangsa menyikapi, merespon dan mengatasinya secara bersama, agar perekonomian kita selamat dan terus dapat kita pelihara momentum pertumbuhannya. Dua hal itulah yang secara singkat ingin saya sampaikan.Â
Yang pertama, juga disarankan tadi, kalau indeksnya sudah ketemu, begitu cara berpikirnya, maka perlu pula dibentuk satu Pusat Pelatihan Kepemimpinan, National Leadership Training Center. Tolong dipikirkan juga, menurut penilaian saya, Lemhanas ini sesungguhnya sudah satu center, satu institution, yang berkaitan dengan leadership training, management strategy, policy making training. Jadi, sebetulnya cakupannya dari situ. Lemhanas, institusi milik negara yang dirancang, didesain, diperlengkapi, dioperasikan, untuk mencapai tujuan-tujuan itu sehingga aspek yang diajarkan, yang diteliti, dan dikembangkan adalah aspek-aspek yang bersifat strategis. Tentu Lemhanas bukan satu-satunya institusi, banyak di luar itu institution training yang berada dalam dunia bisnis atau cabang-cabang profesi yang lain, itu juga diletakkan sebagai bagian dari pengembangan kepemimpinan. Atau mungkin, tidak structure, tidak terstruktur seperti Lemhanas, seperti Leadership Training yang dibangun oleh dunia swasta dan dunia bisnis. Tracknya, track yang tidak kentara, tapi sesungguhnya itu penyiapan dan pengembangan kepemimpinan di cabang-cabang profesi yang lain.
Oleh karena itu, pendapat saya, Lemhanas yang sudah didesain, diberikan peran dan fungsi politik, dimantapkan, direvitalisasikan agar ke depan makin efektif, makin berkemampuan untuk mengemban tugas, menghasilkan peserta didik yang memiliki, katakanlah kecakapan untuk memimpin dalam strata strategis.  Saudara-saudara, Mari kita tajam dan cermat dalam melakukan pendefinisian. Kalau saya dengar tadi memang banyak sekali isu yang dituangkan, banyak sekali faktor yang dimasukkan, banyak sekali dimensi, cakupan yang masuk. Ini kalau dalami benar-benar, setiap kalimat itu bisa menjadi judul pass card sendiri itu, banyak sekali. Ya, itu bisa satu ensiklopedia, masing-masing punya sebetulnya makna yang dalam.
Oleh karena itu, nanti setelah ditata kembali pikiran-pikiran baik, pikiran-pikiran mendasar ini, tolong ini intinya membicarakan sistem atau membicarakan upaya meningkatkan kualitas kepemimpinan atau ini membicarakan proses pengembangan seorang pemimpin, baik dari recruitment, apakah ini bicara leadership in action dengan situasi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, atau kalau umum situasi yang dihadapi oleh negara-negara tertentu dan peran pemimpin atau kepemimpinan seperti apa. Â Tolong lebih tajam, lebih fokus, supaya kita tidak terlalu berat pikiran kita untuk memahami karena banyak sekali yang dituangkan di situ. Yang paling relevan dengan negara kita seperti apa, dan tolong diawali dengan pendefinisian, apa yang dinamakan kepemimpinan nasional. Nanti bisa disalahmengertikan, bolak-balik bicara pimpinan nasional dikira Presiden, padahal saya kira Saudara ingin mengangkat pemimpin-pemimpin di negeri ini pada strata nasional. Keliru nanti, tafsiran politiknya jadi berbeda, ini musim kampanye, musim pemilu, salah-salah nanti tidak baik, karena di antara kita ada yang amat berbahagia kalau berburuk sangka pada orang lain, padahal puncak kebahagiaan dan insya Allah pahalanya tinggi itu kalau berbaik sangka. Yah, kita jalani itulah kehidupan.
Oleh karena itu, kita baik-baik merumuskan supaya tidak disalah mengertikan, not to be misunderstood by others, bahasa Inggrisnya begitu kira-kira. Atau Saudara ingin melihat kepemimpinan dalam konteks, dalam circumstances, situasi yang begini penuh tantangan, silakan. Karena saya diajari oleh guru saya, yang bagus itu kalau membikin masalah yang ruwet, yang kompleks, secara sederhana. Ada juga yang punya kebahagiaan, sesuatu yang sederhana terlalu diilmiahkan sehingga kita senang memang, tapi lama-lama kok kenapa jadi rumit begini. Kalau istilahnya tulang Sudi Silalahi, kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah.  Baik, ini pandangan saya, anjuran saya supaya lebih sederhana, lebih fokus, jelas alur pikirnya, dan masalah-masalah yang tidak terlalu relevan dikeluarkan saja, supaya betul-betul lebih mudah kita.Â
Saudara-saudara,Â
Saya lihat isu-isu yang penting ada di situ, Saudara juga melakukan pembelajaran. Kita ini hidup dalam hubungan global, Saudara mengangkat, ya kita harus sering bercermin, di mana letak Indonesia kita ini, negeri kita ini, dari mana, berada di mana, mau ke mana. Diangkat tadi Global Competitiveness Index, Human Development Index, ukuran kita menurut transparansi internasional dan segi Corruption Index, dan banyak sekali. Belum yang ekonomi, standard yang poor, moody, yang dilaksanakan rating agency.  Pandangan saya, sekali-kali kita memang harus bercermin untuk melihat apa yang kurang, ada kemajuan tidak, ada progress nggak apa yang paling fundamental yang masih kurang pada diri kita, bisa pribadi, bisa keluarga, bisa masyarakat, bisa bangsa, bisa negara. Seperti sekarang ini, gaduh tentang polling, polling politik, polling non politik. Kalau saya ini, staf saya juga tahu, Menteri-menteri yang dekat dengan saya, saya selalu menyimak polling yang tentu reliable, yang credibel, bukan polling-polling yang dipesan oleh pihak-pihak tertentu. Hasilnya yang paling baik begini, belum-belum kok bicara hasil, baru mau survei. Untuk mengetahui, jadi kalau seorang Gubernur tahu bagaimana denyut nadi, pikiran-pikiran dan perasaan masyarakat di provinsi itu kan bagus.
Demikian juga seorang Bupati, demikian juga seorang Walikota, seorang Menteri, seorang Presiden. Saya kalau melihat polling saya, misalkan popularitas saya drop, saya segera mencari tahu, berapa, oh memang, karena kemarin ada banjir, ada kecelakaan pesawat terbang, atau parah sekali dengan sangat terpaksa, saya menaikkan harga BBM. Saya terima, saya mengerti, mengapa ada kemarahan yang diekspresikan dalam polling itu. Ketika akhirnya dimengerti dan keadaan diatasi, dan policy, program, ada keputusan saya, barangkali cocok di hati masyarakat, mereka memberikan dukungan, barangkali mereka tahu arah dari policy dan keputusan ini. Saya kalau bagus, ya bersyukur, alhamdulillah, kalau jelek saya terima mengapanya sambil terus mengelola permasalahan itu, karena ada pepatah: “buruk muka cermin dibelahâ€. Cerminnya yang dibanting, bukan kita perbaiki. Poin saya adalah bercermin itu penting, dengan cermin yang benar atau cermin yang bisa menipu perasaan kita. Begini, ini masalah gemuk dan kurus, langsing dan tidak langsing. Kadang-kadang di kaca itu kan lebih kurus, padahal kita masih gemuk. Jadi keliru atau sebaliknya. Jadi cerminnya juga harus pas.
Oleh karena itu, saya juga mengkritik sebetulnya sambil sering bercermin. Ada rating agency yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional kadang-kadang tidak tepat. Mungkin datanya lima tahun yang lalu, tidak sering di update, sumbernya tidak valid, dan sebagainya, sehingga Indonesia juga sering dirugikan. Contoh, kita ini dulu, selama ini patuh di dalam memenuhi kewajiban kita. Kalau dulu berhutang, kita tidak pernah ngemplang, meskipun alhamdulillah hutang kita sudah jauh menurun dalam arti debt to GDP ratio, itu contoh. Tapi kadang-kadang negara lain yang justru tidak tertib, tidak disiplin, kok ratingnya bagus.  Pernah di ruangan ini Saudara-saudara, kita dipilih tahun lalu, kalau tidak salah, sebagai tempat peluncuran dari program PBB tentang pemberantasan korupsi. Saya bertanya malam hari kepada Menlu, “Eh, Menlu kenapa di sini? Pak, ini apresiasi, recognition. Oke. “Kenapa? Kita dianggap gigih, dianggap progressive, dianggap serius memberantas korupsi negara ini.†Pendek kata, ya sudah kita terima. Nah, malam harinya ketika saya sedang mereview, ada penilaian dari PBB. Setelah saya buka Indonesia, banyak sekali angka, data yang out of date, ya meskipun oke, baik, tapi jelas-jelas salah. Kalau begini datanya kan pantas disitu, padahal kita lebih tinggi peringkatnya. Pak Hasan, saya protes ini, tolong sampaikan, disampaikan betul kepada pimpinan yang akan ditemui, minta maafnya berkali-kali, berjanji akan di update. Â
Pelajaran yang kita bisa petik adalah dalam menggunakan indeks, dalam menggunakan hasil survei, dalam menggunakan cermin harus diyakini itu kredibel, metodologinya sahih, sampelnya benar, kemudian objektif, non partisan, dan sebagainya. Termasuk tidak selalu lembaga penilai internasional itu juga betul-betul obyektif, betul-betul seperti yang kita harapkan. Tapi intinya, saya senang kalau Saudara menganjurkan, kita ini saya tidak merasa sudah begitu hebat, harus juga melihat. Melihat itu ada dua macam, membandingkan dengan pihak lain yang setara atau melihat dari masa lalu ada perkembangan tidak, Indonesia, ekonomi kita sepuluh tahun yang lalu seperti apa, lima tahun yang lalu seperti apa, sekarang seperti apa. Begitu cara membandingkan. Ini metodologi ilmiah yang harus kita biasakan sehingga yang muncul di negeri ini adalah kekuatan rational, bukan energi emosional dalam arti yang negatif.Â
Saudara-saudara,Â
Tadi disebutkan dalam Indonesian National Leadership Index, itu ada empat ya, Pak Simbolon, ya moralitas individual, moralitas sosial, moralitas institusional, dan moralitas global. Coba ditajamkan nanti satu persatu karena sebetulnya kalau ini mengukur diri seorang pemimpin, conventional wisdom yang kita anut, kalau kita mudah saja memilih pemimpin, memberikan penilaian kepada kepemimpinan itu kan  dua, satu, integritasnya, moralitas termasuk di situ, yang kedua kapasitasnya, kemampuannya. Jadi semua orang kalau punya dua modal ini, integritas dan kapasitas biasanya akan berhasil dalam menjalankan tugas atau peran kepemimpinan. Â
Oleh karena itulah, karena dua tadi adalah modal awal, integritas dan kapasitas dilihat lagi dari performance kinerjanya. Jadi kalau kita melihat sebetulnya integritasnya, kapasitasnya, dan apakah ketika yang bersangkutan memimpin strata apapun dari lembaga eksekutif, lembaga legislatif, di pusat, di daerah, di parpol, di ormas, di apapun, pemimpin bisnis, pemimpin profesi apapun bisa dilihat disitu. Tolong cakupan-cakupan itu juga diperhatikan sehingga jangan seolah-olah, meskipun sangat penting moralitas ini, yang sangat ditentukan moralitasnya, padahal di samping moralitas juga ada aspek-aspek lain yang diperlukan, kapasitas dalam arti yang luas, dan kemudian kinerja dari yang bersangkutan.Â
Saudara-saudara,Â
Di situ saya, ini tadi mengikuti apa yang disampaikan, jadi sistematikanya saya ngikut saja dari alur yang disampaikan Pak Murdoko dan Pak Simbolon tadi. Disebut peran partai politik, yang oleh Saudara dianggap perlu ditingkatkan, kan begitu. Partai politik ini memang berfungsi menyiapkan kader dan calon-calon, apakah yang akan bertugas di legislatif, apakah yang bertugas di eksekutif. Sekarang contohnya, parpol berlomba-lomba untuk menyiapkan kadernya menjadi Caleg di DPRD Kabupaten Kota, DPRD Provinsi, dan DPR RI. Â Dalam Pilkada, parpol-parpol menyiapkan kadernya untuk menjadi calon Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, dan tahun depan parpol-parpol juga menyiapkan kadernya untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden, itu fungsi partai politik. Setelah yang dicalonkan elected, di wilayah politik itu election, domain politik election, maka sebenarnya dia sudah menjadi pejabat publik. Gubernur, Bupati, Walikota, Presiden tidak boleh lagi seolah-olah milik partai itu, tidak boleh lagi seolah-olah garisnya kepada pimpinan partai politik itu. Sudah wilayah negara, wilayah pemerintah. Garisnya, garis batas struktur kenegaraan dan kepemerintahan. Nah di sini, ini juga pemahaman dasar tentang politik dan sistem politik. Ini penting untuk kita semua memahami di mana seseorang sebelum dan setelah election dilakukan.Â
Ada juga, Saudara mengangkat yang tidak elected tetapi appointed, dipilih, diangkat. Saya mengangkat para Menteri, saya mengangkat Panglima TNI, mengangkat Kapolri, mengangkat Jaksa Agung, dan sejumlah pejabat-pejabat Pemerintahan. Tentu di situ bukan elected, appointed dengan dirinya, dengan sistem, dengan tatanan. Untuk diketahui saja bahwa di mana domain politik dan di mana bukan domain politik, benar, ya tidak boleh, dan tidak sepatasnya urusan Sekjen, Dirjen, Irjen, Eselon I di Pemerintahan, kok ada ikut-ikutan partai politik, jelas salah, dan saya terus memberi contoh dalam penyelenggaraan Pemerintahan tidak boleh terjadi. Dan saya minta Gubernur, Bupati, Walikota yang semuanya elected, dipilih, dalam mengangkat pejabat-pejabatnya harus bebas betul dari tekanan-tekanan ataupun kepentingan politik. Setuju semuanya itu, Saudara-saudara?
 Saudara-saudara,Â
Kemudian tadi disampaikan, Saudara menyarankan sekali lagi agar indeks, Indonesian National Leadership Index ini pada saatnya bisa dikomunikasikan. Tolong dibicarakan dulu dan nanti dipilih sendiri oleh Lemhanas, saya tidak berwenang dan tidak akan memberikan instruksi cara mensosialisasikannya harus begini, timbang-timbang saja. Ingat, setelah matang, setelah klop, kalau ini sebagai satu referensi, satu pemikiran, silahkan dikomunikasikan. Tapi kalau kita formalkan, diangkat oleh Pemerintah, Presiden mengeluarkan Keppres, Inpres, untuk mensosialisasikan bisa menimbulkan salah tafsir, saya kira itu nanti. Database lulusan leadership training itu atau database lulusan Lemhanas saya kira mestinya sudah dimiliki oleh para pimpinan lembaga-lembaga negara dan lembaga Pemerintahan. Harapannya tentu, sudah capek-capek, sudah luar biasa investasinya, sudah belajar setengah mati, lulusan Lemhanas jangan sampai dilupakan, kan begitu. Saya mengerti, dengan catatan tidak berarti kalau sudah lulus Lemhanas sudah selesai, kembangkan diri terus, asah dirinya terus, berprestasi pada setiap jenjang penugasan. Kalau itu yang terjadi, percayalah akan masuk radar terus, kalau tidak ya mungkin bisa, bukan jauh di mata dekat di hati, dekat di mata jauh di hati.Â
Saudara-saudara, Ada satu hal yang ingin saya sampaikan, ini penting karena ini merupakan pemahaman dasar, jangan seolah-olah leadership, leader, kepemimpinan, pemimpin, itu pasti bisa mengatasi semua persoalan di sebuah negara. Memang ada kata-kata leadership matters, kepemimpinan itu penting, orang mengatakan sangat penting, kunci. Tapi ingat, negara itu berjalan, negara itu dikelola oleh banyak faktor, sistem, nilai, dan kultur, tingkat kompleksitas permasalahan, circumstances, sedang musim krisis tidak atau ada faktor-faktor eksternal yang begitu yang mempengaruhi keadaan dalam negeri itu, seperti sepuluh tahun yang lalu krisis keuangan Asia, tambah dalam negeri kita memang sedang susah.
Ada krisis kepemimpinan, ada reformasi berskala besar, dan sebagainya. Jadi banyak faktor.  Thailand sekarang, apakah kepemimpinan itu, atau karena memang ada krisis demokrasi. India, Pakistan, apakah kepemimpinan, kawan-kawan saya, saya kenal semua perdana menterinya, presidennya, atau memang keadaan dalam negeri yang sedang sarat dengan gangguan-gangguan keamanan yang khas. Misalnya, Amerika Serikat leadershipkah dengan resesi yang luar biasa, bubble ekonomi yang runtuh, pasar modal yang terguncang, rontoknya perbankan dan industri-industri perusahaan besar? Leadership atau itu suatu circumstances yang tidak disadari karena bertahun-tahun ada bubble economy, tidak riil, kemudian jatuh. Tolong jangan seolah-olah pemimpin can do everything. Pemimpin memang can do many thing, can do a lot of thing, tapi tidak bisa terus bisa menyelesaikan semuanya. Banyak sekali faktor-faktor yang harus dikelola, dipecahkan secara bersama meskipun saya setuju bahwa kepemimpinan itu kunci, kepemimpinan itu sangat penting dalam organisasi manapun, dalam kehidupan profesi apapun, termasuk kehidupan politik di sebuah negara ataupun di suatu daerah.
Disarankan juga tadi Eselon I syaratnya harus Lemhanas. Ada Menpan di sini, dipikirkan masak-masak, sebab sekali ada keputusan, kalau ada peraturan pemerintah yang tanda tangan saya. Sekali tanda tangan, resiko itu pada saya. Pemimpin tidak boleh, begitu mengambil keputusan, keputusannya tidak, bukan saya itu, yang bikin itu kan konsepnya, tanya itu yang dulu kan. Itu justru prinsip yang paling mendasar. Pemimpin itu kan menurut saya tanggung jawab, responsibility, accountability. Memang sebelum saya teken, saya bisa bertempur dengan para Menteri saya, bisa aduh, bisa tiga hari tidak tidur, karena saya, ini dasarnya tidak tepat, logikanya lemah, apa pas begini, ini solusi atau masalah. Kita terus tapi wong saya tandatangan bismillaah, saat itu berada di tangan saya, begitu. Â
Oleh karena itu, ketika tadi syaratnya harus Lemhanas, di lihat dulu. Mungkin kalau Lemhanas itu sebagai faktor penguat daya saing barangkali setelah dilihat calon apa misalkan, Dirjen Pajak misalkan. Calonnya A sama B, sama-sama lulusan Sarjana Ekonomi, S1-S1, atau S2- S2, atau bahkan ada yang Doktor. Pemahaman tentang pajak seperti apa, riwayat penugasannya di perpajakan, di Departemen Keuangan, atau di Lembaga Pendidikan, atau di Asosiasi, atau di orang, di company yang sukses, background finance, seperti apa, integritasnya, knowledge yang lain. Misalkan seimbang semua, sama itu ketemunya 10,03 misalnya, nah calon A ini Lemhanas. Kalau saya yang sebagai pengambil keputusan, A.  Misalkan lain, calon Dirjen yang Eselon I ini, Dirjen Bea Cukai. Ini kok senengnya kok yang bongso begitu-begitu. Pajak, Bea Cukai, penting, harus bersih, tidak macam–macam, jangan ada kekeliruan di situ dan negara yang dirugikan, yang milih saya langsung meskipun ada mekanisme TPA, tapi saya veto, tidak boleh miss memilih Dirjen Pajak dan Dirjen Bea dan Cukai.
Calon A, ini satu, A menguasai, B setengah–setengah. Yang A panjang pengalamannya, ini lumayan. Satu lagi, memotivasi yang tinggi untuk menertibkan, ini kadang-kadang. Disimpulkan calon A nilainya 80, calon B 40, maju ke saya. Pak, B saja, kenapa? Lemhanas Pak. Ya Lemhanas, tapi yang lainnya kadang-kadang, kurang, kalau ingat, ya nggak bisa.  Tapi pointnya adalah jangan tidak dihitung, jangan tidak dilihat, jangan investasi yang begini dalam untuk Lemhanas, itu diabaikan. Silakan nanti dipertimbangkan dengan baik bagaimana ada prestasi, ada investasi. Kita mengatakan merit system. Merit system itu ya yang punya kapasitas, yang punya ini, itu diutamakan, jangan karena kemenakan, jangan karena dan ini dan itu, apalagi kalau KKN, nepotisme, saya kira arah kita sudah tidak begitulah. Kalau masih ada satu, dua ya kita bereskan rame-rame, tapi semangat kita tidak di situ. Jadi barangkali dulu menghantui tapi sekarang insya Allah kita bersihkan bareng-bareng, merit system. Siapa yang punya prestasi, itulah. Itu respon saya secara umum terhadap pikiran Lemhanas tadi, utamanya PPRA XLII. Saya sudah berikan direction dan saya tadi tanggapi, dan mudah-mudahan pikiran baik Saudara itu membawa kebaikan.
Yang kedua, secara singkat saja, karena jarang-jarang saya bertemu seperti ini. Situasi perekonomian dunia, Saudara mengikuti setiap hari di koran, di majalah, televisi, talk show, obrolan di warung cafe, di Lemhanas ini, baik media dalam negeri, media luar negeri, ya itulah memang yang sedang terjadi di dunia yang kita cintai ini. Saya kebetulan mendapat kesempatan sejarah, tahun ini menghadiri empat summit. Yang dua itu memang jatah, tapi yang dua ini sebetulnya kehormatan bagi Indonesia karena pertama kali dalam sejarah, Presiden Indonesia diundang dalam forum yang sangat prestisius itu. Itu pertama pada bulan Juli menghadiri G8+8. Nah, kita masuk yang plus delapan. Kalau G8-nya kan negara-negara yang sudah lamanya mengatur dunialah itu. Â Itu membahas tentang krisis pangan, krisis energi, dan krisis iklim. Setelah itu, kita bertemu di Beijing, dalam pertemuan puncak pemimpin Asia dan Eropa. Tekanannya sudah pada krisis keuangan dan juga sedikit krisis iklim dalam arti climate change dan global warming, dan sekaligus food security dan energy security, itu yang kedua. Â
Yang ketiga, di Washington DC dua minggu yang lalu, itu yang kita bersyukur karena kita masuk sekarang dalam G-20 summit. Selama dua hari kita mencari solusi ke mana krisis keuangan global ini tidak berlarut-larut dan segera bisa kita pulihkan dalam jangka waktu tertentu. Â
Nah, yang keempat, minggu lalu di Lima, di Peru, itu jatah. Dalam arti, APEC itu dilaksanakan tiap tahun, pemimpin dari komunitas ekonomi Asia Pasifik. Dari kehadiran saya beserta para pemimpin dunia yang lain, di empat forum itu kita sepakat bahwa kerja sama global mesti ditingkatkan dan diefektifkan untuk mengatasi masalah keuangan. Â Saudara-saudara, Â Kita ini kan innocent, kita tidak bersalah, kita tidak tahu-menahu, sedang asyik-asyiknya membangun kembali perekonomian kita, semuanya is progressing well, fundamental kita depth stronger, pertumbuhan terjadi, daya beli atau income per kapita terjadi, makin baik, pendapatan domestik bruto, nilai tukar, cadangan devisa, angka kemiskinan, dan angka pengangguran. Semua itu progressnya baik dan itulah kita dimasukkan komunitas G8+8 dan G-20. Tiba-tiba ada tsunami, tsunami keuangan, episentrumnya di Amerika Serikat, subprime mortgage crisis menjalar ke Eropa, menjalar ke seluruh dunia, terjadilah seperti sekarang ini. Â Indonesia sebetulnya, dibandingkan negara-negara lain masih beruntung karena tidak semua kita punya sistem keuangan, sistem pasar modal, perusahaan-perusahaan kita connected dengan akar masalah itu. Tapi kadang-kadang kita, Indonesia ini globalisasi, masa nggak bisa mengintegrasikan dengan perekonomian dunia, harusnya online, begini, begitu, segala macam. Kita memang sedang berbenah. Tapi ya Tuhan menolong kita. Coba kalau kita betul-betul connected dengan semuanya, lebih rontok kita, satu.
Namun demikian, tetap kita rasakan. Mengapa? Â Resesi di Amerika, resesi di Eropa, pasar untuk produksi barang dan jasa Indonesia akan menciut. Mereka resesi, sedang tidak mau membeli maka berpengaruh kepada industri-industri yang memproduksi barang dan jasa untuk di ekspor. Kalau itu terpengaruh maka performance perusahaan akan menurun, bisa mempengaruhi tenaga kerja, bisa mengurangi pembayaran pajak kepada negara dan sejumlah list akibat itu. Ini kalau kita biarkan saja, contohnya seperti itu. Lantas dengan gonjang-ganjing seperti ini kita punya saham indeks gabungan yang begini, kita nomor 2 terbaik setelah Korea dan Shanghai waktu itu, sekarang ikut rontok, meskipun tidak dalam sekali bersama-sama yang lain ikut menurun. Nilai tukar Rupiah kita melemah, bersama nilai-nilai tukar yang lain. Itu akibat tidak stabilnya global financial market, global capital market, global exchange world market. Pasar itu ada pasar uang, ada pasar modal, ada pasar valuta asing, semua akan kena. Kalau itu dibiarkan lagi maka sektor ril akan terganggu. Ada yang disebut dengan real economy. Kalau sektor riil terganggu, itu roda perekonomian di seluruh Indonesia juga terganggu. Â Jadi turunan, derivasinya panjang ternyata, meskipun episentrumnya di Amerika Serikat.
Seperti tsunami dulu antara Simeuleu dengan Nias, tapi gelombangnya menjalar yang habis tentunya Aceh dan Nias. Sama saja yang rontok Amerika Serikat dan negara-negara tertentu. Tapi tsunami Aceh dulu banyak yang kena negara lain, Thailand kena, Srilanka kena, India kena, dan sebagainya, sama dengan tsunami keuangan ini.  Jadi harus paham betul. Inilah realitas dari globalization, realitas dari interconnectedness dari perekonomian kita. Realitas atau konsekuensi dari terintegrasinya perekonomian kita dengan perekonomian dunia. Ada pertanyaan, “Ngapain kita mau mengintegrasikan perekonomian kita dengan dunia?†Sejarah tidak bisa dibalik mundur. Ketika VOC datang abad ke-17, ketika terjadi revolusi industri abad ke-18, ketika bangsa-bangsa Eropa datang pada masa-masa itu, sesungguhnya perekonomian kita sudah terintegrasi dengan globalisasi tahap pertama, dengan perekonomian global tahap pertama. Memang masih komoditas pertanian dibawa ke sana, dan seterusnya. Â
Sejak itu, ketika mendiang Bung Karno memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia, saya pelajari kebijakan dan strategi perekonomiannya. Kita sudah terintegrasi, maskapai asing banyak di sini, sudah terikat dengan pasar dunia. Masuk pada era Pemerintahan mendiang Pak Harto, makin terintegrasi sebagaimana seluruh perekonomian dunia juga terintegrasi. Bogor Goals 1994 itu, APEC Declaration yaitu masuk pada open trade and investment di Asia-Pasifik lebih dalam lagi. Belum kontrak-kontrak pengusahaan sumber daya alam itu sejak Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan seterusnya. Â Ini adalah realitas, tidak bisa kita pakai time tunnel mundur sebelum VOC datang, sudah terjadi.
 Oleh karena itu, kita harus hidup dengan ini dan bagaimana ke depan menata kembali strategi, policy, aksi, paradigma, supaya perekonomian kita ini tidak sangat tergantung dengan perekonomian dunia, harus ada sabuk pengaman, harus ada tingkat survival-nya apabila terjadi goncangan yang hebat pada tingkat luar negeri. Itu yang kita lakukan sekarang dan ke depan.  Dari itu semua, Saudara-saudara, sebelum saya masuk, lantas apa solusinya tingkat global, tingkat regional, tingkat nasional.
Kelebihan lulusan Lemhanas, Saudara-saudara, dengan barangkali yang tidak punya kemampuan seperti Saudara, meskipun ada yang tidak lulus Lemhanas, mungkin punya kemampuan sama dengan Saudara. Orang bisa bicara dua jam A,B,C,D,E,F, teorinya luar biasa, begitu, nah, solusinya apa? Nah, itulah yang saya juga bingung. Dua jam ditunggu sampai habis, yang ngerokok habis dua bungkus, yang kopi habis 10 gelas itu, oke, oke, Pak ini sudah jam berapa ini?Terus gimana Pak, solusinya? Nah itulah, gimana kita ini. Karena nyerang lagi ini, ini, gini. Iya, Pak, jalan keluarnya gimana? Tunggu dulu, ini nggak bener, sampai selesai kok nggak ada solusi, bukan itu. Kalau menjadi troubleshooteer, bukan trouble maker, terus ketemu solusinya, solusi, opsi, way out. Jadi, setelah nanti diuji mau Eselon I, para Menteri memenuhi syarat semua, panggil yang bersangkutan, kasih case, singkat saja, solusinya apa. Kalau solusinya cespleng, masuk.
Solusinya, tidak ada bedanya. Â Tapi sebelum solusi begini, kita ini selama 20 tahun Saudara tidak merasakan apa yang salah di dunia ini. Semua perekonomian atau sebagian besar perekonomian bangsa-bangsa di dunia digantungkan, connected to, directly or indirectly kepada perekonomian Amerika Serikat. Memang Amerika Serikat GDP-nya 13 trilyun? Betul? GDP dunia itu 51 trilyun, besar. Semua ke sana. Padahal Amerika itu negara yang mengalami defisit yang besar, defisit perdagangan, defisit APBN, defisit neraca pembayaran. Kemudian, ada bubble economy, credit card society, yang ternyata tidak sadar itu juga konsumtif, menyimpan hutang harus dibayar dan sudah diramalkan. American bubble economy dan defisit yang begitu tinggi suatu saat bisa jatuh, sudah diramalkan, jatuh betul, dengan sumber subprime mortgage. Akibatnya semua yang connected to American economy, semua bermasalah. Yang tidak connected direct pun kena gelombang. Kita juga connected. Ekspor kita ini Jepang, Amerika Serikat, China baru negara-negara lain. Investasi kita, Jepang kemudian beberapa negara, termasuk Eropa, Amerika Serikat. Jadi ada koneksinya termasuk negara yang lain. Â
Oleh karena itulah, kemarin para pemimpin dunia, saya juga di situ, berpikir kalau begitu harus ada model baru hubungan perekonomian global yang tidak lagi harus bersandar, bergantung, directly connected to Amerika Serikat, disebut-sebut China. China itu sekarang emerging market terbesar. Meskipun susah, pertumbuhan masih 7%, kalau tidak susah 9%-11%, stimulus paketnya saja 600 trilyun kemarin itu. Jadi luar biasa. Â Tetapi kalau kita sangat menggantungkan pada China, pikiran saya, itu juga tidak, menurut saya bisa tidak baik. Lebih bagus kalau Asia Timur bisa kita jadikan pilar, China jelas, Jepang jelas, India jelas, ASEAN dan di situ Indonesia. GDP kita sekarang 550-an sebetulnya, billion, setengah trilyun lebih. Tapi kalau dengan purchasing power parities itu menjadi 834 billion US Dollar, sudah naik, dan itu termasuk 20 besar dalam GDP global, sebetulnya, kalau dalam artian itu. Â Kalau kita Asia Timur itu bareng-bareng menjadi penyangga, menjadi pilar mungkin akan lebih bagus.
Saudara tahu, gabungan Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, itu mencakup 30% dari perekonomian dunia, hanya 3 negara. Uni Eropa atau Eropa itu 22% dari total world GDP. Asia Timur, Asia Timur itu dalam arti luas ya China, Korea Selatan, Jepang, ASEAN, sekarang ya tambah India dan Australia, New Zealand, itu 20% dari GDP dunia. Jadi kalau semua itu ada 3 pilar dengan hubungan yang sinergi akan lebih bagus daripada heavily depending on satu kekuatan saja. Ini konstruksi, ini model, ini situasi yang terjadi sebelum krisis terjadi. Sekarang sadar bahwa tidak bisa begitu lagi, kalau begitu ini unsafe, unstable dan risky, beresiko tinggi. Â Sekarang sampai pada solusi. Masyarakat global setuju, sekarang ini yang penting menghentikan pendarahan, ibarat orang yang sedang mengalami bleeding keuangan ini, stop the bleeding. Yang kedua, memulihkan kepercayaan, yang masih termasuk itu, hentikan pendarahan, pulihkan kepercayaan, stabilkan pasar keuangan global. Ini tahap yang immediate, yang sedang dikerjakan sekarang dan bulan Maret nanti akan ada G-20 Summit lagi untuk mengevalusi, apakah efektif yang dilaksanakan masyarakat global sekarang ini. Pertama sepakat kemarin. Â
Yang kedua, kita sepakat juga bahwa ekonomi riil, real economy global tidak boleh terus jatuh dalam resesi sampai kapan. Maka ada teori yang namanya counter cyclical. Kalau Saudara ekonom, Saudara memahami teori Keynes, Saudara mendalami solusi ekonomi depresi besar tahun 1930-an akan tahu counter cyclical, ekspansi fiskal. Itulah sekarang sedang dilakukan oleh negara-negara yang mampu, yang tidak mampu akan dibantu. Â Oleh karena itu, lembaga keuangan dunia yang namanya IFI (International Financial Institution), yaitu World Bank, IMF, Asian Development Bank dan bank-bank yang lain, pooling dana. Jepang naruh 100 billion, 100 billion sama dengan 1.000 trilyun, negara lain. Itulah yang untuk menjadi second line of defence, menjadi stand by fund, stand by loan untuk membantu negara-negara yang maju. Tujuannya apa? Supaya terjadi pengucuran kredit, ada likuiditas. Tetapi sepakat juga, jangan ada yang menutup pintu, yaitu yang disebut proteksionisme. Tolonglah, semua begitu kemarin, pelihara openness dari perdagangan dan investasi. Ini bagian kedua dari solusi global. Â
Yang ketiga, diserahkan kepada masing-masing region dan masing-masing negara. Asia-Pasifik, Saudara tahu, Chiang Mai Initiatives mengumpulkan dana. Kemarin kita setujui jumlahnya akan menjadi antara 120 sampai 150 billion US Dollar. Siapa yang mengumpulkan? Tiga negara utama, Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan, 80% dari itu, 20%-nya ditanggung ASEAN 10. Itu akan dijadikan pool dana yang namanya Chiang Mai Initiatives, yang itu akan segera diberlakukan dan put in effective, berlaku efektif. Tapi masalahnya harusnya tanggal 17 ini kita berkumpul di Chiang Mai, di Thailand untuk mengesahkan itu sambil mengesahkan Piagam ASEAN yang baru, sambil mengesahkan Chiang Mai Initiatives. Thailand keadaan politik, sosial dan keamanannya tidak memungkinkan. Itulah saya mengusulkan kemarin, begini saja, kalau ditunda berlarut-larut tidak baik, Indonesia siap. Di Jakarta itu, para Menlu kumpul, sahkan ASEAN Charter di situ. Boleh yang memimpin rapat itu Thailand dengan Sekjen ASEAN. Saya menawarkan di Bali itu untuk para Menteri Keuangan, ASEAN 10 ditambahkan yang 3 supaya segera ketemu Chiang Mai Initiatives Framework ini sebelum diputuskan oleh leaders, oleh kita semua. Supaya ini betul-betul sampai bulan Maret sudah mulai berlaku efektif.  Kalau summit-nya, saya masih menghormati Thailand, silakan dipikirkan waktu yang baik. Tapi yang dua tidak boleh ditunda-tunda, tidak boleh nanti kan menganggu semua. Ini usulan saya dan sedang diolah.
Seperti kemarin di Beijing hampir tidak ada pertemuan ASEAN sama ASEAN +3. Saya bilang, ini kita kumpul di Beijing, Eropa ketemu, Amerika ketemu, Amerika Latin ketemu, masa kita nggak ketemu. Akhirnya disetujui usulan kita, Â dan di situ pertemuan. Ya untung sudah ketemu sekali, coba kalau tidak terus Thailand seperti ini. Point saya adalah tingkat regional kita juga ada framework untuk kerjasama, nah, akhirnya nasional. Â Itulah Saudara-saudara, sejak awal, bahkan bulan Ramadhan, libur nasional Idul Fitri kami bekerja. Pengalaman 10 tahun yang lalu kita rontok, karena semua bekerja sendiri-sendiri.
Dulu Pemerintah sendiri, Bank Indonesia sendiri, dunia usaha sendiri, kabur sendiri-sendiri karena nggak jelas, no trust, no confident, BLBI rontok, semua rontok dalam sekali, dari 7% minus 13%. Itu great suffering luar biasa. Memulihkannya Saudara-saudara, 2005 baru kembali di atas 5%. Sekarang di atas 6%. Mestinya, mestinya kalau tidak ada musibah ini, tahun depan kita bisa menuju, mendekati 7%, mestinya. Yang jelas ini datang persoalan, harus kita atasi. Maka kita satukan, tidak boleh masing-masing. Ketika dengan cepat kita keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Perpu, kita keluarkan PP, langkah-langkah BI, langkah-langkah Pemerintah sudah kita pikirkan bersama-sama dengan semuanya, termasuk dunia usaha, ekonom, BI, Pemerintah. Saya ingin sejak awal dan seterusnya mengatasi krisis ini harus bareng-bareng supaya ada mutual trust, mutual confidence di antara kita.
Yang penting bagi kita, APBN dulu kita amankan. APBN itu komponennya harus ada social safety net, besar di atas 60 trilyun untuk memelihara kebutuhan rakyat kita, bantuan-bantuan langsung dan bantuan tidak langsung, itu besar. Komponen berikutnya lagi untuk stimulasi pertumbuhan,  infrastructure building, job creation, itu juga besar. Baru komponen yang ketiga untuk mengurus kegiatan kita ini. Kalau pulang setiap sore berhemat, yang enggak perlu-perlu hentikan dulu, yang bisa ditunda nanti saja pembiayaannya, bangun gedung, bangun segala macam, yang bisa ditunda, tunda. Sehingga kita fokus, APBN kita amankan, pasti ada defisit, pasti ada defisit, kita tutup dari sumber-sumber yang aman. Alhamdulillah, karena ekonomi kita sebelum krisis ini dianggap baik dan di Washington dipuji Indonesia langsung oleh World Bank. Contohnya Indonesia dan Meksiko, selama ini baik, fiskalnya baik, pengelolaannya baik, pertumbuhannya baik, haruskah Indonesia menderita karena krisis ini? Tidak adil. Yang ngomong bukan Presiden Indonesia ke-6, yang ngomong adalah Pimpinan dari Bank Dunia.
Oleh karena itulah, dengan kita keluarkan APBN kita masih ada cara lain, yaitu kerjasama. Misalkan membangun infrastruktur kita dengan Korea, kita dengan Jepang, kita dengan China, supaya ada pertumbuhan, ada lapangan pekerjaan. Masih ada lagi kalau ada apa-apa dengan balance of payment kita, kalau ada apa-apa dengan devisa kita, kalau ada apa-apa cadangan kita, masih ada kerangka Chiang Mai Initiatives dan kerjasama yang lain. Yang jelas tidak dengan IMF seperti 10 tahun yang lalu, formatnya berbeda. Tapi saya pastikan bahwa ada kerja sama global dan regional apabila ada apa-  apa dengan Indonesia, meskipun kita berusaha sekuat tenaga tidak ada apa-apa, semua bisa kita atasi, meskipun berbeda bentuknya. Itu yang kita kerjakan. Di atas segalanya, kita sendiri. Berterima kasih masyarakat global ikut memikirkan negara seperti Indonesia, berterima kasih masyarakat kawasan seperti APEC ataupun ASEAN Plus memikirkan negara seperti Indonesia. Tetapi di atas segalanya kita sendiri dan kita harus mampu.
Gubernur sudah saya undang semuanya, kita harus bisa dan kita harus mampu. Itulah yang kita laksanakan. Dan Saudara dimana-mana bicara, “Ini yang nggak betul global financial architecture, global economic systemâ€. Betul, semua juga ngomong begitu. Tapi yang penting sekarang kita atasi persoalan yang dekat dulu. Ibarat rumah kebakaran, padamkan dulu apinya, jangan, “tunggu dulu, ini kalau kita padamkan, nggak ketemu sumbernya, coba kita seminar dulu, jangan-jangan kabelnya, jangan-jangan ininyaâ€. Nanti, nanti, padamkan dulu, setelah padam, duduk, “Kenapa kok sering kebakar ya? Kenapa ada krisis? 10 tahun yang lalu krisis, sebelumnya krisis, ada yang nggak bener ini. Pengawasannya barangkali, regulasinya, kompetisi tanpa batas, nggak bener ini,†Sama dengan kebakaran tadi. Kita telusuri apinya di atas, sumbernya, saklarnya, voltasenya, aliran ke PLN-nya, gardunya. Demikian juga dengan sistem dan architecture tadi.
Oleh karena itu, sesungguhnya kita memikirkan segalanya, tinggal kita jalankan. Itulah laporan saya, oleh-oleh. Dan di atas segalanya, mari kita perkuat kemandirian, mari kita perkuat daya saing, mari kita perkuat peradaban bangsa sehingga krisis seperti ini, insya Allah kita sendiri yang lebih bisa mengatasi dan menyelamatkan.   Terima kasih, Selamat berjuang, selamat mengembangkan karier. Dan doa saya selalu baik, semoga karier Saudara semakin baik, saya tunggu setelah tanggal 4 Desember di lapangan penugasan. Tunjukkan kemampuan Saudara yang telah ditambah oleh Lemhannas.Â
Sekian.
Wassalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.  Â