Seminar tentang penataan Lembaga Non Struktural (LNS) ini, Selasa (23/11), menghadirkan beberapa narasumber, antara lain Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dengan makalah berjudul “Tinjauan Lembaga Non Struktural dari Sisi Konstitusional; Formulasi Penentuan Pijakan Hukum Penataan LNS di Indonesiaâ€, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi yang tampil dengan makalah berjudul “Penataan LNS dalam Kerangka Reformasi Birokrasi serta Upaya Formulasi Kebijakan strategis Kelembagaan Negaraâ€, Wakil Ketua Komisi II DPR Taufik Effendi dengan makalah berjudul “Efektivitas Kelembagaan dan Strategi Penataan Lembaga Non Strukturalâ€, serta Bomer Pasaribu dengan presentasi berjudul “Penataan State Auxiliary Bodies Dalam Sistem Ketatanegaraanâ€.
Beberapa kesimpulan yang dihasilkan antara lain,
Keberadaan LNS dapat menjadi faktor pendorong dalam rangka checks and balances, terwujudnya sistem administrasi negara yang baik, serta birokrasi pemerintahan yang berkualitas. Namun, eksistensi LNS harus dapat dikendalikan agar tidak menjurus ke arah terciptanya “kekuasaan†baru yang lebih dominan daripada lembaga negara lainnya.
Keberadaan LNS sebagai organ negara di luar organ utama yang ditentukan UUD adalah sesuatu yang sah, bahkan dalam perkembangan organisasi negara modern, keberadaan organ sejenis sangat diperlukan. Sesungguhnya, UUD memberikan kebebasan dan tidak membatasi pembentukan organ-organ itu tergantung pada kebutuhan pelaksanaan fungsi negara yang efektif.
Mekanisme baik pembentukan maupun penataan organ negara, termasuk LNS tidak secara tegas diatur di dalam UUD. Walaupun demikian, mekanisme baik pembentukan maupun penataan LNS dapat mengikuti prinsip-prinsip konstitusi dan hukum administrasi, bahwa sebuah aturan atau norma termasuk suatu institusi hanya dapat dibatalkan atau diubah oleh institusi yang membentuknya; atau organ yang ada di atasnya; atau organ yang lebih superior; atau oleh putusan pengadilan yang berwenang untuk itu.  Â
Penataan lembaga – state and presidential – sebaiknya dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi serta berkelanjutan. Hal ini sangat penting dilakukan dalam kerangka reformasi birokrasi sebagai agenda politik utama pemerintahan sebagaimana yang dilakukan di berbagai negara sehingga menjadi pilar utama terwujudnya negara yang maju, bangsa yang bermartabat, dan pemerintahan yang berwibawa.
Diperlukan formulasi untuk menata ulang LNS. Penataan ulang LNS harus dilakukan dalam kerangka mengefektifkan tugas dan fungsi serta pengelolaan sumber daya termasuk keuangan secara efisien. Oleh sebab itu penataan LNS dapat dilakukan berdasarkan pengelompokan tugas dan fungsi yaitu pengaturan atau pengurusan atau pelayanan umum. Penataan LNS harus selaras dengan program reformasi birokrasi untuk meningkatkan kinerja dan citra menjadi lembaga negara yang kredibel sebagai cerminan dari budaya organisasi yang dibangun dari ideologi dan konstitusi.
Terdapat tiga pilihan strategi dalam penataan LNS; Pertama, penataan LNS secara menyeluruh dilakukan setelah pelaksanaan reformasi lembaga-lembaga kementerian dan non-kementerian, mengingat kedudukan LNS berada di luar birokrasi pemerintah. Penataan LNS dapat dilakukan secara simultan dengan reformasi kementerian dan non-kementerian jika fungsi LNS terkait atau dinilai menimbulkan tumpang-tindih dengan fungsi kementerian dan non-kementerian; Kedua: Penataan LNS harus diawali dengan menetapkan kriteria, terminologi, dan tolok ukur yang jelas; dan Ketiga, perlu mempertimbangkan asas efektivitas terukur, asas kinerja terukur, asas efisiensi, kelincahan, dan kecepatan bergerak; asas sinergisme antar lembaga; dan harus dapat mencegah terjadinya institutional conflict.
Dalam penataan LNS perlu dilakukan secara menyeluruh tanpa diskriminasi apakah keberadaan LNS tersebut atas perintah undang-undang atau peraturan yang lebih rendah. Keberadaan LNS yang dibentuk atas perintah undang-undang tidak perlu menjadi kendala dalam pelaksanaan penataan. Jika keberadaan LNS dinilai tidak terlalu signifikan dan perlu dihapus atau fungsinya dapat diakomodasikan ke dalam fungsi kementerian dan non-kementerian, maka revisi undang-undang terkait tidak akan mengalami hambatan, sepanjang untuk meningkatkan efisiensi anggaran negara dan efektivitas pemerintahan, serta dalam rangka pembenahan administrasi negara.
Terdapat beberapa langkah dalam penataan LNS; Pertama, yang mengemban fungsi eksekusi, pengaturan, operasional, dan pungutan, dapat menjadi lembaga pemerintah atau dilebur ke dalam fungsi birokrasi pemerintah; Kedua, LNS yang selama ini disebut sebagai “komisi†namun menjalankan fungsi pembuatan/penetapan kebijakan dan eksekusi serta eksistensinya sangat dibutuhkan harus diubah menjadi lembaga negara atau lembaga independen. Sebagai contoh, KPU (Komisi Pemilihan Umum) dapat diubah menjadi LPU (Lembaga Pemilihan Umum) karena memiliki lingkup nasional dan bersifat permanen serta mengemban fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, dan eksekusi; dan Ketiga, LNS yang tidak memenuhi tolok ukur (efektivitas dan efisiensi); eksistensinya justru menimbulkan terjadinya tumpang-tindih dengan fungsi kementerian dan non-kementerian; atau menambah beban bagi masyarakat, harus dihapus dan fungsinya diakomodasikan ke dalam lingkup birokrasi pemerintah.
Untuk menuju penataan LNS secara simultan, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, membangun grand design yang memuat margin of appreciation, standar baku, serta parameter yang jelas dalam pembentukan LNS; Kedua, menempatkan Kementerian Pendayaagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai leading sector dan clearing house dalam pembentukkan dan rightsizing penataan LNS; Ketiga, terhadap LNS yang sudah ada perlu dilakukan penataan dengan berbagai variasi, mulai dari; penggabungan antar LNS, penggabungan dengan kementerian terkait, penguatan LNS, hingga melakukan likuidasi terhadap LNS; Keempat, perlu dilakukan moratorium (penundaan atau penangguhan) dan konsolidasi LNS lainnya; dan Kelima, perlu dibuat Rancangan Undang-Undang (RUU)Â mengenai mekanisme pembentukan LNS ke depan, penataan LNS yang telah ada, dan konsekuensi hukum sebagai dampak dari penataan LNS. (humas)
Beberapa kesimpulan yang dihasilkan antara lain,
Keberadaan LNS dapat menjadi faktor pendorong dalam rangka checks and balances, terwujudnya sistem administrasi negara yang baik, serta birokrasi pemerintahan yang berkualitas. Namun, eksistensi LNS harus dapat dikendalikan agar tidak menjurus ke arah terciptanya “kekuasaan†baru yang lebih dominan daripada lembaga negara lainnya.
Keberadaan LNS sebagai organ negara di luar organ utama yang ditentukan UUD adalah sesuatu yang sah, bahkan dalam perkembangan organisasi negara modern, keberadaan organ sejenis sangat diperlukan. Sesungguhnya, UUD memberikan kebebasan dan tidak membatasi pembentukan organ-organ itu tergantung pada kebutuhan pelaksanaan fungsi negara yang efektif.
Mekanisme baik pembentukan maupun penataan organ negara, termasuk LNS tidak secara tegas diatur di dalam UUD. Walaupun demikian, mekanisme baik pembentukan maupun penataan LNS dapat mengikuti prinsip-prinsip konstitusi dan hukum administrasi, bahwa sebuah aturan atau norma termasuk suatu institusi hanya dapat dibatalkan atau diubah oleh institusi yang membentuknya; atau organ yang ada di atasnya; atau organ yang lebih superior; atau oleh putusan pengadilan yang berwenang untuk itu.  Â
Penataan lembaga – state and presidential – sebaiknya dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi serta berkelanjutan. Hal ini sangat penting dilakukan dalam kerangka reformasi birokrasi sebagai agenda politik utama pemerintahan sebagaimana yang dilakukan di berbagai negara sehingga menjadi pilar utama terwujudnya negara yang maju, bangsa yang bermartabat, dan pemerintahan yang berwibawa.
Diperlukan formulasi untuk menata ulang LNS. Penataan ulang LNS harus dilakukan dalam kerangka mengefektifkan tugas dan fungsi serta pengelolaan sumber daya termasuk keuangan secara efisien. Oleh sebab itu penataan LNS dapat dilakukan berdasarkan pengelompokan tugas dan fungsi yaitu pengaturan atau pengurusan atau pelayanan umum. Penataan LNS harus selaras dengan program reformasi birokrasi untuk meningkatkan kinerja dan citra menjadi lembaga negara yang kredibel sebagai cerminan dari budaya organisasi yang dibangun dari ideologi dan konstitusi.
Terdapat tiga pilihan strategi dalam penataan LNS; Pertama, penataan LNS secara menyeluruh dilakukan setelah pelaksanaan reformasi lembaga-lembaga kementerian dan non-kementerian, mengingat kedudukan LNS berada di luar birokrasi pemerintah. Penataan LNS dapat dilakukan secara simultan dengan reformasi kementerian dan non-kementerian jika fungsi LNS terkait atau dinilai menimbulkan tumpang-tindih dengan fungsi kementerian dan non-kementerian; Kedua: Penataan LNS harus diawali dengan menetapkan kriteria, terminologi, dan tolok ukur yang jelas; dan Ketiga, perlu mempertimbangkan asas efektivitas terukur, asas kinerja terukur, asas efisiensi, kelincahan, dan kecepatan bergerak; asas sinergisme antar lembaga; dan harus dapat mencegah terjadinya institutional conflict.
Dalam penataan LNS perlu dilakukan secara menyeluruh tanpa diskriminasi apakah keberadaan LNS tersebut atas perintah undang-undang atau peraturan yang lebih rendah. Keberadaan LNS yang dibentuk atas perintah undang-undang tidak perlu menjadi kendala dalam pelaksanaan penataan. Jika keberadaan LNS dinilai tidak terlalu signifikan dan perlu dihapus atau fungsinya dapat diakomodasikan ke dalam fungsi kementerian dan non-kementerian, maka revisi undang-undang terkait tidak akan mengalami hambatan, sepanjang untuk meningkatkan efisiensi anggaran negara dan efektivitas pemerintahan, serta dalam rangka pembenahan administrasi negara.
Terdapat beberapa langkah dalam penataan LNS; Pertama, yang mengemban fungsi eksekusi, pengaturan, operasional, dan pungutan, dapat menjadi lembaga pemerintah atau dilebur ke dalam fungsi birokrasi pemerintah; Kedua, LNS yang selama ini disebut sebagai “komisi†namun menjalankan fungsi pembuatan/penetapan kebijakan dan eksekusi serta eksistensinya sangat dibutuhkan harus diubah menjadi lembaga negara atau lembaga independen. Sebagai contoh, KPU (Komisi Pemilihan Umum) dapat diubah menjadi LPU (Lembaga Pemilihan Umum) karena memiliki lingkup nasional dan bersifat permanen serta mengemban fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, dan eksekusi; dan Ketiga, LNS yang tidak memenuhi tolok ukur (efektivitas dan efisiensi); eksistensinya justru menimbulkan terjadinya tumpang-tindih dengan fungsi kementerian dan non-kementerian; atau menambah beban bagi masyarakat, harus dihapus dan fungsinya diakomodasikan ke dalam lingkup birokrasi pemerintah.
Untuk menuju penataan LNS secara simultan, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, membangun grand design yang memuat margin of appreciation, standar baku, serta parameter yang jelas dalam pembentukan LNS; Kedua, menempatkan Kementerian Pendayaagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai leading sector dan clearing house dalam pembentukkan dan rightsizing penataan LNS; Ketiga, terhadap LNS yang sudah ada perlu dilakukan penataan dengan berbagai variasi, mulai dari; penggabungan antar LNS, penggabungan dengan kementerian terkait, penguatan LNS, hingga melakukan likuidasi terhadap LNS; Keempat, perlu dilakukan moratorium (penundaan atau penangguhan) dan konsolidasi LNS lainnya; dan Kelima, perlu dibuat Rancangan Undang-Undang (RUU)Â mengenai mekanisme pembentukan LNS ke depan, penataan LNS yang telah ada, dan konsekuensi hukum sebagai dampak dari penataan LNS. (humas)
Bagaimana pendapat anda mengenai artikel ini?