“Satu Ramadhan 1428 Hijriyah jatuh pada hari Kamis, 13 September 2007.� Akhirnya Menag mengucapkan kata-kata itu, Selasa malam (11/9), setelah peserta sidang menyatakan persetujuannya. Dan, Menag pun mengetukkan palu, pertanda keputusan ini sudah bulat dan tak bisa ditawar-tawar lagi.
Menag mengambil keputusan itu setelah Ketua Badan Hisab Rukyat, Moh Muchtar Ilyas, menyampaikan laporannya. Muchtar menyatakan, ijtima' akhir bulan Sya'ban terjadi pada 11 September. Artinya, pada tanggal itulah penentuan awal Ramadhan bisa dilakukan. Ternyata, berdasarkan perhitungan dengan berbagai metode, pada 11 September poisisi bulan di bawah ufuk dengan ketinggian -3 hingga -1 derajat. Ini berarti tinggi hilal (bulan baru) negatif.
Muchtar menjelaskan, pada posisi seperti itu, hilal tak mungkin bisa di-rukyat (diobservasi). Karena itu, awal Ramadhan tak mungkin jatuh pada hari Rabu (12/9). Dalam kondisi demikian, cara yang ditempuh adalah menggenapkan usia bulan Sya'ban menjadi 30 hari dan awal Ramadhan tiba pada 13 September.
Beberapa peserta sidang dari ormas Islam sempat melontarkan pandangannya mengenai laporan Badan Hisab Rukyat itu, namun tak seorang pun yang menyoalnya. “NU (Nahdlatul Ulama�red) tidak pernah mendahului pemerintah. Kita hanya mengibarkan apa yang ditetapkan pemerintah,� ujar KH Ghazali yang mewakili NU.
Pandangan kritis justru disampaikan Thomas Djamaluddin, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Ia menilai, penentuan awal Ramadhan masih punya banyak kelemahan. Yang paling utama, kata Djamaluddin, adalah soal definisi hilal. Karena itu, ia berharap agar Depag bersama MUI dan para ahli segera merumuskan kriteria penentuan awal Ramadhan. Ia merujuk pada Keputusan Fatwa MUI No. 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
“Sekarang memang tidak ada perbedaan pendapat tentang satu Ramadhan, tapi nanti penentuan satu Syawal pasti akan ada perbedaan. Para ahli hisab sendiri belum punya hitungan yang sama. Para ahli rukyat juga akan berbeda pendapat,� ungkap Djamaluddin.
Harus dihormati
Penentuan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah merupakan hal krusial. Ada banyak metode yang digunakan ormas maupun pemuka agama Islam. Yang paling populer tentu saja adalah metode hisab dan rukyat. Hisab adalah melakukan hitung-hitungan matematis berdasarkan ilmu astronomi. Sementara itu, rukyat adalah observasi terhadap pergerakan matahari dan bulan; juga berdasarkan ilmu astronomi.
Karena berbeda metode, kerap kali ormas Islam tak sesuara dalam menentukan awal bulan hijriyah. Buntutnya tak sederhana: umat Islam jadi tidak akur dan saling mengklaim sebagai pihak yang paling benar.
Menag bukan tidak menyadarinya. Karena itu, dalam sidang itsbat kali ini, Departemen Agama tak hanya mengundang kalangan ormas Islam seperti MUI, Muhammadiyah, NU, dan lainnya. Menag juga menggandeng Departemen Komunikasi dan Informasi.
“Menentukan awal bulan sebenarnya adalah hal biasa. Ini hanya mengenai astronomi, tapi karena ini menentukan bulan puasa, maka berkaitan dengan syar'i,� ujar Menkominfo M Nuh. “Kami men-support proses ini tapi keputusan akhirnya ada pada sidang itsbat.�
Digandengnya Menkominfo untuk proses penentuan awal bulan Ramadhan merupakan hal baru. Perubahan signifikan terjadi pada fase obeservasi (rukyat). Kali ini, secara serentak Depag menyelenggarakan rukyat di lima kota besar, yaitu Banda Aceh, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar.
Menggunakan proyektor, pergerakan matahari dan bulan di lima tempat rukyat itu bisa ditonton secara live oleh peserta sidang. Anggota Badan Hisab Rukyat, Cecep Nurwindaya, melaporkannya per menit. “Pada hari ini matahari tenggelam terlebih dahulu daripada bulan. Ini berarti posisi bulan di bawah ufuk dan hilal negatif,� jelasnya.
Meski masih ada beberapa celah di balik penentuan awal Ramadhan ini, Menag mengaku cukup puas dengan kinerja Badan Hisab Rukyat. “Kami berharap semua pihak menghormati keputusan ini,� ujarnya. Menag tak lupa menyampaikan selamat menunaikan ibadah puasa bagi umat Islam.
Tak bisa dituntut
Keputusan sudah diambil Menag, namun tak ada garansi bahwa seluruh umat Islam di Indonesia bakal mulai berpuasa pada 13 September. “Fakta selama ini, selalu ada sebagian masyarakat yang berbeda pendapat dengan keputusan pemerintah,� ujar Dirjen Badan Peradilan Agama MA, Wahyu Widiana.
Wahyu mengungkapkan, pemerintah tak bisa menuntut secara hukum terhadap pihak-pihak yang tidak mentaati keputusan Menag ini. Pasal 29 UUD 1945 soal kebebasan beragama adalah dasarnya. “Sepanjang berbeda soal metode dan hasilnya, tidak masalah. Kecuali kalau misalnya menimbulkan keresahan sosial,� tutur Wahyu.
Dalam Islam, jika terjadi silang pendapat, maka yang punya kewenangan untuk memutuskan adalah ulil amri alias pemerintah. Ia mencatat di beberapa negara muslim, biasanya masyarakat yang berbeda pendapat dengan pemerintah soal kalenderisasi Islam dijatuhi hukuman. “Di Malaysia bisa dijatuhi hukuman. Di Arab Saudi kalau ada yang berbeda pendapat mengenai tanggal pelaksaan wukuf juga diberi hukuman,� jelas Wahyu.
Untuk Ramadhan kali ini, Wahyu menyatakan Pengadilan Agama tidak menggelar sidang pengakuan seseorang yang mengaku melihat hilal. “Karena hilal tidak mungkin bisa dilihat. Hakim akan menolak kesaksian orang itu karena hakim juga sudah dibekali ilmu pengetahuan soal hisab rukyat,� tandasnya. Berdasarkan Pasal 52 A UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sejatinya pengadilan agama diberi wewenang untuk memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.
Sumber:
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17568&cl=Berita