Budaya internet atau cyberculture adalah budaya yang muncul dari penggunaan jaringan komputer untuk berkomunikasi, bisnis, dan hiburan. Jumlah pengguna internet yang besar dan semakin berkembang menjadi fenomena sosial terkait bentuk baru berkomunikasi dalam jaringan, seperti komunikasi online and two/multi-way realtime, game multi-player online, serta jejaring sosial.
Perkembangan budaya internet diikuti pula dengan perkembangan komunikasi yang tidak kalah pesat yang memudahkan kita dalam melakukan komunikasi dengan pihak lain di seluruh dunia, namun dibalik berbagai kemudahan akses informasi dan komunikasi tersebut terselip ancaman adanya information disorder atau yang dikenal dengan hoaks dan juga ujaran kebencian, melalui teknologi informasi dan komunikasi diciptakan dan dipropagandakan suatu skema rekayasa ketakutan (fear engineering) secara masal yang menargetkan pada rekayasa konflik (conflict engineering) dengan salah satunya menciptakan informasi hoaks maupun ujaran kebencian.
Melihat hal tersebut dan dalam rangka mengomunikasikan dan mengoordinasikan upaya dari seluruh kementerian/lembaga dalam mengendalikan informasi hoaks dan ujaran kebencian, Badan Koordinasi Humas Pemerintah (Bakohumas) bersama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyelenggarakan Forum Tematik Penyusunan Srategis Pengendalian Informasi dalam Penanganan Informasi Hoaks dan Ujaran Kebencian, di Hotel Cosmo Amaroossa, Jakarta (5/12).
Kepala BSSN, Hinsa Siburian, dalam sambutannya mengajak kepada seluruh peserta forum yang hadir dari seluruh Humas Pemerintah untuk terus membangun kapasitas dan kapabilitas dalam menghadapi ancaman siber, saling bekerja sama serta berkolaborasi.
"Mari kita wujudkan dunia siber yang damai dengan tetap saling bekerja sama dan berkolaborasi” ujar Hinsa.
Lebih lanjut Hinsa mengatakan bahwa memelihara dunia siber yang damai secara efektif dan efisien adalah dengan memanfaatkan, mengembangkan, dan mengonsolidasikan semua unsur terkait, dan kita pahami bersama bahwa Pancasila adalah pusat kekuatan Bangsa Indonesia, dengan mengamalkan nilai-nilai setiap sila Pancasila, kita bersama-sama dapat memberantas hoaks dan ujaran kebencian.
“BSSN sangat terbuka bagi pihak manapun untuk berbagi informasi terkait keamanan siber, kolaborasi, investigasi dan penelitian bersama terkait teknologi, tren, dan permasalahan siber melalui working group, serta capacity building” jelas Hinsa.
Senada dengan Hinsa, Asisten Deputi Hubungan Masyarakat Kemensetneg, Eddy Cahyono Sugiarto selaku Wakil Ketua Pelaksana Bakohumas, dalam sambutannya mengatakan bahwa visi Indonesia Maju yang telah dicanangkan Presiden Joko Widodo, membutuhkan prasyarat ekosistem ruang publik yang kondusif menciptakan optimisme pembangunan mendukung lompatan besar Indonesia Maju.
“Optimisme pembangunan hanya dapat dicapai bila kita berkolaborasi mengembangkan kepedulian terhadap pentingnya memberantas hoaks dan ujaran kebencian dengan membangun literasi digital agar tercipta well informed society, untuk itu perlu menggelorakan perang terhadap hoaks dan ujaran kebencian sebagai musuh bersama”.
Eddy melanjutkan, hoaks dan ujaran kebencian menjadi concern kita bersama yang harus kita lawan, perang saat ini bukan lagi perang fisik, namun lebih kepada pembentukan opini melalui penyebaran informasi yang semakin masif di era revolusi industri 4.0.
"Merujuk pada data yang dirilis Kementerian Kominfo, total penyebaran hoaks termasuk ujaran kebencian perkembangannya sudah pada taraf memprihatinkan, terdapat 3.901 item hoaks pada periode Agustus 2018 sampai dengan November 2019, dengan kategori politik mendominasi berjumlah 973 item, disusul secara berurutan kategori pemerintahan (743 item), kesehatan (401 item), lain-lain (307 item), kejahatan (271 item), fitnah (242 item), internasional (216 item), dan sisanya hoaks terkait bencana alam, agama, penipuan, mitos, perdagangan dan Pendidikan." Ujar Eddy
Selanjutnya, Eddy mengharapkan agar Humas Pemerintah harus dapat cepat beradaptasi dan bertransformasi mengantisipasi hal tersebut, utamanya dengan membangun berkolaborasi dalam melawan hoax, sekaligus menghimbau kepada seluruh peserta untuk menyebarkan secara luas dan masif informasi yang terkait dengan kerja pemerintah sehingga dapat membangun opini publik yang optimis terhadap pembangunan menuju Indonesia Maju.
“Sejatinya seluruh warga negara adalah duta-duta dalam menghasilkan ruang publik yang jernih dan membangun optimisme dalam mengakselerasi Indonesia maju dengan mengisi setiap celah ruang informasi dengan informasi yang benar, cepat dan tepat”, pungkas Eddy.
Dalam forum tersebut dihadirkan juga narasumber-narasumber yang memiliki kapabilitas dan rekam jejak sebagai pejuang anti hoaks dan ujaran kebencian. Membuka paparan, salah satu narasumber yakni Ketua Program Studi Vokasi Hubungan Masyarakat Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, berbicara mengenai potret konsumsi hoaks antara digital visitors dan digital residents.
Sosok enerjik ini menjelaskan, berdasarkan riset yang beliau lakukan di 6 kota besar di Indonesia, digital visitors atau kaum kolonial lebih banyak menggunakan chanel media facebook dan whats app dengan ketertarikan topik seputar agama, politik/pemerintahan dan kesehatan, sedangkan digital residents atau kaum milenial banyak dipengaruhi oleh chanel media instagram dan twitter dengan ketertarikan topik seputar gaya hidup.
“oleh karena itu, tidak bisa satu perlakuan yang sama untuk semua segmen, kita perlu strategi yang berbeda untuk menangkal hoaks dan ujaran kebencian sesuai dengan karateristik masing-masing segmen” tutur Devie.
Paparan dilanjutkan oleh Ketua Presidium Masyarakat Anti Hoaks Indonesia (MAFINDO), Septiaji Eko Nuhroho, figur yang sering menjadi narasumber pada forum-forum baik nasional maupun internasional ini berbicara mengenai bagaimana framework menangkal hoax dan hate speech. Aji mengusulkan 4 langkah menangkal hoaks dan ujaran kebencian, melalui pencegahan, pengawasan, penindakan, dan pemulihan.
Kemudian, Rangga Adi Negara, birokrat dari Kementerian Kominfo ini memaparkan strtategi menangkal fake news dan hate speech dengan literasi digital. Rendahnya literasi membuat masyarakat menjadi permisif, mudah menerima berita bohong dan cenderung intoleran. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan litersi digital masyarakat, salah satunya membentuk Siber Kreasi – Gerankan Nasional Literasi Digital, berkolaborasi dengan berbagai komunitas anti hoaks, salah satunya MAFINDO.
Terakhir, narasumber yang berkesempatan untuk memaparkan adalah Direktur Pengendalian Informasi, Investigasi, dan Forensik Digital BSSN, Bondan Widiawan. Kolaborasi adalah kata kunci untuk menciptakan media sosial yang beretika.
“Disinformasi, hoaks dan ujaran kebencian tidak bisa ditangani oleh satu atau dua pihak, tapi semua pihak, diperlukan kolaborasi sebagai upaya dan tanggung jawab bersama untuk menghentikannya” ujar Bondan dalam kesempatan yang diberikan. Satu kata dengan narasumber lainnya, upaya menanggulangi hoaks adalah melalui literasi dan edukasi, verifikasi cepat dan penegakan hukum melalui bukti digital.
Animo yang tinggi dari para pesertai terlihat pada saat sesi diskusi yang berlangsung hangat dan interaktif, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan ketertarikan para peserta untuk menyumbangkan saran dan pemikirannya dalam membantu kerja-kerja pemerintah melalui peran sertanya masing-masing. (FF-Humas Setneg)