Kamis (7/10), Biro Sumber Daya Manusia Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) menyelenggarakan Kajian Bulanan bertema "Mensyukuri Religiositas Bangsa". Diadakan di Musala Al-Ikhlas, Gedung SPAM Lantai 3, Kemensetneg, ceramah yang disampaikan bertujuan meningkatkan pengetahuan dan wawasan keislaman serta keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Dalam kajiannya, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, Ustaz Syaiful Arif menyampaikan pentingnya untuk bersyukur karena bagsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang religius. Ia menyampaikan sebagian besar manusia mengalami mata batin yang rabun terhadap kehidupan berbangsa. Hal ini disebabkan karena manusia tidak bisa melihat nilai-nilai Ketuhanan di dalam kehidupan bernegara, di dalam nilai-nilai kebangsaan, dan di dalam dasar negara sehingga akhirnya manusia kurang mensyukuri sebagai bangsa dan negara karena bernegara itu dianggap tidak ada hubungannya dengan Allah SWT.
Staf Ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu menerangkan, "Anggapan seperti ini sebenarnya sangat bertentangan dengan Pancasila itu sendiri karena Pancasila itu bukan hanya dasar negara, bukan hanya ideologi bangsa, tetapi yang paling penting Pancasila itu adalah falsafat Ketuhanan”.
Syaiful juga menambahkan bahwa sila-sila yang ada dalam Pancasila merupakan cerminan dari perintah Ilahi. "Hubungan antara agama dan Pancasila itu seperti hubungan antara tebu dengan gula. Jadi, agama itu adalah tebunya atau sumbernya Pancasila, sedangkan Pancasila adalah gulanya atau sari patinya agama," ujarnya.
Syaiful mengingatkan pula tentang pernyataan Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengatakan bahwa agama menyinari kehidupan Warga Negara Indonesia melalui Pancasila. "Ini dimungkinkan karena di dalam sila-sila Pancasila itu terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa, itu merupakan sila yang membimbing sila-sila di bawahnya," jelas Syaiful.
Dalam kajian yang berlangsung khidmat, Syaiful berpesan bahwa ketidakmampuan manusia dalam melihat religiusitas dalam Pancasila itu menunjukkan rabunnya mata pikiran dan mata batin manusia itu sendiri.
"Jadi, kalau sebagian dari saudara-saudara kita mengkafirkan Pancasila, itu berarti mereka tidak mampu melihat Tuhan di dalam Pancasila," pungkas Syaiful. (LDS/DEW-Humas Kemensetneg)