Jakarta, wapresri.go.id – Selain pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin mengungkapkan bahwa tantangan global yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini adalah persepsi Islam sebagai negara konflik, Islamophobia, dan kondisi sosial-ekonomi umat muslim yang masih memprihatinkan.
“Saya mencatat setidaknya ada tiga tantangan besar. Pertama, persepsi bahwa Islam sebagai agama konflik dan kekerasan. Persepsi ini muncul dan berkembang karena berbagai konflik yang banyak terjadi di negara muslim khususnya di Timur Tengah. Sekitar 60 persen konflik di dunia melibatkan negara-negara Islam,” terangnya saat memberikan ceramah pada Webinar Internasional Antar Rois Syuriah Pengurus Cabang Internasional Nahdlatul Ulama (PCINU) di Berbagai Negara di Kediaman Resmi Wapres, Jl. Diponegoro No. 2, Jakarta Pusat, Selasa (15/09/2020).
Tidak hanya itu, tambah Wapres, Islam telah dipersepsikan sangat buruk di masyarakat Barat. Hasil survei Pew Research tahun 2017 misalnya, menggambarkan bagaimana pandangan negatif warga di Amerika Serikat (AS) terhadap Islam.
“Lebih dari 41 persen warga AS melihat Islam mendorong terorisme dan kekerasan. Lebih dari 44 persen melihat Islam dan demokrasi tidak dapat berjalan beriringan. Hampir 50 persen melihat bahwa sebagian warga muslim adalah anti Amerika,” paparnya.
Sementara di Eropa, sambungnya, persepsi terhadap Islam juga tidak jauh berbeda. Dari hasil survei di 10 negara di Eropa tercatat lebih dari 50 persen warga Eropa memandang Islam secara negatif. Pandangan negatif ini tidak hanya terhadap individunya, namun juga pendidikannya.
“Pendidikan Islam atau yang dikenal sebagai madrasah juga tidak luput dari sorotan. Madrasah sebagai pendidikan Islam dianggap sebagai tempat pembibitan ideologi ekstrim. Generalisasi terhadap peran negatif madrasah diperoleh hanya karena orang Barat melihat bahwa beberapa pelaku teroris merupakan alumni madrasah,” urainya.
Generalisasi cara pandang negatif ini, menurut Wapres, di satu sisi harus dilawan, tetapi di sisi lain harus menjadi bahan introspeksi umat Islam.
“Cara pandang yang selalu menggeneralisasi dan negatif ini harus kita lawan. Namun di saat yang sama umat juga perlu introspeksi,” imbuhnya.
Tantangan Kedua, jelas Wapres, yaitu meningkatnya tren Islamophobia di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh, serangan/pelecehan terhadap muslim di AS dari tahun ke tahun terus meningkat.
“Pelecehan terhadap orang Islam di AS pada 2016 meningkat 36 persen jika dibanding tahun 2001. Pengalaman yang sama juga terjadi di Eropa. Pada tahun 2017, rata-rata 1 dari 3 muslim yang disurvei mengalami diskriminasi dan prasangka buruk (prejudice),” jelasnya.
Namun, apabila diteliti lebih dalam, urai Wapres, sumber utama dari kebencian terhadap Islam adalah ketidaktahuan atau ketidakpahaman mengenai Islam.
“Al-insaanu aduwwu maa jahiluu (manusia itu cenderung memusuhi apa yang tidak diketahui),” tuturnya.
Sedangkan yang ketiga, tutur Wapres, tantangan besar adalah kondisi sosial dan ekonomi umat Islam yang hingga kini masih sangat memprihatinkan. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2018 hanya 31 negara dari 57 anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang memiliki tingkat literasi di atas 90 persen. Dengan demikian, maka negara-negara muslim masih harus berjuang melawan kemiskinan. Saat ini 350 juta orang di negara-negara OKI hidup di bawah USD 1,25 per hari dan tingkat rata-rata pengangguran di negara OKI 6 persen di tahun 2018, atau di atas rata-rata pengangguran dunia yang 5,1 persen.
“Data-data di atas saya angkat untuk menunjukkan betapa masih besarnya pekerjaan rumah kita semua untuk memajukan umat Islam,” pungkasnya. (RN, KIP-Setwapres)