Generation Gap merupakan fenomena yang disebabkan karena adanya perbedaan sikap antar individu yang berasal dari kelompok usia yang berbeda sehingga berpotensi menimbulkan konflik atau ‘jarak’. Hal itu biasanya disebabkan karena kurangnya pemahaman antar individu, seperti pada organisasi yang di dalamnya terdapat beberapa generasi dengan berbagai jabatan. Sesuai usia produktif seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), terdapat generasi antara lain individu kelahiran 1946-1964 (Baby Boomer), kelahiran 1965-1980 (Generasi X), kelahiran 1981-1994 (Generasi Y), dan kelahiran 1995-2010 (Generasi Z).
Menghadapi situasi organisasi dengan bermacam generasi di tidaklah selalu mudah. Dalam rangka pengembangan kapasitas SDM di Kemensetneg, Senin (25/11), Pusdiklat menggelar Serial Lecture yang ke-18 dengan tema “Managing Generation Gap” yang bertempat di Aula Serbaguna Gedung Kemensetneg. Sebagai narasumber, Pusdiklat menghadirkan Jamil Azzaini, seorang motivator terkenal, penulis, sekaligus CEO Kubik Leadership dan Inspirator SuksesMulia.
“Serial Lecture ini diselenggarakan dalam rangka meningkatkan awareness tentang Generation Gap di lingkungan Kemensetneg. Juga diharapkan dapat membantu para peserta untuk memahami karakteristik masing-masing generasi,” ujar Nandang Haris sebagai Staf Ahli Bidang Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, saat membuka seminar.
Perbedaan generasi di lingkungan pemerintah sangat memungkinkan terjadinya konflik. Hal tersebut disebabkan karena pola komunikasi, pola pikir, dan pola kerja yang berbeda. Menurut Nandang, generation gap seperti itu sudah diantisipasi oleh pemerintah seperti dengan dilantiknya salah satu menteri dan beberapa anggota dewan dalam usia yang masih muda.
Dalam sharing-nya, Jamil mengajak pegawai yang hadir untuk memahami era eksponensial di mana kemajuan teknologi informasi semakin merambah ke berbagai bidang. Mau tidak mau, orang harus sadar dan berubah. Jika tidak berubah maka akan tertinggal dan punah. Sama halnya dengan perbedaan perilaku antara orang tua dan anak-anak. Jamil mengajarkan bagi generasi yang lebih tua untuk mau mendengar ide-ide dari orang yang lebih muda sambil menanamkan kebijakan atau sikap bijak dan tentunya dengan bahasa serta komunikasi yang sesuai.
Jamil menerangkan pula bahwa dalam bekerja harus merasa enjoy. Sesuai dengan gelombang otak manusia, dalam melakukan pekerjaan yang berkualitas sebaiknya berada pada gelombang alpha di mana otak memproduksi hormon serotonin dan endorfin yang menyebabkan seseorang merasa tenang, nyaman dan bahagia. Gelombang alpha akan membuat imunitas tubuh meningkat, pembuluh darah terbuka lebar, detak jantung menjadi stabil, dan kapasitas indra kita meningkat.
Termasuk bekerja dalam teamwork berbeda generasi, Jamil menekankan kunci utamanya adalah komitmen untuk mencapai tujuan bersama. “Jangan sampai generation tension muncul, merasa paling bisa dan saling melemahkan yang lainnya sehingga terjadi konflik antara yang muda dan yang tua,” kata Jamil.
Untuk itu, Jamil menyampaikan tiga prinsip (3C) yang kemudian muncul. Pertama, Everybody Counted, semua orang itu penting, masing-masing memiliki kontribusi dan itu perlu diapresiasi. Kedua adalah Build Healthy Communication yaitu dengan melihat suatu hal secara positif dan fokus pada kekuatan diri. Kemudian ketiga adalah Care More. Merujuk Hukum Kekelan Energi (HKE) di mana energi yang ditabung tidak akan pernah hilang dan suatu saat akan kembali ke diri sendiri bahkan dalam bentuk yang tidak terduga. “Apabila kita menabung energi negatif, maka kita akan menerima energi negatif kembali. Apabila kita menabung energi positif, maka kita akan menerima energi positif itu kembali. Artinya jumlah usaha sama dengan jumlah hasil,” ujar Jamil.
Seminar yang dimoderatori Widyaiswara Pusdiklat, Sandra Erawanto ini, berlangsung penuh tawa dari pejabat dan pegawai yang mewakili Generasi Baby Boomers, Generasi X, Y dan juga Generasi Z yang aktif di lingkungan Kemensetneg. (DEW-Humas Kemensetneg)