Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial Sebagai Pusat Kesehatan Mental
Di hari kedua pelaksanan Setneg Library Festival 2023, Selasa (12/9), Perpustakaan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) yang berada dibawah Pusat pengembangan Kompetensi Aparatur Sipil Negara (PPKASN) Kemensetneg menyelenggarakan Webinar dengan tema “Perpustakaan sebagai Pusat Kesehatan Mental”.
Menghadirkan narasumber Agus Rusmana dari Universitas Padjajaran dan Susanti Agustina dari Dzikra Institute, webinar yang juga disiarkan melalui kanal Youtube PPKASN Kemensetneg membahas peran perpustakaan yang telah bertransformasi menjadi perpustakaan ‘berbasis inklusi sosial’ dengan perannya sebagai pusat kesehatan mental melalui bahan bacaan yang tersedia.
Pustakawan Ahli Muda, Widy Hastuti yang mewakili Kepala PPKASN menyampaikan dalam sambutan bahwa berbagai disrupsi tersebut memaksa para pustakawan untuk berinovasi dalam mengelola perpustakaan dan memberikan dukungan dalam penyediaan ruang dan koleksi yang lebih beragam.
“Para pustakawan harus selalu memperbaharui pengetahuannya dan menghadirkan bentuk-bentuk baru dalam pelayanan perpustakaan, tidak hanya penyediaan informasi yang bersifat ‘diam’, akan tetapi dapat menjadi sarana diskusi dan konsultasi bagi pemustakanya,” ujar Widy.
Tak terbantahkan bahwa perpustakaan sebagai tempat pinjam meminjam buku telah berubah menjadi tempat berkumpulnya komunitas dalam melakukan tukar menukar informasi dan pengetahuan dalam memperkaya khasanah berpikir pemustakanya.
“Pagi hari ini, teman-teman Pustakawan telah memilih untuk membahas sebuah topik menarik tentang perpustakaan yang telah bertransformasi menjadi perpustakaan ‘berbasis inklusi sosial’ dengan perannya sebagai pusat kesehatan mental melalui bahan bacaan yang tersedia,” tutur Widy.
Memulai paparan, Dosen Program Studi Perpustakaan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Agus Rusmana mengatakan perpustakaan mempunyai tiga fungsi utam, yaitu sebagai informasi, edukasi dan hiburan.
“Idealnya semua informasi yang ada di dunia ini adanya di perpustakaan, yang kedua edukasi, kalau orang mau pintar, orang mau belajar sesuatu, orang mau bisa sesuatu atau punya masalah dan tidak bisa dipecahkan itu di perpustakaan, terakhir fungsi perpustakaan itu entertainment, jadi kalau orang stress, tidak punya kegiatan dan ingin bahagia, karena tidak hanya buku, perpustakaan harusnya tidak sama kayak kantor, suasananya harus berbeda, kalau ada yang bosan belajar atau bekerja misalnya, pergi ke perpustakaan jadi terhibur,” ujar Agus mengawali paparan.
Saat ini fungsi perpustakaan meluas dengan berbasis inklusi sosial. Perpustakaan bertransformasi dengan melayani pemustaka tanpa memandang perbedaan, baik itu sosial, ekonomi, pendidikan, kondisi fisik, kondisi mental dan kepribadian.
“Perpustakaan saat ini bertransformasi, perpustakaan harus melayani siapapun tanpa memandang perbedaan, mau itu orang kampung, orang kota, disabilitas, tingkat ekonomi rendah atau pejabat, tidak boleh ada perbedaan, Pustakawan harus membuat semua orang masuk ke perpustakaan dan harus mengetahui kebutuhan pemustaka, orang dengan gangguan kejiwaan juga harus diterima,” jelas Agus.
Perpustakaan berbasis inklusi sosial dapat menjadikan perpustakaan sebagai “hub” bagi masyarakat yang memiliki kesehatan mental dengan harapan masyarakat dapat lebih sehat mental. “Masyarakat saat ini menjadikan perpustakaan sebagai healing atau bibliotheraphy, namun juga mereka yang memiliki gangguan kesehatan mental ini ketika membaca seperti memiliki teman, maka dari itu koleksi tentang mental health ini harus ada dan kedepannya di perpustakaan ini juga disediakan pakar kesehatan mental,” pungkas Agus.
Perpustakaan inklusi sebaiknya memiliki beberapa komponen seperti Pustakawan berpengetahuan kesehatan mental, koleksi khusus tentang kesehatan mental, layanan konsultasi, ruangan khusus, fasilitas khusus, Pemustaka berkebutuhan khusus terkait dengan mental health issues, pakar kesehatan dan relawan terampil. “Fasilitas layanan khusus ini bisa dengan penandaan koleksi atau rak khusus tentang kesehatan mental, ada ruang diskusi juga dengan menghadirkan Pustakawan, Pakar dan Pemustaka, ruang konsultasi yang baik itu ada pengaduan atau curhat dan referensi bacaan atau koleksi buku yang sebaiknya dibaca, terus juga ada ruang konsultasi dengan pakar, terakhir ruang “healing” ini bisa dipergunakan untuk mengeluarkan isi hati,” terang Agus.
Sebelum menutup paparan, Agus menjelaskan pentingnya transformasi layanan pada perpustakaan diantaranya Pustakawan mudah ditemukan, Pustakawan in charge dengan memakai tanda khusus sehingga mudah didatangi, penyediaan informasi yang memudahkan pemustaka, kenyamanan untuk pemustaka umum dan kebutuhan khusus adalah utama.
“Transformasi perpustakaan adalah mutlak, inklusi sosial adalah layanan wajib sehingga layanan perpustakaan harus terus berkembang, selain itu perpustakaan memudahkan pengguna dan Pustakawan harus berada di paling depan,” tutup Agus.
Narasumber kedua, Susanti Agustina dari Dzikra Instititue menjelaskan kesadaran mengenai kesehatan mental di Indonesia meningkat, namun stigma masyarakat masih menjadi hambatan. Karena masih ada pandangan bahwa kesehatan mental dianggap kurang signifikan dibandingkan kesehatan fisik.
“Gangguan kesehatan mental dapat mempengaruhi produktivitas, hubungan sosial, kemampuan fisik dalam kehidupan sehari-hari seseorang baik di tempat kerja maupun di rumah, dan ada 3 gejalanya yaitu gejala fisik, emosional dan perilaku,” jelas wanita yang diakrab dipanggil Susan ini.
Tidak hanya gejala fisik, emosional dan perilaku, Susan menjelaskan ada juga gejala stress terkait pekerjaan, baik itu gejala kognitif, interpersonal dan psikologis. “Di gejala kognitif, biasanya seseorang yang mengalami stress di pekerjaan itu terus menerus memiliki pikiran negatif tentang pekerjaan, sehingga mengakibatkan hubungan yang tegang dengan rekan kerja dan menarik diri dari rekan kerja dan itu masuk di gejala interpersonal, terakhir mengalami gejala psikologis yaitu meningkatnya perasaan putus asa dan tidak berdaya,” terang Susan.
Susan mengatakan perpustakaan dapat memainkan peran penting dalam mendukung kesehatan mental dengan melayani sebagai pusat komunitas yang menawarkan berbagai sumber daya, program, dan layanan yang bertujuan untuk mempromosikan kesejahteraan dan memberikan dukungan bagi individu yang menghadapi tantangan kesehatan mental.
“Disarankan agar pengetahuan dan keterampilan pustakawan mencakup kualitas pribadi yang menekankan pada kepribadian, moral, mental, stabilitas kesejahteraan fisik, dan spiritual. Pustakawan mesti memiliki kemampuan mengelola informasi: analisis-sintesis informasi, pencarian informasi, keterampilan membaca, biblioterapi tematik, keterampilan interpersonal untuk melakukan dialog empatik dengan individu yang memiliki masalah kesehatan mental, psikologi komunikasi juga perlu, jika ingin memberikan layanan biblioterapi,” kata Susan. (ART/YLI-Humas Kemensetneg)